Dinasti Sultan Versus Dinasti Jokowi

Eksistensi Sultan telah disamakan Ade Armando dengan Gibran dan/atau Jokowi, yang buruk di mata mahasiswa. (Bahkan, dalam kasus “Dinasti Jokowi”, BEM UGM memberi gelar Jokowi sebagai alumni UGM paling memalukan yang pernah ada).

Oleh: Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

SULTAN Hamengkubuwono Ngayogyakarta membantah berita-berita yang mengatakan Sekjend PSI (Partai Solidaritas Indonesia) telah meminta maaf padanya beberapa hari lalu dalam pertemuan mereka terkait “hinaan” Ade Armando atas politik Dinasti Sultan.

Sebab, Sultan ketika bertemu Raja Juli Antoni bukanlah sebagai seorang “Raja” atau seorang pimpinan parpol PSI, melainkan sebagai wakil Menteri ATR, yang bermaksud menyerahkan sertifikat tanah-tanah Kesultanan Yogyakarta.

Pernyataan Ade Armando soal dinasti politik di Yogyakarta dalam mengejek balasan terhadap BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) UI, UGM, dll. yang mempersoalkan isu dinasti politik Joko Widodo, sekarang menjadi polemik besar. Sebab, pernyataan Ade ini mengganggu stabilitas nasional. Mengapa?

Karena sejarah kebangsaan kita telah menempatkan Yogyakarta sebagai kekhususan khas dalam bingkai NKRI. Yogyakarta dianggap sebagai satu-satunya kerajaan yang melawan penjajahan Belanda baik untuk era perjuangan kemerdekaan, maupun sebelumnya, era Kerajaan Mataram tahun 1700-an. Bahkan, ketika terjadi agresi Belanda dan Sekutu pada awal kemerdekaan Indonesia, 1946-1948, Yogyakarta satu-satunya tempat perlindungan pemerintahan RI yang terpaksa kabur dari Batavia.

Terlebih lagi, isu yang dilontarkan Ade sangat sensitif ketika regenerasi kesultanan sedang atau akan berlangsung. Pembicaraan-pembicaraan apakah sultan yang bergelar Khalifatullah dapat diwariskan kepada anaknya yang perempuan atau kepada adiknya yang lelaki, masih ditutupi mereka. Meski pembicaraan ini telah berlangsung atau selesai beberapa tahun lalu, gegara Ade Armando, isu ini bisa muncul kembali.

Sultan Hamengkubuwono adalah Sultan yang dikenal simbol kearifan dan tertua yang masih hidup di Indonesia. Pada tahun 1998, ketika reformasi terjadi, semua kelompok perjuangan, khususnya oposisi, seperti Amin Rais, Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan Megawati berkeyakinan bahwa pengambil alihan kekuasaan dari Suharto tidak akan mulus jika Sultan tidak dilibatkan.

Oleh karenanya, kala itu, semua aktivitas politik anti Suharto selalu menghadirkan Sri Sultan. Dan memang, kehadiran sultan diakui sebagai penggenap upaya klaim sebuah politik kebangsaan, kenegarawanan dan keberlanjutan NKRI. Reformasi berlangsung mulus.

Apa Maksud Ade Armando Menyerang Sri Sultan dan Kesultanan?

Dalam prasangka baik, sebagai dosen dan intelektual, tentu bisa jadi Ade melakukan “judgement” ilmiah. Namun, tentu saja ini kekurangan Ade yang kurang melihat bahwa orang-orang sudah melihat dia bukan lagi bagian masyarakat ilmiah. Ade sudah dianggap politikus.

Sebagai politikus apa maksud Ade? Bisa jadi Ade memang sengaja menyerang Sultan. Menyerang Sultan dapat saja bermakna bahwa: Pertama, esensi dinasti Jokowi yang dituduhkan mahasiswa sebenarnya sah-sah saja keberadaannya di Indonesia. Merujuk pada Sultan Yogyakarta yang masih eksis.

Kedua, Ade sedang menggugat eksistensi kesultanan di Indonesia. Mengapa? Karena seharusnya kesultanan yang diakui kekhususannya bukan hanya Yogyakarta awalnya, namun juga Kesunanan Mataram Surakarta Hadiningrat. Karena keduanya mengakui pendirian Republik Indonesia. Atau sebaliknya memang Ade ingin mendekontruksi soal NKRI saat ini dalam sebuah diskursus panjang ke depan.

Ketiga, Ade bisa saja sedang ikut campur dalam politik Kesultanan Yogyakarta yang segera akan diwariskan pada anaknya.

