Jangan Paksakan Gibran Menang!

Jadi, dua opsi terakhir itu (Pilpres Ulang dan Dua Putaran) tinggalkan saja. Opsi lain yang mungkin diterima ketiga paslon dan KPU maupun Bawaslu yaitu Rekapitulasi Ulang di TPS, Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi hingga KPU Pusat secara manual dan berjenjang.

Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Freedom News

HARI-hari ini adalah masa-masa penantian yang sangat mendebarkan bagi Paslon Nomor Urut 02 Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka. Betapa tidak. Sebab, hari-hari ini pula mulai bergulir usulan Hak Angket dari Capres Nomor Urut 03 Ganjar Pranowo di DPR RI.

Gayung pun bersambut. Paslon Nomor Urut 01 Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar didamping Ketum Partai NasDem Surya Palon dan Koalisi Perubahan menyatakan dukungannya jika PDIP mengajukan Hak Angket ke DPR.

Jika ini berlanjut, maka dengan jumlah suara Koalisi Perubahan dan Perjuangan sudah memenuhi syarat dan berpotensi untuk menang. Apalagi, PDIP sudah jelas-jelas menyatakan penolakannya terhadap hasil Pilpres 2024 yang disebutnya penuh kecurangan secara TSM.

Konon, Presiden Joko Widodo yang sejak awal sudah menyatakan akan cawe-cawe dalam Pilpres 2024 ini sedang berupaya untuk menghadang bergulirnya Hak Angket yang sangat membahayakan bagi putera sulungnya Gibran yang berpotensi pula terancam posisinya sebagai Wapres Terpilih.

Apalagi, sejak awal pencalonannya sudah penuh dengan kontroversi. Berkat bantuan Paman Anwar Usman sebagai Ketua MK kala itu sehingga lolos sebagai Cawapres Prabowo Subianto. Berkat dari Putusan MK 90/2023 itulah, meski belakangan Anwar Usman dinyatakan “melanggar etik berat”, toh pada akhirnya Gibran berhasil ikut kontestasi Pilpres 2024.

Sayangnya, saat itu tidak ada koreksi atas Putusan 90 tersebut dari Ketua Majelis Kehormatan MK Jimly Assidiqqie. Misalnya, dengan putusan “memerintahkan MK memeriksa kembali putusan 90” itu. Alasannya tepat: MKMK hanya mengadili etika!

Meski pelolosan Gibran itu masuk ke DKPP, _toh___ Ketua KPU Hasyim Asy’ari hanya divonis dengan “peringatan berat terakhir” saja, posisinya nyaris tak tergoyahkan sama sekali. Hingga pelaksanaan dan paska Pilpres, Rabu (14/2/2024) Hasyim Asy’ari masih menjabat sebagai Ketua KPU.

Gibran yang oleh TEMPO dijuluki sebagai “Anak Haram Konstitusi” itu pun melenggang bersama Prabowo sebagai pemenang Pilpres 2024 versi Quick Count dengan perolehan prosentase yang sangat fantastis, kisaran 58 persen. Pada Rabu sore paska Pilpres pun mereka sudah merayakan kemenangannya.

Bahkan, dengan nada sedikit sombong, Gibran mengatakan bahwa dirinya akan sowan ke Anies maupun Ganjar. Padahal, rekapitulasi hasil Pilpres 2024 dari KPU sendiri baru dimulai. Namun, ia sepertinya sudah yakin benar, prosentasenya tak jauh beda dengan hasil Qucik Count.

Dan memang benar, SiRekap maupun hasil Real Count KPU tampaknya “menyesuaikan” dengan Quick Count versi “Sure Pay”. Kisaran: 57-58 persen. Belakangan pihak KPU menyatakan bahwa rekapitulasi suara hasil Pilpres 2024 belum selesai, sebab perhitungannya berjenjang mulai dari Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, hingga KPU Pusat.

Mungkinkah suara Paslon 01 bisa seperti prosentase yang sempat tayang di CNN Indonesia pada pukul 12.25 WIB siang, Selasa (20/2/2024). Saat itu CNN sempat menayangkan hasil Real Count KPU: Anies – Muhaimin meraih 57,34%, Prabowo – Gibran 23,69%, Ganjar – Mahfud 16,69%.

