Intervensi Pemberantasan Korupsi dan Perubahan UU KPK: Jokowi Bisa Dipidana!?

Perubahan UU KPK mempunyai dampak begitu buruk bagi bangsa dan masyarakat. Karena itu, UU KPK wajib dikembalikan seperti semula, sebagai lembaga negara pemberantasan korupsi yang independen dan tidak tunduk pada kekuasaan manapun.

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

JOKO Widodo melakukan perubahan UU KPK tahun 2019. Perubahan ini membuat KPK lumpuh, dan pemberantasan korupsi gagal. Indeks persepsi korupsi turun dari 40 pada 2019 menjadi 34 pada 2022. Artinya, korupsi semakin menggila, merugikan bangsa Indonesia, jelas merugikan perekonomian negara, dan juga, pastinya, merugikan keuangan negara.

Gagalnya pemberantasan korupsi ini sudah dapat diperkirakan sejak awal perubahan UU KPK. Karena niat dan tujuan perubahan UU KPK memang untuk menghalangi pemberantasan korupsi. Seperti terungkap dari kesaksian Agus Rahardjo, Ketua KPK 2015-2019, ketika diwawancarai di KompasTV, bahwa Jokowi minta kasus korupsi Setya Novanto dihentikan. Artinya, Jokowi saat itu mencoba menghalang-halangi proses penindakan tindak pidana korupsi.

Terkait perubahan UU KPK tersebut, Jokowi diduga melanggar dua pasal pidana, karena telah menyalahgunakan wewenang atau kekuasaan, serta menghalangi proses penyidikan pidana korupsi, seperti dimaksud Pasal 3 dan Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang berbunyi,

Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Pasal 21: “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”

Pertama, Jokowi patut diduga telah menyalahgunakan kewenangannya atau kekuasaannya dalam melakukan perubahan UU KPK, dengan tujuan menghalangi pemberantasan korupsi. Karena, perubahan UU KPK seharusnya memperkuat lembaga KPK, memperkuat independensi KPK, agar KPK dapat memberantas korupsi secara cepat dan efektif, serta melindungi keuangan negara.

Tetapi, yang dilakukan Jokowi adalah sebaliknya, melumpuhkan KPK dengan menghilangkan independensi KPK dan membentuk Dewan Pengawas yang dapat menghalangi pemberantasan korupsi, karena KPK harus minta izin dari Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.

Kedua, penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan Presiden dalam mengubah UU KPK terbukti membuat korupsi semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari penurunan indeks korupsi dari 40 (2019) menjadi 34 (2022), yang tentu saja mengakibatkan kerugian perekonomian negara dan keuangan negara, di mana kelompok masyarakat miskin menjadi korban langsung dari semakin gilanya korupsi. Tingkat kemiskinan naik dari 9,22 persen (2019) menjadi 9,57 persen (2022).

Sebelumnya, sejak KPK berdiri sebagai lembaga independen dan tidak di bawah pengaruh kekuasaan Presiden, indeks korupsi terus naik dari 19 (2003) menjadi 40 (2019).

Ketiga, penyalahgunaan wewenang presiden dalam melakukan perubahan UU KPK tentu saja menguntungkan para koruptor (pihak lain) atau korporasi. Juga tidak terlepas kemungkinan menguntungkan diri sendiri dan para kroni.

Ketiga unsur di atas sudah memenuhi kriteria Pasal 3 UU Tipikor (No 31/1999). Apalagi ada bukti pendukung dari kesaksian Agus Rahardjo, yang secara jelas memperlihatkan bahwa niat Jokowi untuk menghalangi penyidikan korupsi dan melindungi koruptor sudah merupakan fakta.

Perubahan UU KPK yang dengan sengaja melumpuhkan pemberantasan korupsi juga dapat dimaknai sebagai: “ dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan penyidikan dan penuntutan terhadap tersangka korupsi”, seperti dimaksud Pasal 21 UU Tipikor (No 31/1999).

Kewajiban pimpinan KPK minta izin tertulis kepada Dewan Pengawas untuk penyadapan, penggeledahan, atau penyitaan, merupakan bukti nyata untuk mencegah, merintangi atau menggagalkan penyidikan.

Sebenarnya, permintaan untuk menghentikan penyidikan korupsi, seperti terungkap dari kesaksian Agus Rahardjo, sudah memenuhi kriteria pelanggaran Pasal 21 tersebut!?

Terakhir, perubahan UU KPK diduga keras melanggar Pasal 24 UUD tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana semua lembaga penegak hukum secara fungsi masuk dalam rumpun yudikatif, atau Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, termasuk dari kekuasaan eksekutif atau Presiden.

Perubahan UU KPK mempunyai dampak begitu buruk bagi bangsa dan masyarakat. Karena itu, UU KPK wajib dikembalikan seperti semula, sebagai lembaga negara pemberantasan korupsi yang independen dan tidak tunduk pada kekuasaan manapun.

Jokowi wajib bertanggung jawab telah melumpuhkan KPK, menghalangi pemberantasan korupsi, dan membuat tingkat kemiskinan meningkat. (*)