Dari ketiga hal ini hanya Ade yang mampu berterus terang.

Dalam dunia politik, istilah tidak sengaja, khilaf atau keceplosan susah dimengerti, apalagi Ade merupakan corong atau propagandis partai penguasa, PSI (lihat: spanduk-spanduk PSI adalah Partai Jokowi). Jika partai penguasa melakukan suatu statemen, sepertinya bisa jadi itu merupakan desain utuh yang kita perlu lihat ke depan efek dan konsekuensi politik pernyataan Ade tersebut. Kita harus menunggu.

Politik Dinasti Jokowi

Kembali ke isu politik dinasti yang hangat belakangan ini, pokok perkaranya adalah adanya kecurangan yang dilihat masyarakat, khususnya mahasiswa dalam perkara Mahkamah Konstitusi (MK) terkait umur kandidat cawapres.

Persepsi publik terbentuk demikian karena MK dianggap menyelewengkan aturan konstisusi atau UU Pemilu demi memuluskan anak presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, menjadi cawapres Prabowo Subianto.

Keributan mahasiswa berbeda dengan kelompok partai tertentu maupun para eks pendukung Jokowi, yang bersuara oposisi karena Gibran menjadi di pihak Prabowo, bukan karena pelanggaran konstitusi itu sendiri. Seandainya Gibran menjadi Cawapres Ganjar Pranowo, boleh jadi mereka tetap melihat itu bukan sebagai pelanggaran.

Jadi isu dinasti ini sesungguhnya berbeda sama sekali dengan urusan Kesultanan Yogyakarta. Isu dinasti saat ini adalah upaya ilegal Jokowi alias “cawe-cawe” yang seharusnya tidak dilakukan seorang presiden.

Sebab, Jokowi, dengan pengakuannya cawe-cawe telah merusak suasana pemilu jujur dan adil serta netral, setidaknya terlihat dari fakta-fakta konsekuensinya, seperti surat Pj. Bupati Sorong mendukung Ganjar karena tekanan aparat pusat, pengakuan Aiman adanya arahan aparat memenangkan Prabowo, fenomena penggantian pejabat-pejabat daerah yang diduga berbasis konspirasi pilpres, dan lain sebagainya.

Sepanjang eks pendukung Jokowi hanya membatasi diri bahwa demokrasi dan penegakan hukum hancur di tangan Jokowi, alias nilai 5 kata Ganjar, lalu di demarkasi penjelasan Mahfud MD, pada era hanya paska penetapan MK terkait Gibran, maka kelompok eks pendukung Jokowi tersebut terperangkap pada kelompok kecil.

Sebab, berbagai kejahatan demokrasi tersebut, dalam perspektif saya dan kaum oposisi selama ini, perusakan demokrasi telah terjadi sejak Jokowi berkuasa. Hal itu ditunjukkan dengan pemenjaraan aktivis-aktivis pro demokrasi, seperti Rahmawati Sukarnoputri, Hatta Taliwang dkk, 2016; saya dan kawan-kawan KAMI, 2020, para ulama dan lainnya, terakhir pemidanaan penggiat isu HAM Harris Azhar dan Fatia Maulidiyanti saat ini.

Kelompok penggiat demokrasi dan HAM dari eks pendukung Jokowi hanyalah sakit hati belaka karena mereka ditinggalkan Jokowi secara politik.

Demokrasi dan Pilpres

Isu politik dinasti berkembang dengan arah terbelah. Arah pertama yang digelontorkan mahasiswa di berbagai daerah, yang marak saat ini. Mereka dalam sejarahnya bergerak berdasarkan hati nurani. Memang sebagiannya ada yang merupakan perpanjangan tangan kelompok politik tertentu. Namun, karena mahasiswa merupakan avant-garde perjuangan, mereka menjadi independen sebagai kelas menengah yang tidak mau diatur. Intinya dalam buku Youthquake 2017 dijelaskan fenomena anak-anak muda dunia yang memang “anti-establishmentan-sich saat ini.

Arah kedua adalah menempatkan isu dinasti politik sebagai alat tekan agar Jokowi tidak cawe-cawe lagi dalam urusan pilpres. Keluhan kelompok Ganjar Pranowo – Mahfud MD dan Kelompok AMIN (Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar) terus terjadi dengan adanya persepsi telah dan akan terjadi kecurangan pemilu, seperti data pemilih bocor, markas partai didatangi polisi, Jokowi membuntuti kampanye Ganjar, dan lain sebagainya. Apalagi tim pemenangan Prabowo – Gibran memastikan akan menang dalam satu putaran.

