Habis Mega Bintang, Terbitlah Mega Anies

Sudah saatnya Mega dan Anies meninggalkan masa kelam penuh kegelapan dan menatap masa depan Indonesia yang cerah. Seperti harapan dan keyakinan keduanya, maka habis Mega Bintang terbitlah Mega Anies.

Oleh: Yusuf Blegur, Kolumnis dan Mantan Presidium GMNI

ANGGAP saja Mega dan PDIP sekuler, Anies distigma dari kelompok kanan atau Islam Politik. Mega Bintang yang lintas ideologi saja pernah bersatu dan tercatat dalam sejarah. Bagaimana mungkin Mega Anies tak bisa mewujud, terutama saat menghadapi rezim tuna Ketuhanan dan Kemanusiaan?

Perjalanan politik Megawati Soekarnoputri seperti sedang mengalami proses “de javu”. Pasca Pilpres 2024, Mega kembali harus berhadapan dengan sistem kepartaian dan kekuasaan yang monolitik. Eksistensi partai politik dan kekuasaan yang berada di bawah kendali seorang presiden.

Bedanya, Mega pernah berhadapan dengan rezim yang dipimpin oleh seorang jenderal. Tapi, kali ini Mega harus menghadapi presiden seorang sipil yang lebih militeristik dari seorang militer. Jauh lebih otoriter dan diktator, bertangan besi, dan berdarah dingin. Terbukti dan disesali sebagai pemimpin sipil yang distortif dan represif.

Mega tanpa terasa sekarang ini masuk dalam pusaran siklus sejarah yang berulang. Pernah menjadi pejuang demokrasi dan konstitusional. Melewati proses peristiwa Kudatuli (Tragedi 27 Juli 1996) dan PDI yang dipimpinnya direkayasa rezim tidak bisa mengikuti Pemilu 1997. Tidak surut karena tekanan politik, Mega berhasil membangun koalisi basis massa lintas ideologi dan aliran politik.

Sejarah mencatatnya sebagai gerakan Mega-Bintang, aliansi massa rakyat pendukung PDI dan PPP. Tindak lanjut Pertemuan Megawati dan Mudrick MS Sangidoe, Ketua PPP Surakarta, Jawa Tengah waktu itu, telah melahirkan fenomena Mega-Bintang yang merepresentasikan sekaligus memelopori perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni Golkar dan pemerintahan Orde Baru.

Kini Megawati Soekarnoputri tidak sendiri, ia bersama Anies Baswedan.

Mega yang mengemban Soekarnoisme sebagai Ketua Umum PDIP dengan basis massa yang ideologis dan militan. Anies pemimpin yang berkarakter dan penuh integritas, giat mengusung politik keberadaban. Mega menjadi salah satu pemimpin politik yang ikut membidani gerakan reformasi.

Anies pemimpin yang outentik yang menjadi “avant garde” gerakan perubahan. Keduanya sama-sama menjadi korban dan terus semangat berjuang menegakkan konstitusi dan demokrasi dari penghianatan dan kejahatan rezim tirani terhadap Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.

Mau tidak mau, suka tidak suka, dan senang atau tidak senang, maka rakyat, negara dan bangsa Indonesia perlu perubahan dan kehidupan yang lebih baik. Mega dan Anies harus bisa bersatu, membangun sinergi dan kolaborasi untuk keselamatan bangsa. Keduanya potensial kohesif bisa menyelamatkan pemilu yang tersisa agar berlangsung secara terhormat dan bermartabat.

Mengawal dan mengawasi proses kedaulatan rakyat dengan prinsip kejujuran dan keadilan. Pemilu tanpa politik dinasti dan pengaruh oligarki. Pilpres telah usai, Pilgub Jakarta akan sampai. Tidak hanya dengan PPP, bersama koalisi partai pendukung gerakan perubahan, PDIP bisa menambah kekuatan politik oposisi.

Sudah saatnya Mega dan Anies meninggalkan masa kelam penuh kegelapan dan menatap masa depan Indonesia yang cerah. Seperti harapan dan keyakinan keduanya, maka habis Mega Bintang terbitlah Mega Anies.

Mega Anies mungkin menjadi satu keniscayaan, mewujudkannya itu menjadi satu keyakinan. (*)