Hakim Konstitusi: Sebagai Wakil Tuhan atau Wakil Penguasa?
Apalagi, bukti-bukti persidangan telah mengungkap fakta adanya pencurangan secara Terstruktur, Sistematis, dan Massif (TSM) seperti yang diajukan oleh 01 dan 03. Pilihan ada pada Yang Mulia Majelis Hakim, “Sebagai Wakil Tuhan atau Wakil Penguasa”.
Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Freedom News
TIGA Hari lagi, Senin, 22 April 2024, nasib dan masa depan Indonesia ada di tangan 8 Hakim Konstitusi di MK. Apakah akan bertahan dalam situasi dan kondisi seperti 10 tahun terakhir ini.
Atau justru sebaliknya, keluar dari keterpurukan untuk menyongsong masa depan yang lebih baik dan berkeadilan. Bukan kepemimpinan berkelanjutan yang akan menyengsarakan rakyat Indonesia lagi. Kepemimpinan lanjutan di bawah kendali Oligarki dan Aseng.
Rakyat dicekik pajak hanya untuk tutupi hutang yang menumpuk. Semua mulai dipajaki. Hasil pertanian dan lain-lain juga berpotensi untuk ditarik pajak. Andai udara saja bisa dijadikan uang, mungkin untuk bernapas saja juga bakal dikenai pajak.
Sebuah pemerintahan yang didasari dengan pelanggaran konstitusi, apalagi sudah jelas-jelas di Mahkamah Konstitusi (MK) secara gamblang terungkap adanya pencurangan Pilpres 2024 dari Pengadu Paslon 01 Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar dan Paslon 03 Ganjar Pranowo – Mahfud MD, delapan (8) Hakim Konstitusi tidak boleh menutup mata dan telinga.
Mereka harus sadar bahwa Putusan MK Nomor: 90/PUU-XXI/2023 yang ketika itu diketok oleh Ketua MK Anwar Usman yang juga paman dari Gibran Rakabuming Raka putera sulung Joko Widodo, telah melahirkan anak “Haram Konstitusi” – meminjam istilah TEMPO.
Komposisi Hakim Konstitusi yang meloloskan Gibran hingga bisa menjadi Cawapres Prabowo Subianto, yaitu 5 (mengabulkan sebagian) : 4 (dissenting opinion). Paman Anwar Usman, salah satu Hakim Konstitusi yang ikut memberi karpet merah kepada Gibran.
Bagaimana seorang Gibran yang belum “cukup umur” dengan putusan majelis yang saat itu masih diketuai Paman Usman memberi karpet merah sehingga bisa ikut kontestasi Pilpres 2024. Empat hakim konstitusi tak sejalan dengan Putusan MK 90 Tahun 2023 yang melonggarkan syarat usia minimum capres-cawapres (40 tahun) pada Senin (16/10/2023).
Empat hakim menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait putusan ini. Mereka adalah Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat. Sementara itu, dua hakim konstitusi lainnya menyampaikan concurring opinion (alasan berbeda) untuk putusan yang sama, yakni Daniel Foekh dan Enny Nurbaningsih.
Selama sidang pembacaan putusan, pertimbangan MK hanya dibacakan oleh 2 hakim konstitusi, yaitu Manahan Sitompul dan Guntur Hamzah. Ketua MK Anwar Usman hanya mengetuk palu, dan menyatakan bahwa gugatan pemohon “dikabulkan sebagian”.
Dengan ini, maka syarat usia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai capres-cawapres bukan syarat mutlak, karena berlaku syarat alternatif berupa pengalaman pernah menjadi pejabat hasil pemilu, baik itu pilkada maupun pileg.
"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai 'berusia 40 tahun, atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'," kata Anwar Usman membacakan amar putusannya.
Hal itu disampaikan dalam pembacaan amar putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10). Ketua MK Anwar Usman mengabulkan permohonan pemohon bernama Almas Tsaqibbirru Re A untuk sebagian.
Menurutnya, permohonan yang diajukan Almas beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, MK menyatakan Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Maka dari itu, katanya, MK mengubah isi Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 menjadi, "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk kepala daerah."
Dua Hakim Konstitusi yang semula memberi concurring opinion (alasan berbeda) untuk putusan yang sama, Daniel Foekh dan Enny Nurbaningsih, pada akhirnya sependapat dengan tiga Hakim Konstitusi yang mengabulkan sebagian: Manahan Sitompul, Guntur Hamzah, dan Anwar Usman.
Kini, komposisi Hakim Komposisi itu sudah berubah. Politisi Asrul Sani menjadi Hakim Konstitusi menggantikan Wahiduddin Adam yang memasuki pensiun karena usia 70 tahun. Selama ini Asrul dkenal sebagai politisi PPP yang sangat “loyal” dan sering puja-puji pada Presiden Jokowi.
