Kabinet Prabowo, Haji Isam, dan Harapan Indonesia Antikorupsi (3)
Dari sebuah sumber, disebutkan bahwa penandatanganan Pakta Integritas oleh setiap menteri itu adalah instrumen untuk menjaga komitmen antikorupsi ini. Evaluasi dan reshuffle tidak akan segan dilakukan, jika terbukti ada pelanggaran.
Oleh: Denny Indrayana, Advokat INTEGRITY, Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (2011 – 2014)
DALAM berbagai pemberitaan, beberapa menteri Kabinet Merah Putih disinyalir terhubung dengan Haji Isam. Jauh sebelum pelantikan, seorang rekan bercerita Haji Isam akan mendapatkan jatah 6 (enam) orang menteri. Di berbagai diskusi ada yang menyebut 9 bahkan 10,5 orang menteri. Tanpa saya paham, kenapa ada hitungan setengah itu.
Beberapa nama disebutkan. Tetapi kalau bicara fakta, saya yang juga lahir di Kalimantan Selatan, daerah tinggal Haji Isam, mencatat bahwa menteri yang kerabat dan orang dekat Haji Isam minimal ada 4 (empat) orang. Satu, Sulaiman Umar, adik ipar, Wakil Menteri Kehutanan. Dua, Amran Sulaiman, diberitakan sepupu, Menteri Pertanian.
Yang ketiga, dan diduga sebagai orang dekatnya adalah, Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup. Berkarir di Dinas Kehutanan Tanah Bumbu, daerah Haji Isam, Hanif menjadi Kepada Dinas Kehutanan Kalsel pada era Gubernur Sahbirin Noor, Paman Haji Isam. Pada 2023, Hanif diangkat sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL).
Pengangkatannya sebagai dirjen sempat menimbulkan kotroversi, dan diberitakan Majalah TEMPO, karena diduga adanya dugaan pemalsuan tanda tangan Ketua Panitia Seleksi almarhum Sarwono Kusumaatmadja.
(Baca: Kontroversi Pengangkatan Pejabat KLHK, https://majalah.tempo.co/read/opini/169472/dirjen-planologi-klhk).
Yang Keempat, adalah Dudy Purwagandhi, Menteri Perhubungan. Kiprahnya dicatat oleh Wikipedia di antaranya sebagai Dewan Komisaris PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Dari 2008-2009, ia menjabat sebagai Direktur PT Jhonlin Marine Trans dan Direktur PT Jhonlin Air Transport.
Pada 2019, Dudy aktif di politik dengan menjadi Wakil Bendahara Tim Kampanye Nasional Jokowi – Ma’ruf Amin (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Dudy_Purwagandhi).
Dari empat nama tersebut, jika dilihat dari kompetensi keilmuannya, yang tidak sesuai adalah posisi Sulaiman Umar, yang menjadi Wakil Menteri Kehutanan.
Berbeda dengan Amran Sulaiman maupun Hanif yang memang punya rekam jejak dalam bidang pertanian dan kehutanan, posisi menteri yang mereka sandang; Ataupun Dudy Purwagandhy, yang meskipun Sarjana Hukum, tapi pernah menjadi direktur di perusahaan Johnlin yang bergerak di bidang perhubungan; Sulaiman Umar tidak punya latar belakang pendidikan kehutanan sama sekali.
Menurut Wikipedia, Sulaiman Umar adalah lulusan Fakultas Kedokteran, bidang yang tentu tidak berkaitan sama sekali dengan kehutanan. Meskipun, perlu dicatat juga, ketika sempat menjadi anggota DPR RI, sebelum mengundurkan diri, pada 2019-2021, salah satu mitra kerja Komisi VII, di mana Sulaiman ditempatkan, adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Sulaiman_Umar_Siddiq).
Tidak ada penjelasan yang memadai mengapa seorang dengan pendidikan kedokteran ini, dipilih sebagai Wakil Menteri Kehutanan, dan bukan Wakil Menteri Kesehatan? Lalu, mengapa pula Hanif yang background-nya kehutanan, tidak berposisi sebagai Menteri Kehutanan.
