Hariman Siregar, Pelopor Keterbukaan
Semoga saja pengadilan itu tetap terbuka dan wajar sebagaimana dikehendaki oleh komitmen kita semua, dan semoga dengan begitu mampu menciptakan penilaian dan keputusan yang obyektif, adil dan benar, bukan semata-mata keinginan-keinginan subyektif.
Oleh: Nurcholish Madjid, Aktivis dan Pemerhati Kebangsaan
PERISTIWA Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan yang terjadi pada tanggal 15–16 Januari 1974.
Mula-mula dinyatakan oleh Kepala BAKIN bahwa pengadilan tokoh-tokoh “Malari” (antara lain Hariman Siregar) akan menampilkan suatu surprise. Semua orang bertanya-tanya keras tentang apa yang dimaksudkan dengan surprise itu, tanpa berhasil menemukan jawabnya yang pasti.
Kemudian ternyata bahwa pengadilan itu memang dilaksanakan mulai 2 Agustus 1974. Pengadilan dinyatakan terbuka untuk umum, sehingga siapa saja dapat menghadirinya. Pembatasan terjadi hanya karena alasan teknis semata-mata, yaitu ruangan yang sempit.
Maka berbondong-bondonglah orang yang berminat kepada proses pengadilan itu, entah karena simpati kepada pribadi Hariman, atau karena merasa concerned permasalahannya, atau mungkin karena memang berkepentingan, dan macam-macam lagi.
Dan, suatu hal yang amat menarik ialah tampilnya para pembela. Mereka terdiri dari orang-orang kenamaan yang memiliki reputasi cukup tinggi dalam profesinya.
Kemudian, disusul dengan keterangan Sudomo dalam kesempatan menerima delegasi Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB-PII) bahwa peristiwa “Malari” tidak sama – dan tentunya tidak akan disamakan – dengan peristiwa Gestapu/PKI. Karena itu para pelakunya pun tidak akan disamakan penindakannya dengan para pelaku Gestapu/PKI.
Dikemukakan oleh Sudomo bahwa kita tidak akan menghancurkan para mahasiswa dan pelajar serta kaum muda pada umumnya, sebab kita dapat kehilangan generasi penerus.
Bahkan, dikatakan olehnya bahwa oposisi dalam negara kita adalah wajar, karena kita menganut demokrasi. Kalau toh tidak ada keterangan lain tentang apa yang dimaksudkan oleh Kepala Bakin dengan surprise beberapa waktu yang lalu, maka adanya tanda-tanda semakin terbukanya sistem sosial politik kita, khususnya yang berkaitan dengan proses pengadilan suatu peristiwa politik, sudah cukuplah rasanya sebagai surprise.
Tanda-tanda semakin terbuka itu merupakan kesimpulan kita dari kenyataan dan keterangan-keterangan tersebut di atas. Jika benar demikian keadaannya, maka Hariman menjadi pembuka jalan. Sudah tentu bukan pribadi Hariman yang menjadi pembuka jalan, tetapi peristiwa yang bersangkutan dengan dirinya, yaitu peristiwa politik yang mendapatkan penyelesaian wajar itu.
Bagi mereka yang cukup sejati dalam minatnya kepada pertumbuhan demokrasi dan tertib hukum, keadaan serupa itu sudah lama menjadi harapan. Almarhum Prawoto Mangkusasmito selaku Ketua Umum Masyumi waktu dibubarkan (pada tahun 1960 oleh Bung Karno) sangat menginginkan agar terhadap tokoh-tokoh partai tersebut yang dituduh melakukan kesalahan-kesalahan politik diadakan pengadilan umum dan terbuka untuk membuktikan benar-tidaknya tuduhan-tuduhan itu.
Sayang sekali – sebagaimana tentu sudah diduga sebelumnya – pemerintah pada waktu itu tidak pernah memenuhi harapan Ketua Umum Masyumi tersebut. Dan sampai sekarang pun suatu pengadilan tidak pernah diadakan untuk mereka – para pemimpin Masyumi itu – sehingga secara hukum resmi (juridis formil) belum terjadi kejelasan. Sudah tentu secara lain, khususnya sosial-politis, kejelasan itu sudah lama terjadi, lepas dari persoalan setuju atau tidak setuju.
Terhadap mereka yang terlibat dalam peristiwa Gestapu/PKI juga diadakan pengadilan. Tetapi belum semuanya, malahan baru sebagian kecil saja, yang terbukti semuanya benar-benar terlibat sebagaimana dituduhkan, dan telah pula divonis.
Semata-mata dari segi kepentingan membangun tradisi menegakkan tertib hukum, adalah baik sekali jika semua tapol yang sekarang meringkuk itu diadakan pengadilan, dengan tetap membuka kemunigkinan bahwa tuduhan tidak terbukti, dan kemudian dengan sendirinya dibebaskan. Di sini tidak dikemukakan segi pertimbangan lainnya.
Sebab, toh akhimya yang kita kehendaki semua ialah tampilnya kebenaran. Ucapan itu sudah menjadi semacam klise. Tetapi jika tidak demikian maka apalagi yang menjadi tujuan kita?
Sekarang harapan-harapan keadilan dan tertib hukum boleh kita mulai meletakkannya pada proses pengadilan Hariman.
Semoga saja pengadilan itu tetap terbuka dan wajar sebagaimana dikehendaki oleh komitmen kita semua, dan semoga dengan begitu mampu menciptakan penilaian dan keputusan yang obyektif, adil dan benar, bukan semata-mata keinginan-keinginan subyektif.
Dan semoga pula hal serupa itu akan diikuti secara konsisten untuk kemungkinan-kemungkinan masa yang akan datang. (*)