Harmonisasi Pajak dan Politik Dua Muka PDIP

Kenaikan PPN 12% merupakan produk legislasi PDIP tahun 2021, sebagai partai penguasa. Saat ini PDIP mengorkestrasi kebencian atas rencana kenaikan PPN tersebut. Ini adalah politik jahat, yang harusnya sudah dikubur pada era paska Jokowi.

Oleh: Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

KEGADUHAN di ruang publik terkait kenaikan pajak PPN dari 11% menjadi 12% telah berlangsung intens beberapa bulan terakhir. UU Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang memuat 6 kebijakan terkait penerimaan negara, yang disusun oleh pemerintahan era Joko Widodo dan PDIP sebagai partai pemenang pemilu saat itu, menyatakan bahwa tahun 2025, adalah masa pemberlakuan PPN 12%.

Namun, kegaduhan di ruang publik saat ini dimotori oleh elit-elit partai PDIP, baik di DPR, maupun di luar DPR, serta kalangan intelektual yang terafiliasi dengan mereka, seperti Mahfud MD. Ganjar Pranowo sendiri menyerang pemerintah dalam isu kenaikan pajak ini dengan menggunakan istilah sarkastik "pemerintah harus dengar jeritan hati rakyat".

Dalam suasana ekonomi yang memburuk, awal pemerintahan Prabowo Subianto, yang merupakan bawaan pemerintahan Jokowi dan PDIP, tentunya sangat sulit bagi Prabowo menghindari ketentuan Undang-undang yang sudah diberlakukan.

Sehingga, dalam konteks kenaikan pajak PPN sebesar 1% dari sebelumnya, pemerintah berusaha untuk mengklasifikasi jenis-jenis barang dan jasa mewah tertentu yang diterapkan naik, sebaliknya beberapa jenis barang dan jasa vital bagi masyarakat umum tidak dinaikkan.

Pengenaan kenaikan pajak misalnya pada barang-barang luxurious seperti mobil, makan di hotel-hotel mewah, telah menjadi prioritas utama. Namun, di sini pun kita melihat orkestrasi elit-elit PDIP menyerang kebijakan tersebut.

Tolak PPN

Ahmad Noer Hidayat, ekonom dan dosen UPN, dalam tulisannya "Tolak Kenaikan PPN: Saatnya Kebijakan Kreatif untuk Indonesia Lebih Baik" menyarankan agar kenaikan pajak PPN 12% ditunda.

Ahmad juga memberikan berbagai solusi untuk pemerintah bisa menggantikan kebijakan itu melalui penaikan pajak sektor digital dengan potensi penerimaan Rp 70-100 triliun, optimalisasi tata kelola perpajakan dengan potensi penerimaan Rp 50-75 triliun, dan terakhir peningkatan pajak orang kaya (wealth tax).

Pajak orang kaya berbeda dengan pajak PPh Badan yang juga masuk dalam bahasan UU HPP. Untuk Wealth tax ini di Amerika Serikat, misalnya, dikenal merupakan ide kebijakan dari kelompok pemikir demokrat seperti Profesor Stiglitz.

Ahmad Noer yang mereferensikan petisi tolak PPN 12% yang sudah ditandatangani lebih 100.000 orang, meyakini bahwa ada alternatif kebijakan.

Persoalannya, Ahmad tidak menjelaskan bahwa Undang-undang Harmonisasi Perpajakan itu dibuat oleh PDIP dan Jokowi, yang jatuh tempo pelaksanaannya tahun depan (2025) serta pembatalan UU tersebut harus dilakukan DPR.

Tentu saja jika Prabowo berperilaku sama dengan Jokowi, yakni gemar membuat Perpu, Prabowo bisa melakukan pembatalan kenaikan itu. Sayangnya, jika Prabowo mulai gemar membuat Perpu, fungsi Puan Maharani, sebagai Ketua DPR, akan menjadi lemah nantinya.

PDIP dan Oposisi

Elit PDIP beberapa waktu lalu telah menyatakan permohonan maaf atas kekhilafan mereka yang menjadikan Jokowi Presiden. Hal itu dinyatakan antara lain oleh Dedy Sitorus, anggota Dewan dari PDIP. Tentang kekhilafan ini adalah terkait dengan sosok Jokowi yang dianggap mereka banyak menabrak UU termasuk keputusan MK.

Pernyataan seperti ini perlu diapresiasi karena kita ingin negara dikembalikan pada fungsi yang benar, yakni diatas segala kepentingan individu.

Terkait UU Harmonisasi Perpajakan yang dibuat PDIP tersebut, tentu saja Puan Maharani dan PDIP jangan memprovokasi rakyat untuk menolak kenaikan PPN 12% secara "double face", karena itu adalah praktik hipokrit.

Kekhilafan PDIP dalam konteks pemerintahan masa lalu, haruslah ditunjukkan dengan cara-cara "gentleman", seperti memohon maaf pada rakyat karena PDIP lah yang membuat UU Harmonisasi Perpajakan itu, serta PDIP langsung meminta fraksinya di DPR mengusulkan revisi segera UU itu. Dengan adanya revisi UU Perpajakan, jika UU direvisi, bisa saja ke depan, PPN bukan saja tidak naik, malah diturunkan seperti di Vietnam baru-baru ini.

Sumber pembiayaan pembangunan di Indonesia bukanlah hal susah. Sebab, sebuah perusahaan seperti VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) saja bisa membangun negara Belanda hanya bersumber kekayaan kita.

Jadi tergantung elit-elit politik mau berhenti korupsi atau tidak. Presiden Prabowo sudah mengatakan kepada koruptor akan mengampuni mereka jika uang-uang korupsi seribuan triliun itu dikembalikan ke negara. Jika itu terjadi, kita tidak tergantung lagi pada pajak.

Kembali ke konteks PPN ini, sudah selayaknya PDIP harus menyatakan diri sebagai oposisi, artinya bersikap tegas dan lalu menginisiasi revisi UU Harmonisasi Perpajakan itu di DPR.

Penutup

Kenaikan PPN 12% merupakan produk legislasi PDIP tahun 2021, sebagai partai penguasa. Saat ini PDIP mengorkestrasi kebencian atas rencana kenaikan PPN tersebut. Ini adalah politik jahat, yang harusnya sudah dikubur pada era paska Jokowi.

PDIP yang sudah menyatakan khilaf karena mendukung Jokowi di masa lalu, harusnya memberikan kesempatan pada pemerintah baru mencari solusi atas persoalan yang ada. Apalagi, jika kebijakan pajak PPN Prabowo terkait dengan produksi hukum buatan PDIP sendiri.

Indonesia adalah negara sangat kaya. Tinggal bagaimana kita mendukung Prabowo mendapatkan kekayaan itu kembali dari oligarki rakus, dan menjadikan kekayaan itu sumber pembiayaan untuk pembangunan ke depan. (*)