Pandangan yang muncul, sektor kehutanan memang strategis untuk terus dijaga, terlebih banyak potensi tambang yang berada di kawasan hutan, sehingga akses kebijakannya perlu terus dikawal dan dikuasai. Apakah itu peran Wamenhut Sulaiman Umar? Saya tidak cukup alasan menyatakan demikian, karena tidak ada bukti yang mengarah ke sana. Tanpa bukti, tidak boleh ada tuduhan apapun yang mendiskreditkan seseorang dan kelompoknya.
Akhirnya, dapat ditarik benang merah, adalah fakta, bahwa beberapa anggota Kabinet Merah Putih adalah kerabat dan orang yang pernah dekat dengan Haji Isam. Apakah pengaruhnya negatif atau positif, sejarah yang akan mencatatnya. Yang pasti pengawasan harus dilakukan secara ketat, agar kedekatan itu tidak menjadi relasi kolutif dan koruptif yang merugikan publik.
Tentang korupsi, pelajaran pahit perlu diambil dari Kalsel. Hari-hari ini, Kalsel tidak mempunyai sosok gubernur. Gubernur Kalsel Sahbirin Noor, yang juga paman Haji Isam, masih menghilang, setelah ditetapkan tersangka oleh KPK. Sambil bersembunyi dia mengajukan praperadilan, dan anehnya KPK belum juga menetapkan yang bersangkutan dalam status DPO, alias buron.
Padahal seorang buron menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 tidak bisa mengajukan praperadilan. Mengapa KPK menjadi selemah dan seteledor itu? Itu sebabnya, saya memprediksi Sahbirin Noor akan menang praperadilannya, dan status tersangkanya akan menjadi tidak sah.
Kabinet Prabowo dan Harapan Indonesia Antikorupsi
Melihat Kabinet Merah Putih Prabowo Subianto dan semangat antikorupsi, sudah banyak yang menganalisis bahwa, beberapa anggota kabinet bermasalah, ketika dihadap-hadapkan dengan prinsip antikorupsi. Salah satu kebijakan baik Presiden Jokowi adalah, ketika di awal penyusunan kabinet 2014, Jokowi melibatkan KPK.
Sayangnya kebijakan baik itu tidak dilanjutkan setelahnya, bahkan Jokowi adalah salah satu aktor utama pelemahan KPK, melalui perubahan UU KPK di tahun 2019.
Maka, saya berpandangan, jika benar Presiden Prabowo seperti saat pidatonya, ingin memberantas korupsi di Indonesia, maka satu langkah penting dan strategis yang perlu dilakukan Prabowo dalam 100 hari awal pemerintahannya adalah: Menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) untuk mengembalikan UU KPK sebelum perubahan pada tahun 2019.
Itu artinya, menguatkan kembali KPK sebagai komisi negara independen (independent agency), yang bergigi dan efektif memberantas korupsi.
Dasar konstitusional, kegentingan yang memaksa, sebagai syarat terbitnya perppu dengan mudah bisa diformulasikan. Salah satunya karena Indonesia nyata-nyata darurat korupsi. Pemberantasan korupsi dengan KPK yang kuat dan efektif adalah keniscayaan, untuk menghilangkan inefisiensi dan korupsi anggaran negara, yang sejatinya sudah sangat terbatas, karena besarnya pembayaran utang dan situasi ekonomi global yang tidak mudah.
KPK yang kuat adalah syarat utama dan mitra kerja strategis bagi presiden siapapun, yang secara serius ingin memberantas korupsi di tanah air. Bagi Prabowo, jika benar-benar serius memberantas korupsi, maka ada dua indikatornya.
Selain mengembalikan UU KPK yang lama sebelum perubahan, dengan menerbitkan Perppu; dua, dalam waktu tidak terlalu lama, maka me-reshuffle kabinetnya, untuk lebih mencerminkan prinsip dan agenda antikorupsi.
Dari sebuah sumber, disebutkan bahwa penandatanganan Pakta Integritas oleh setiap menteri itu adalah instrumen untuk menjaga komitmen antikorupsi ini. Evaluasi dan reshuffle tidak akan segan dilakukan, jika terbukti ada pelanggaran.
Kita tunggu, dalam seratus hari hingga enam bulan ke depan, apakah Presiden Prabowo akan lebih mandiri menghadirkan sinyal-sinyal tegas antikorupsi tersebut.
Saya masih menyimpan keyakinan dan harapan, Presiden Prabowo akan berikhtiar sekuat tenaga untuk merealisasikan pidato dan retorika antikorupsinya ke tindakan nyata. Mungkinkah? (*)