Fufufafa Sengaja Melakukan "Clown Theory" Demi Tujuan Selalu Viral?
Teori yang menjelaskan fenomena seseorang sengaja berperilaku kurang literasi – alias maaf, bodoh atau konyol – untuk menarik perhatian dan menjadi viral sering dikaitkan dengan konsep Teori pencitraan negatif atau dikenal sebagai "clown theory".
Oleh: KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen
PERTAMA-tama perlu ditegaskan dalam tulisan ini bahwa sosok Fufufafa yang dimaksud tidak perlu dijelaskan lagi siapa identitas aslinya karena dalam berbagai penjelasan secara teknis dan ilmiah sebelumnya, sosok Fufufafa tersebut sudah bisa dipastikan 99,9% adalah orang yang dimaksud selama ini alias tidak perlu diragukan lagi.
Mostly masyarakat Indonesia juga sudah maklum dengan siapa yang berada dibalik Akun KasKus Fufufafa di antara tahun 2013 hingga 2019 yang sangat tidak beradab kata-katanya, hatespeech, kampungan, jorok, porno, bahkan rasis itu.
Meski ada berbagai upaya untuk melakukan penyesatan fakta dengan kelakuan para BuzzerRp yang berusaha membuat klaim yang sangat tampak sengaja diarahkan ke pribadi-pribadi selain yang sudah dipastikan 99,9% tersebut.
Namun upaya konyol tersebut praktis telah gagal dan hanya menjadi bahan tertawaan Netizen dan Rakyat yang sudah cerdas mengetahui siapa sebenarnya orang yang berada di balik Akun Fufufafa. Apalagi sebenarnya Netizen itulah yang berjasa untuk bisa saling bahu-membahu membongkar Jejak Digital Akun KasKus kontroversial tersebut.
Meski apa yang dilakukan Netizen awalnya adalah baru menampilkan data secara sporadis, namun ini sudah merupakan bagian puzzle alias awal dari Spektrum Analisis yang digunakan. Data-data itu kemudian diolah menjadi Informasi yang bisa mulai "berbunyi/berarti".
Kemudian informasi-informasi disatukan menjadi Pengetahuan yang bisa diuji secara ilmiah. Dan, selanjutnya tahapan terakhir adalah bagaimana pengetahuan tersebut bisa dimanfaatkan untuk kebijakan, semua ini ilmiah dan ada buktinya semua, bukan hanya klaim omon-omon sebagaimana upaya penyesatan BuzzerRp di atas.
Oleh karenanya jika dilihat kembali Rekam Jejaknya, Fufufafa ini sejak dahulu memang seringkali melakukan tindakan konyol yang kalau dalam istilah sekarang disebut "di tepi jurang" (bahaya). Salah satunya adalah saat dia membuka Warung Markobar (= Martabak Kota Barat) di sebelah barat Solo Grand Mall awal Mei 2015 silam.
Saat itu di salah satu dindingnya dihiasi Ilustrasi gambar mata satu dan segitiga, yangmana sudah menjadi Pengetahuan umum itu merupakan simbol illuminati, Cyclops alias Dajjal. Meski sempat Fufufafa melakukan pembelaan tidak bermutu terhadap arti gambar tersebut, akhirnya dihapus juga.
Menurut organisasi PII (Pelajar Islam Indonesia) yang sempat melakukan protes terhadap gambar Dajjal mata satu tersebut; Siapa pun perancang desain gambar sudah dipastikan memiliki pehaman dari makna lambang Dajjal tersebut.
Dengan begitu, hal tersebut mengindikasikan bukan faktor ketidaksengajaan lagi, melainkan ada misi tertentu. Mereka bahkan sempat meminta klarifikasi ke JokoWi atas kelakuan anak sulungnya tersebut, namun kasus berakhir saat gambar Dajjal di Warung Markobar tersebut akhirnya dihapus setelah sempat Viral.
Kekonyolan besar selanjutnya terjadi saat Fufufafa ini bicara dalam Diskusi Ekonomi Kreatif yang digelar di Jakarta Selatan, Ahad (3/12/2023). Saat itu secara lantang dia bilang "... lalu ketika hamil harus dicek, misalnya asam sulfat, yodiumnya terpenuhi nggak ...".
