Jokowi Polah Prabowo Kepradah
Pilgub Jakarta setidaknya akan menjadi pertimbangan Prabowo, meski didukung oleh Jokowi dan dirinya, ternyata jago PDIP dengan disokong oleh Anies Baswedan beserta para relawannya yang dikenal dengan anak abah, mampu membuat pasangan Ridwan Kamil (RK) keok.
Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya
DALAM peribahasa Jawa yang sudah terbalik ini, "Bapak Polah, Anak Kepradah" mengajarkan kita bahwa tindakan orang tua atau pemimpin dapat membawa dampak yang besar, baik positif maupun negatif, bagi generasi berikutnya. Peribahasa ini sangat relevan untuk menggambarkan hubungan yang kompleks antara Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan PDIP pimpinan Megawati Soekarnoputri.
Selama dua periode kepemimpinannya, Jokowi telah menunjukkan ambisi politik yang tidak hanya kontroversial tetapi juga memicu ketegangan dengan partainya sendiri, PDIP.
Keputusannya untuk "cawe-cawe" dalam berbagai urusan pemerintahan, termasuk mendukung keluarganya seperti Gibran Rakabuming Raka, Kaesang Pangarep, dan Bobby Nasution dalam karier politik mereka, dianggap melampaui batas oleh banyak pihak, termasuk PDIP.
Bahkan, dorongan Jokowi untuk memperpanjang masa jabatannya hingga tiga periode melalui berbagai manuver politik justru mendapat penolakan tegas dari Megawati yang berpegang pada konstitusi.
Ketegangan ini memuncak ketika Jokowi mendukung Prabowo Subianto dan anaknya, Gibran, sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Langkah ini tidak hanya membuat hubungan antara Jokowi dan Megawati semakin renggang, tetapi juga menempatkan Prabowo dalam posisi yang sulit.
Sebagai presiden terpilih dari hasil Pilpres 2024, Prabowo membutuhkan dukungan PDIP untuk stabilitas pemerintahannya. Namun, Jokowi, yang merasa ambisinya dihalangi oleh Megawati dan PDIP, justru berusaha memutus jalur komunikasi Prabowo dengan partai berlambang banteng tersebut.
Tidak berhenti sampai di situ, Jokowi juga menciptakan musuh politik baru melalui langkah-langkah represif terhadap tokoh-tokoh yang dianggap berseberangan dengannya. Kasus kriminalisasi atas Anies Baswedan untuk menghalanginya dari pencalonan presiden atau gubernur Jakarta menjadi contoh nyata.
Pola ini menunjukkan bagaimana Jokowi mengandalkan kekuasaan untuk menjegal lawan-lawan politiknya, tetapi pada saat yang sama, meninggalkan beban politik yang berat bagi penerusnya.
Prabowo, sebagai presiden yang didukung oleh Jokowi, kini menghadapi warisan konflik ini.
Hubungan dengan PDIP yang tidak harmonis, ketegangan dengan kelompok oposisi yang dimusuhi Jokowi, serta tekanan politik internal partai menjadi tantangan besar yang harus dihadapinya. Dalam konteks ini, peribahasa "bapak polah, anak kepradah" menjadi cerminan sempurna dari situasi yang terjadi.
Jokowi telah meninggalkan jejak ambisi politik yang menciptakan perpecahan, dan Prabowo sebagai penerusnya harus menghadapi konsekuensi dari polah yang telah terjadi.
Sebagai Presiden terpilih, Prabowo berada dalam situasi yang sulit dan penuh dilema. Di satu sisi, ia merasa berhutang budi kepada Jokowi, yang menjadi pendorong utama pencalonannya dan memainkan peran besar dalam membangun koalisi yang membawanya ke puncak kekuasaan.
Namun di sisi lain, keberhasilan pemerintahan Prabowo membutuhkan stabilitas politik yang hanya bisa tercapai melalui hubungan harmonis dengan berbagai kekuatan politik, termasuk PDIP yang memiliki pengaruh signifikan dalam percaturan politik nasional.
Dilema ini menempatkan Prabowo di persimpangan jalan. Jika ia terus-menerus tetap terikat dengan bayang-bayang Jokowi, termasuk mengikuti langkah-langkah yang menciptakan konfrontasi dengan PDIP dan kelompok oposisi, maka pemerintahannya akan menghadapi tantangan besar.