Pemilu jujur dan netral sesungguhnya hanya sebuah impian. Membayangkan Jokowi netral dengan anaknya Gibran yang sedang berkontestasi adalah fantasi buruk. Bagaimana seorang ayah akan membiarkan anaknya kalah dalam pilpres? Saya sendiri, sebagai pendukung resmi Prabowo 2014 dan 2019 meyakini kekalahan Prabowo saat itu terjadi dengan penuh kecurangan.

Dalam situasi demokrasi yang buruk selama ini serta adanya dugaan kecurangan yang sama pada pilpres lalu, maka menghadang “politik dinasti” ataupun mengharap “pemilu netral” jauh panggang dari api. Berbagai intervensi kekuasaan merupakan konsekuensi dari hilangnya demokrasi selama ini.

Dalam suasana seperti ini pula tentunya Prabowo – Gibran akan menang satu putaran dan Gerindra akan tampil sebagai pemenang dalam pilpres/pemilu. Kajian ini mirip juga diprediksi oleh Profesor Hendropriyono beberapa hari lalu, sebagaimana diberitakan berbagai media massa, bahwa Prabowo – Gibran menurutnya akan menang.

Namun, kemenangan Prabowo – Gibran yang nantinya bisa jadi melanggar norma-norma demokrasi atau dipersepsi karena adanya cawe-cawe Jokowi, kemenangan itu akan mendapat tentangan dari masyarakat. Sehingga, paska pilpres suasana politik juga akan diwarnai berbagai ketegangan dan tidak stabil.

Penutup

Ade Armando telah melancarkan serangan terhadap Sultan Hamengkubuwono dan Kesultanan Yogyakarta sebagai politik dinasti. Sultan sudah menegaskan tidak ada permintaan maaf dari PSI secara langsung kepadanya. Meski PSI mengklaim telah meminta maaf melalui sekjend PSI yang bertemu Sultan beberapa hari lalu.

Sultan Hamengkubuwono adalah pemimpin paling arif dan bijaksana yang masih hidup di Indonesia. Dia merupakan Sultan ke X sejak 1755 Kesultanan Yogyakarta berdiri. Keistimewaan kerajaannya diakui negara hanya karena dialah satu-satunya Sultan yang memberontak kepada Belanda sejak Sultan Pertama, Pangeran Mangkubumi, membela Indonesia ketika merdeka, dan melindungi pemerintahan Indonesia 1946 ketika diusir Belanda dari Batavia, dan lain sebagainya.

Eksistensi Sultan telah disamakan Ade Armando dengan Gibran dan/atau Jokowi, yang buruk di mata mahasiswa. (Bahkan, dalam kasus “Dinasti Jokowi”, BEM UGM memberi gelar Jokowi sebagai alumni UGM paling memalukan yang pernah ada).

Politik “Dinasti Jokowi” sesungguhnya adalah istilah “cawe-cawe” Jokowi yang ingin memperpanjang pengaruh politiknya dalam kekuasaan, karena gagal memperpanjang masa jabatan maupun kuasa 3 periode. Dalam pilpres, isu ini berhubungan dengan netralitas Jokowi. Namun, bagaimana Jokowi mau netral?

Dalam pandangan kaum oposisi, selama 9 tahun Jokowi telah mengabaikan demokrasi. Pemberangusan demokrasi dilakukan dengan memenjarakan aktifis-aktifis pro demokrasi, pemidanaan tokoh-tokoh hak asasi manusia, ulama dan bahkan pembunuhan politik terhadap anggota-anggota FPI.

Prabowo – Gibran kelihatannya akan menang pilpres, seperti proyeksi Profesor Hendropriyono baru-baru ini. Bahkan, bisa jadi satu putaran sekaligus Gerindra pemenang pemilihan legislatif sebagaimana klaim Gerindra. Namun, jika kemenangan ini merupakan hasil kecurangan politik, maka dapat dipastikan stabilitas nasional akan terus tergoyang ke depan.

Klaim Ade Armando bahwa soal tuduhan politik dinasti bukan terkait pasangan Prabowo – Gibran, melainkan urusan Kesultanan Yogyakarta, memperkeruh suasana pilpres saat ini. Namun, klaim ini menunjukkan juga adanya soal-soal prinsipil terkait pemilu tidak jujur, yang perlu dihadang oleh rakyat. Entah bagaimana caranya? (*)