CNN Indonesia TV sempat menayangkan hasil Real Count KPU di mana paslon Anies – Muhaimin meraih suara tertinggi. Suara masuk saat itu telah mencapai 72,37%, dengan masing-masing paslon meraih. Angka prosentase ini sempat muncul sebanyak 7 kali. Durasi sekitar 16 detik. Lalu berhenti.

Kabarnya, Kompas TV, juga sempat tayangin hal serupa. Sayangnya, tidak lama berselang, CNN Indonesia langsung meminta maaf kepada pemirsa karena “salah input” data tersebut. Apakah itu hasil rekapitulasi sebenarnya yang selama ini ditutupi oleh KPU? Wallahu ‘alam.

Hak Angket seperti yang diusulkan Ganjar Pranowo dan Pansus Pilpres 2024 yang diusulkan Eep Saifulloh Fatah sebenarnya bisa dilakukan di DPR. Tapi, apakah anggota DPR berani melakukan, saya koq masih ragu ya? Karena tidak sedikit mereka itu tersandera kasus.

Apalagi, para petinggi partai. Makanya, di internal NasDem pun, masih ada beberapa petingginya yang mencoba menghalangi langkah Hak Angket tersebut. Karena, jika itu benar-benar bergulir, jelas akan beresiko pada pribadi anggota partai itu sendiri.

Presiden Jokowi tentunya akan menggunakan politik sandera terhadap partai yang punya skandal korupsi besar, seperti Harun Masiku, Madom Bansos, E-KTP, dan sebagainya, yang bisa menjadi kartu truf bagi Jokowi untuk menggagalkan upaya Hak Angket maupun Pansus Pilpres 2024.

Dapat dipastikan, jika akhirnya Jokowi bermain "politik sandera", apapun yang direncanakan selama terkait dengan anggota DPR, bakal gagal. Termasuk upaya Hak Angket maupun Pansus Pilpres itu. Ingat, KPK itu masih “dikuasai” Presiden Jokowi. Tinggal pencet tombol, mana yang ditarget.

Sekelas Ketum Partai saja akhirnya bertekuk lutut dengan bergabung ke Koalisi Istana mendukung Prabowo – Gibran. Apalagi, partai di luar koalisi Prabowo – Gibran, kecuali PKS yang dikenal masih terbilang bersih dari skandal korupsi.

Bagi yang menolak Hak Angket maupun Pansus Pilpres 2024, pasti dia tersandera kasus. Kita bisa lihat, siapa saja politisi yang terkesan menolak upaya politik di DPR itu. Mudah bukan bagaimana kita mengendus siapa saja mereka ini?

Jokowi lebih suka mengajak untuk membawa persoalan Pilpres 2024 ke ranah hukum seperti melalui MK. Prof. Nazaruddin Syamsudin sudah mengingatkan agar jangan pernah membawa soal Pilpres 2024 ke MK. Sebab, MK akan jadi “killing field”, ladang pembantaian bagi Anies – Muhaimin.

Meski cukup banyak bukti adanya pencurangan yang merugikan paslon 01, rasanya AMIN tak akan bisa menang jika akhirnya menggugat sengketa Pilpres 2024 di MK. Koalisi Istana “pimpinan” Jokowi tak akan tinggal diam untuk tetap mempertahankan “kemenangan” Gibran, apapun caranya.

Ingat, dalam Pilpres 2024 lalu, Capres 01 Prabowo Subianto bukan sebagai target pemenangan. Karena, target pemenangan sesungguhnya adalah menjadikan Putera Mahkota Gibran untuk memastikan rencana Jokowi Tiga Periode guna meneruskan estafet penjualan bangsa ini pada Tiongkok.

Sebab, Prabowo adalah masa lalu yang akan dijadikan pijakan batu loncatan bagi Gibran. Fakta ini pasti terbaca oleh personil TNI dan Polri sehingga bisa menumbuhkan kesadaran nasionalisme jika bangsa ini tengah tergadai. Karena itu, fakta ini harus dilawan dengan jiwa korsa.

TNI-Polri adalah institusi pelindung negara, serta pelindung dan pengayom bangsa. Bukan alat penguasa mempertahankan kekuasaan dan keserakahannya. Itulah yang seharusnya perlu disadari oleh anggota TNI dan Polri. Rakyat butuh pelindung Anda semua.