Ancaman ketegangan politik yang berkepanjangan akan menghambat agenda pembangunan dan menciptakan polarisasi yang semakin dalam di masyarakat.
Namun, jika Prabowo memilih untuk membuka komunikasi dengan PDIP dan mengupayakan bisa rekonsiliasi, ia berisiko dianggap mengkhianati Jokowi yang telah berjuang untuk mendukungnya. Dalam konteks ini, Prabowo membutuhkan pendekatan yang cermat, strategis, dan berdasar pada kepentingan bangsa yang lebih besar daripada sekadar loyalitas pribadi.
Pilgub Jakarta setidaknya akan menjadi pertimbangan Prabowo, meski didukung oleh Jokowi dan dirinya, ternyata jago PDIP dengan disokong oleh Anies Baswedan beserta para relawannya yang dikenal dengan anak abah, mampu membuat pasangan Ridwan Kamil (RK) keok.
Yang lebih mengejutkan lagi, paska kekalahan di Jakarta, Aguan yang dikenal sebagai bagian oligarki dan sembilan naga, melalui bocor alus Tempo, membuka kedok Jokowi tentang IKN, yang mengatakan bahwa dukungan mereka ke IKN hanya karena ingin menyelamatkan wajah presiden, padahal sejatinya proyek IKN adalah proyek rugi.
Lalu, Apa Langkah Strategis Prabowo?
Satu; Menegaskan Kemandirian Politik
Prabowo harus menunjukkan bahwa ia adalah pemimpin independen yang akan memprioritaskan kepentingan rakyat di atas kepentingan individu atau kelompok tertentu. Langkah ini penting untuk menegaskan bahwa pemerintahan Prabowo bukan sekadar perpanjangan tangan seorang Jokowi, melainkan representasi dari visi baru untuk Indonesia.
Dua; Membangun Jembatan dengan PDIP
Mengakui pengaruh PDIP dan Megawati sebagai kekuatan politik yang tidak bisa diabaikan adalah langkah penting. Prabowo perlu dan harus membangun komunikasi langsung dengan Megawati untuk menjelaskan visinya dan mencari titik temu yang memungkinkan kolaborasi demi stabilitas nasional. Pendekatan ini tidak hanya memperbaiki hubungan personal tetapi juga membuka peluang bagi kerja sama politik yang lebih luas.
Tiga; Mengelola Loyalitas kepada Jokowi Secara Bijak
Hutang budi ke Jokowi bisa dijaga melalui penghormatan yang tulus tanpa harus selalu mengikuti arahan yang berpotensi merugikan. Prabowo perlu menjelaskan kepada Jokowi bahwa stabilitas pemerintahan adalah prioritas utama, dan untuk mencapainya, diperlukan langkah-langkah yang mungkin tidak sejalan dengan agenda pribadi Jokowi.
Empat; Menyatukan Bangsa melalui Kebijakan Inklusif
Prabowo harus menunjukkan bahwa pemerintahannya tidak memihak pada kelompok tertentu tapi inklusif dan melayani seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan-kebijakan yang memperhatikan semua golongan, termasuk kelompok oposisi, akan menjadi modal besar untuk mengurangi ketegangan politik.
Lima; Menghindari Polarisasi yang Ditinggalkan Jokowi
Langkah represif terhadap oposisi yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi meninggalkan luka politik yang dalam. Prabowo perlu mengadopsi pendekatan yang lebih humanis dan dialogis, dengan membuka ruang bagi semua pihak untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa tanpa rasa takut atau tekanan.
Visi Seorang Negarawan
Pada akhirnya, Prabowo harus mengambil posisi sebagai negarawan sejati. Ia perlu mengutamakan persatuan dan kesejahteraan bangsa daripada loyalitas kepada individu tertentu. Keputusan sulit ini bukan sekadar tentang hutang budi atau strategi politik, tetapi juga tentang meletakkan dasar bagi pemerintahan yang stabil, inklusif, dan visioner.
Prabowo ada di persimpangan jalan. Pilihannya saat ini akan menentukan arah bangsa ke depan – apakah ia akan terjebak dalam pusaran konflik yang ditinggalkan oleh Jokowi, atau melangkah maju untuk menyatukan Indonesia dan memimpin dengan penuh kebijaksanaan. (*)