Kata asam sulfat (H2SO4) inilah yang menjadi viral karena seharusnya asam folat (C19H19N7O6), sangat jauh berbeda unsurnya, bahkan ini berbahaya. Uniknya kata aSAM SULfat kemudian lebih populer disingkat menjadi akronim "SamSul" untuk sebutan dia, namun tampaknya Fufufafa justru terlihat "menikmati" dengan akronim tersebut.
Terbukti bahwa kata samsul malah dibuat menjadi berbagai Kaos dan dipakai sebagai atribut yang banyak dipakai oleh para pendukungnya.
Selanjutnya banyak (kesengajaan?) kekonyolan yang dilakukan oleh Fufufafa, mulai dari sikap songongnya meledek Prof Mahfud MD dengan gaya "mencari-cari jawaban" dan menggunakan istilah asing untuk menjebak Muhaimin Iskandar saat Debat Pilpres lalu.
Tidak bisa menyebut kata "Paralimpiade" saat Rapat koordinasi Menteri, dan bahkan tidak lancar membaca Teks Pidato, sampai fatal berkali-kali salah saat Pidato baru-baru ini (penyebutan "ibu-ibu" yang berkali-kali dikoreksi seharusnya "sahabat" oleh Fatayat NU, hingga penggunaan kata dobel jamak "para-para" untuk menunjuk ke audiensnya).
Jika diperhatikan tampak dia tidak menyesal – atau mungkin karena keterbatasan literasi sehingga memang tidak mengerti – akan berbagai blunder dan kesalahannya itu dan malah makin menikmati keViralannya.
Teori yang menjelaskan fenomena seseorang sengaja berperilaku kurang literasi – alias maaf, bodoh atau konyol – untuk menarik perhatian dan menjadi viral sering dikaitkan dengan konsep Teori pencitraan negatif atau dikenal sebagai "clown theory".
Dalam beberapa kasus, hal ini juga dapat disebut sebagai bagian dari teori social proof atau teori sensasionalisme. Istilah ini tidak selalu resmi dalam ranah akademik, tetapi mengacu pada gagasan bahwa:
Satu; Kontroversi atau perilaku tidak biasa menarik perhatian: Orang cenderung lebih mengingat tindakan yang tidak lazim dibanding perilaku normal.
Dua; Atensi lebih penting daripada reputasi: Dalam era media sosial, perhatian (baik positif atau negatif) seringkali diprioritaskan karena dapat meningkatkan eksposur dan popularitas seseorang.
Tiga; "Bad publicity is still publicity": Prinsip ini menunjukkan bahwa bahkan perhatian negatif pun dapat dimanfaatkan untuk membangun ketenaran.
Dalam budaya populer, strategi Fufufafa ini sering terlihat pada figur publik atau konten kreator yang sengaja melakukan tindakan absurd untuk menciptakan kontroversi atau menjadi pembicaraan di publik.
Jelasnya "Bad publicity is still publicity" adalah sebuah ungkapan yang menggambarkan gagasan bahwa segala bentuk perhatian, baik itu positif maupun negatif, tetap dapat memberikan manfaat bagi seseorang. Intinya, selama orang membicarakan dia, itu bisa dianggap sebagai peluang untuk mendapatkan eksposur atau ketenaran, karena eksposur adalah Kunci.
Dalam konteks ini, perhatian publik – baik berupa pujian maupun kritik – tetap membantu seseorang atau entitas untuk tetap relevan di mata masyarakat. Orang-orang yang mendengar atau membaca tentang mereka akan menjadi penasaran, yang pada akhirnya meningkatkan visibilitas.
Kesimpulannya, meskipun sebelumnya diatas sudah disebut juga "bad publicity is still publicity" dan bisa berakibat Fufufafa jadi cibiran atau hanya bahan tertawaan masyarakat, namun hal ini efektif untuk mendapatkan perhatian publik dan dampaknya tergantung pada bagaimana pelaku mengelola persepsi publik setelah kontroversi terjadi.
Sehingga jika selama ini masyarakat dibuat terheran-heran dengan ulah konyol Fufufafa itu, jangan-jangan memang dia sengaja melakukan "Clown Theory"-nya agar bisa tetap terekspose media terus hingga niatnya tahun 2029 – atau bahkan dipaksakan sebelumnya – tercapai? Astaghfirullah ... (*)