Histeri Anies

Anies dipandang memiliki integritas dan kapasitas untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa yang sudah terpuruk begini. Sedangkan Muhaimin Iskandar, tokoh Islam moderat (Nahdliyin) yang jadi wakilnya, bisa menutupi kekurangan Anies.

Oleh: Adhie M Massardi, Mantan Juru Bicara

HISTERIA publik kepada Anies Baswedan jauh lebih berkualitas dibanding hal sama yang terjadi pada SBY (2004), Widodo (2014), dan Prabowo (2019). Begini penjelasannya:

Anies seperti punya daya magis. Ke mana pergi disambut histeria massa. Panggung sederhana Desak Anies melahirkan gaung sambung-menyambung. Bikin lawan-lawan politiknya terbingung-bingung.

Apa pun yang disentuh timbulkan gemuruh. Platform TikTok yang selama ini banyak dipakai sarana joget begitu disentuh Anies jadi “PoliTikTok”. Goyang gemoy pun letoy. Di TikTok mereka benar-benar keok.

Beberapa detik saja muncul di videotron, Anies bisa bikin panggung politik terguncang. Lahir drakor (drama kotor). Kisahnya penguasa kelam tancapkan kuku besinya yang karatan untuk memastikan kekuasaan hanya berputar di lingkaran keluarga. Tapi dinasti sudah terlanjur dinista.

Daya magis Anies juga membuat kata menjadi mantra. Kata Perubahan adalah solusi untuk bisa membongkar kebuntuan dan keputusasaan. Menjanjikan keadilan dan kesejahteraan. Mempesona secara lintas batas. Tak soal Generasi X, Y, Z, yang milenial maupun yang kolonial. Tapi, menjadi ancaman bagi pemegang kekuasaan.

Maka para pendukung Anies bergerak secara organik. Tumbuh tanpa harus disentuh. Mandiri karena memang berdikari. Berhimpun di atas kaki sendiri.

Mereka, kaum HumAnies ini, memang seperti kawanan burung walet. Tak mudah diternakkan. Burung walet akan datang berbondong-bondong di tempat yang diberkahi langit. Lalu membuat bersarang yang bisa menghasilkan banyak uang.

Itu sebabnya di kalangan pegiat survei politik yang berintegritas, angka Anies grafiknya terus naik. Belum ada indikasi menurun. Sementara rivalnya terpontal-pontal.

Anies Baswedan memang bukanlah orang pertama yang melahirkan histerai politik dalam pilpres. Tapi “demam Anies” pada Pilpres 2024 berbeda jenis dan kualitasnya dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pilpres 2004, Joko Widodo (2014), dan Prabowo Subianto (2019).

Pada 2004, SBY jadi bintang pilpres karena mainkan skenario “seolah korban” (playing victim) hanya gegara Taufik Kiemas (alm), suami Presiden Megawati dipancing wartawan untuk (seolah) bilang “SBY itu jenderal anak kecil!”

Pada 2014, Joko Widodo jadi bintang pilpres karena dianggap datang dari kalangan rakyat jelata yang masih lugu, dan belum pandai berbohong seperti para politisi dari parpol korup. Ada juga dampak rekayasa seolah mau produksi mobil lokal SMK (Esemka).

Pada 2019, Prabowo dielu-elukan massa pada pilpres karena lawannya Joko Widodo, petahana yang bikin muak rakyat (emak-emak, buruh, sebagian besar umat Islam) karena sudah terlalu banyak bohongnya.

Sekarang, 2024, histeria rakyat kepada Anies Baswedan tidak hanya karena faktor emosi sesaat, bukan juga lantaran jadi korban tekanan rezim yang ingin melestarikan kekuasaan.

Histeria kepada Anies karena kesadaran penuh masyarakat yang sudah muak melihat tingkah laku penguasa yang korup dan pembohong, dan mereka ingin keluar dari berbagai persoalan yang telah dibuat rezim Widodo.

Anies dipandang memiliki integritas dan kapasitas untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa yang sudah terpuruk begini. Sedangkan Muhaimin Iskandar, tokoh Islam moderat (Nahdliyin) yang jadi wakilnya, bisa menutupi kekurangan Anies.

HisteriAnies memang pilihan paling rasional karena memungkinkan kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara menjadi lebih, HumAnies. (*)