Kabinet Prabowo, Haji Isam, dan Harapan Indonesia Antikorupsi (1)

Namun, saya tetap terkejut dengan jumlahnya yang melebihi 100 orang, Menteri, Wakil Menteri, dan Pejabat Setingkat Menteri. Ini juga belum termasuk kepala Badan, Utusan Khusus dan Penasihat Presiden. Maka inilah kabinet terbesar dalam sejarah Republik.

Oleh: Denny Indrayana, Advokat INTEGRITY, Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (2011 – 2014)

MUKADDIMAH. Bagaimana kita menilai Kabinet Merah Putih?

Banyak aspek dan cara untuk mengkajinya. Kali ini, izinkan saya menyorotinya dari sisi hukum tata negara dan prinsip antikorupsi. Dua bidang yang selama ini saya pelajari dan geluti. Dua kata kunci yang selalu menjadi perhatian, sekaligus keprihatinan saya: Konstitusi dan Korupsi.

Konstitusi, sebagai akademisi hukum tata negara. Korupsi, sebagai Praktisi Advokat INTEGRITY, sekaligus mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (2011 – 2014). Bahkan, dalam hal antikorupsi, catatan perjalanan hidup saya lebih menarik lagi.

Pada akhir bulan Februari 2025 nanti, status tersangka korupsi saya akan berulang tahun yang ke-10. Saya ditersangkakan akhir Februari 2015, bersamaan dan berkaitan dengan ditersangkakannya pimpinan KPK (Abraham Samad dan Bambang Widjojanto) serta penyidik KPK Novel Baswedan, sehubungan dengan gonjang-ganjing proses pemilihan Kapolri, pada bulan-bulan awal kepresiden Joko Widodo kala itu.

Secara kasus, saya menjadi tersangka akibat berikhtiar melakukan perbaikan pelayanan publik (public services) dalam pembuatan paspor. Saya mengubah sistem pembayaran paspor dari cara manual – dengan antrian berjam-jam yang mengular dan menumbuh-suburkan praktik pungli – menjadi pembayaran secara digital (payment gateway) – yang lebih cepat, efisien, transparan, dan antikorupsi.

Maka, menulis dan bersikap kritis apa adanya tentang Kabinet Merah Putih, sebenarnya mempunyai resiko kembali diutak-atiknya status tersangka tersebut.

Tetapi, dengan nawaitu ingin melihat Presiden Prabowo Subianto berhasil mengemban amanah besarnya, dan cita-cita melihat Indonesia lebih adil, lebih makmur, lebih sejahtera, lebih demokratis, dan lebih antikorupsi, saya putuskan untuk tetap menuliskan artikel ini.

“Tulisan ini adalah pertanggungjawaban moral dan intelektual saya kepada Indonesia”.

Politik Hukum Kabinet Prabowo

Secara hukum tata negara, Kabinet Merah Putih, adalah kabinet milik Presiden Prabowo Subianto. Secara teori hukum, 1000 % tak boleh ada yang mengintervensi presiden dalam proses penyusunan kabinetnya.

Penamaan Kabinet Merah Putih menunjukkan warna kepresiden Prabowo, yang memang dikenal dan diharapkan nasionalis dan patriotis. Hak penuh presiden itulah yang disebut dengan istilah hak prerogatif presiden.

Hak prerogatif adalah hak mutlak yang melekat pada presiden dalam menjalankan perannya, baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan.

Hak Prerogatif itu hanya dimiliki presiden, bukan yang lain. Bukan pula wakil presiden. Tegasnya, wakil presiden tidak mempunyai hak prerogatif. Keikutsertaan wakil presiden dalam menyusun kabinet, sebagaimana yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, adalah sepenuhnya etika dan pilihan sikap politik Presiden SBY.

Saya mengamati, keikutsertaan Gibran Rakabuming Raka dalam penyusunan kabinet, relatif minim. Saya mengapresiasi pilihan politik Presiden Prabowo yang demikian. Karena, meski setelah putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024, dilanjutkan dengan pelantikan oleh MPR, secara hukum Gibran absah secara legal sebagai wakil presiden;

Namun, saya tetap punya posisi moral dan intelektual bahwa, Gibran tidak layak menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Utamanya, ketika proses pencalonannya dilakukan melalui skandal Putusan 90 MK, Paman Anwar Usman untuk Gibran.

Teorinya jelas. Penyusunan kabinet adalah hak mutlak presiden. Dalam praktiknya, presiden akan berhadapan dengan realitas politik, yang memaksanya berkalkulasi membangun kekuatan koalisi. Maka kabinet, adalah cerminan power sharing, pembagian kue kekuasaan dengan kekuatan politik, kekuatan organisasi sosial kemasyarakatan, dan representasi Kebhinekaan Indonesia.

Ada perwakilan gender, wilayah, etnis, agama, bahkan sipil dan militer-polri. Maka perlu dicatat, representasi perempuan justru mengecil, dalam Kabinet Merah Putih yang justru jauh membesar.

Dalam meramu kabinet, ada unsur parpol, ormas, hingga akademisi. Setiap parpol mengusulkan namanya kepada presiden. Ormas keagamaan NU ataupun Muhammadiyah mempunyai wakilnya. Bukan hanya dua ormas besar itu, Persis juga mempunyai representasinya di kabinet.

Atip Latipulhayat adalah sahabat saya main badminton, sejak kuliah doktoral di Melbourne, Australia. Selain perwakilan akademisi, profesor pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, beliau juga adalah Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PERSIS) Masa Jihad 2022-2027.

Sejak diubahnya UU Kementerian Negara, sudah bisa diprediksi bahwa kabinet Presiden Prabowo Subianto akan bertambah jumlahnya. Saya sudah memprediksinya.

Namun, saya tetap terkejut dengan jumlahnya yang melebihi 100 orang, Menteri, Wakil Menteri, dan Pejabat Setingkat Menteri. Ini juga belum termasuk kepala Badan, Utusan Khusus dan Penasihat Presiden. Maka inilah kabinet terbesar dalam sejarah Republik.

Di luar kursi dan porsi kabinet, beberapa hari ke depan, kita akan menyaksikan pelantikan Dewan Pertimbangan Agung (Wantimpres), yang saya haqqul yaqin, jumlah orangnya juga tidak akan sedikit.

Masih ada posisi pejabat eselon 1, staf khusus presiden dan menteri, duta besar, hingga posisi komisaris BUMN, yang juga akan menjadi lahan berbagi kue kekuasaan.

Saya khawatir, jumlahnya akan konsisten gemuk, dan menimbulkan pertanyaan terkait koordinasi dan efisiensi. (Bersambung)