Adanya penolakan atas “kemenangan” Prabowo – Gibran oleh berbagai elemen masyarakat, karena mereka tahu bahwa Jokowi masih ingin berkuasa melalui Gibran. Apalagi, terberitakan adanya satu kesepakatan dengan Istana, Prabowo hanya menjabat Presiden RI selama 2 tahun saja, setelah itu digantikan oleh Gibran.

Itulah yang antara lain mendorong munculnya Pernyataan “Sikap 100 Tokoh” di Hotel Sultan Jakarta pada Rabu, 21 Februari 2024, terkait Pilpres 2024 yang dinilai terjadi kecurangan yang Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM).

Mereka mendukung usulan berbagai pihak agar DPR RI menggunakan Hak Angket (Penyelidikan) terhadap Penyelenggaraan Pemilu/Pilpres 2024 untuk pengusutan kecurangan bersifat komprehensif baik hukum maupun politik.

“Dari hasil penggunaan Hak Angket tadi, kami mendukung setiap penegakan konsekuensi hukum atas para pelaku pelanggaran termasuk jika berakibat pada pemakzulan Presiden". Begitu antara lain bunyi salah satu butir pernyataannya.

Para tokoh terdiri dari berbagai kalangan seperti Prof. Din Syamsuddin, Prof. Didin S Damanhuri, Prof. Amir Santoso, Prof. Ahmad Zahro, Jend. Purn Tyasno Sudarto, Mayjen Purn. Soenarko, Dr. Abdullah Hehamahua, Jend. Purn. Fahrur Razi, Prof. Rochmat Wahab, KH Muhyidin Junaedi, KH Athian Ali Da'i, Dr. Paulus Yanuar, Pdt. Victor Rembeth, dr. Tifauzia Tyassuma, Dr Roy Suryo dan lainnya bersepakat berhimpun dan berjuang dalam wadah perjuangan Gerakan Pemilu Bersih.

Gerakan itu menilai Pemilu khususnya Pilpres 2024 telah merusak tatanan demokrasi dan banyak melakukan pelanggaran hak azasi. Atas kecurangan yang luar biasa, maka perlu dilakukan audit forensik atas sistem IT KPU serta pengenaan sanksi hukum dan etik pada mereka yang melakukan pelanggaran.

Gerakan Pemilu Bersih menolak hasil pemungutan suara dan penghitungan suara Pilpres 2024 baik yang sedang berlangsung maupun kelanjutannya. Pelaksanaan Pilpres 2024 telah menyimpang dari ketentuan hukum dan perundang-undangan, etika politik, agama dan budaya bangsa. Melanggar prinsip kejujuran dan keadilan.

Para tokoh juga menolak secara kategoris penyelesaian sengketa Pilpres 2024 melalui Mahkamah Konstitusi karena lembaga ini dinilai imparsial, tidak obyektif dan adil, tidak akan lepas dari pengaruh kekuasaan eksekutif.

Usulan Eep Saifulloh Fatah terakhir, seperti perlu diadakannya Pilpres Ulang, justru berpotensi bagi Istana untuk lebih “menyempurnakan” pencurangan yang akan dilakukannya lagi. Jangankan Pilpres Ulang, Pilpres Dua Putaran saja juga berpeluang “memperbaiki” modus pencurangannya supaya tak terendus masyarakat.

Jadi, dua opsi terakhir itu (Pilpres Ulang dan Dua Putaran) tinggalkan saja. Opsi lain yang mungkin diterima ketiga paslon dan KPU maupun Bawaslu yaitu Rekapitulasi Ulang di TPS, Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi hingga KPU Pusat secara manual dan berjenjang.

Agenda dan waktu pencoblosan Pilpres Dua Putaran yang dijadualkan KPU RI pada Juni 2024 bisa dimanfaatkan untuk Rekapitulasi Ulang tersebut. Ini mengingat bahwa pada Ahad, 20 Oktober 2024 sudah harus ada Presiden Baru Indonesia.

Jika opsi ini ditolak Istana, maka sikap ini bisa jadi bukti dan indikasi Istana terlibat pencurangan itu. Dan, pada akhirnya, paslon 02 yang didukung Istana pun berpotensi didiskualifikasi. (*)