Mungkinkah Asrul Sani bakal mengikuti jejak Wahiduddin Adam yang dissenting opinion seperti Hartoyo, Saldi Isra, dan Arief Hidayat? Semoga saja dia sadar bahwa penyebab kegaduhan Pilpres 2024 ini salah satunya adalah akibat Putusan MK 90 Tahun 2023 itu.
Jika Daniel Foekh dan Enny Nurbaningsih masih tetap dukung dengan memberi concurring opinion (alasan berbeda) untuk putusan yang sama seperti pada Putusan MK 90 Tahun 2023 itu, maka kini tinggal bagaimana sikap Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur.
Panitera Mahkamah Agung (MA) tersebut dilantik menjadi Hakim Konstitusi menggantikan Manahan Sitompul yang memasuki masa pensiun pada Desember 2023, Jumat (8/12/2023). Ridwan menjadi hakim MK yang berlatar belakang lembaga yudikatif.
Manahan sebelumnya berada di posisi hakim yang mendukung Putusan MK 90 Tahun 2023. Satu-satunya harapan agar komposisi hakim menjadi 5 (mengabulkan permohonan 01 dan 03) : 4 (menolak) ada pada Ridwan Mansyur.
Apalagi, Ridwan Mansyur tidak turut serta dalam memutus perkara MK 90 Tahun 2023 tersebut. Jadi, Ridwan Mansyur tidak ada sangkut pautnya, sehingga masih “steril” dari kepentingan para pihak, terutama Jokowi dan Gibran.
Atas dasar itu pula, saat MK secara resmi membentuk Majelis Kehormatan MK Permanen, Rabu (20/12/2023), Ridwan Mansyur terpilih sebagai salah satu anggotanya. Keputusan ini disepakati secara aklamasi oleh 9 Hakim Konstitusi dalam forum Rapat Permusyawaratan anggota MKMK.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan, anggotanya Prof. Dr. Yuliandri. “Beliau adalah mantan Rektor Universitas Andalas Padang. Kedua, Dr. I Dewa Gede Palguna, beliau mewakili tokoh masyarakat,” kata Enny Nurbaningsih.
“Dan satu diambil dari hakim aktif sesuai dengan ketentuan undang-undang adalah hakim yang baru dilantik, yaitu Dr. H. Ridwan Mansyur," kata Enny dalam jumpa pers di Gedung MK, Jakarta, Rabu (20/12/2023). I Dewa Gede Palguna (Hakim Konstitusi Masa Jabatan 2003–2008 dan 2015–2020).
Menurut Enny, ketiganya dianggap memenuhi syarat yang terdiri dari memiliki integritas, jujur, dan adil, berusia paling rendah 60 tahun, dan berwawasan luas. Dari 3 nama itu, Palguna sebelumnya pernah menjabat sebagai Ketua MKMK yang masih bersifat ad hoc ketika mengadili pelanggaran etik hakim konstitusi Guntur Hamzah.
Tercatat, sebagai anggota MKMK, Ridwan Mansyur juga pernah ikut mengadili Terlapor Hakim Konstitusi Anwar Usman untuk kedua kalinya. Untuk yang kedua kalinya Anwar Usman terbukti melanggar etik sehingga MKMK memberikan teguran tertulis.
Untuk pertama kalinya juga Ridwan Mansyur ikut “mengadili” Anwar Usman. Sidang Pengucapan Putusan MKMK ini dilakukan pada Kamis (28/3/2024) di Ruang Sidang Panel, Gedung 2 MK, Jakarta.
Tampaknya, harapan satu-satunya dari 8 Hakim Konstitusi yang menyidangkan sengketa PHPU Pilpres 2024 adalah pada Ridwan Mansyur, jika 4 Hakim Konstitusi lainnya masih tetap bersama Putusan MK 90 Tahun 2023 yang meloloskan Gibran.
Apalagi, bukti-bukti persidangan telah mengungkap fakta adanya pencurangan secara Terstruktur, Sistematis, dan Massif (TSM) seperti yang diajukan oleh 01 dan 03. Pilihan ada pada Yang Mulia Majelis Hakim, “Sebagai Wakil Tuhan atau Wakil Penguasa”.
Kalau mereka masih mengaku sebagai Wakil Tuhan, maka Majelis Yang Mulia akan mengabulkan Permohan 01 dan 03, karena Tuhan itu tidak suka pada pencurangan dan kejahatan.
Tapi, jika merasa sebagai Wakil Penguasa, mereka akan berjuang untuk memenangkan Prabowo - Gibran yang didukung oleh Presiden Jokowi.
Yang pasti, jangan sampai Bumi Pertiwi ini dipimpin oleh pemimpin yang dihasilkan dari kejahatan Pemilu (Pilpres). Karena taruhannya adalah Indonesia Masa Depan, begitu kata Refly Harun dalam Speak Up Abaham Samad. (*)