Kalau Gibran Menang: Tahun 2030 Indonesia Berpotensi Bubar

Konon, sebelum menuliskan melalui akun Twitter-nya @husnikamilmanik, sempat mengutarakan keinginannya untuk “bicara” terkait kecurangan Pilpres 2014. Namun, sebelum bicara, infeksi akut menyerangnya sehingga meninggal dunia. RSPP menyebut disebabkan oleh abses (abscess).

Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Freedom News

SUDAHKAH Anda membayangkan jika pada akhirnya Keputusan KPU pada Rabu, 20 Maret 2024 menetapkan Paslon 02 Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang Pilpres 2024 mengalahkan Paslon 01 Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar dan juga Paslon 03 Ganjar Pranowo – Mahfud MD?

Apakah Anda juga sudah bermimpi jika suatu saat karena Prabowo berhalangan tetap sehingga tak bisa melanjutkan tugasnya sebagai Presiden kemudian digantikan oleh Gibran hingga pada Pilpres 2029?

Apakah dia bisa “sesukses” ayahnya, Joko Widodo, yang menurut suvei, tingkat kepuasaan rakyat hampir mencapai 90 persen? Warisan utang Luar Negeri Presiden Jokowi yang sudah mencapai kisaran Rp 8.000 triliun akan menjadi beban Presiden Gibran.

Mampukah Gibran yang masih menjabat Walikota Solo ini mengatasi persoalan hutang luar negeri maupun persoalan ekonomi nasional? Jokowi saja menurunkan harga kebutuhan pokok masyarakat seperti beras belum berhasil juga, tidak sesuai dengan janjinya.

Janji-janji yang terbiasa diingkari Jokowi sejak sebelum Pilpres 2014 banyak yang tidak terealisasi. Ternyata semua itu hanyalah pencitraan yang sengaja dipelihara. Jokowi berhasil “naik kelas” dari Walikota Solo jadi Gubernur DKI Jakarta hanya karena “naik” mobil Esemka.

Belum tuntas tugasnya selama 5 tahun sebagai Gubernur DKI Jakarta, tiba-tiba dengan dalih banjir dan macet Jakarta bisa diatasi jika dia jadi Presiden. Setelah jadi Presiden sejak 20 Oktober 2014, ternyata banjir dan macet Jakarta belum berhasil diatasi. Justru yang berhasil mengurangi banjir dan macet itu saat Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI Jakarta (2017-2022).

Yah, kalau Anies mau meniru sesumbar Jokowi, mungkin saja banjir dan macet Jakarta bisa diatasi jika ia menjadi Presiden pengganti Jokowi. Namun, sepertinya Anies tak mau meniru gaya Jokowi itu.

Anies telah berhasil mengurangi air yang meluber di jalanan dengan membuat resapan-resapan air. Sayangnya, resapan-resapan kini tak ada lagi. Konon, telah “dirusak” oleh Pj Gubernur Heru Budi Hartono, “orangnya” Jokowi.

Macet pun sukses diurai dengan mamadukan moda transportasi, meski diakuinya, saat perundingan dengan pelaku usaha angkutan umum seperti Kopaja dan lain-lain, sangatlah alot. Toh, akhirnya dia berhasil juga dengan win-win solution yang bisa diterima semua pihak.

Hancur dan Bubar?

Pernyataan yang pernah disampaikan mantan Ketum Partai Golkar Jusuf Kalla sebelum digandeng Jokowi menjelang Pilpres 2014, kini benar-benar terbukti. “Indonesia Hancur Dipimpin Jokowi”. Saat itu, dalam sebuah video berdurasi 3 menit 52 detik yang diunggah BI TV di YouTube, JK menyebut, dirinya keberatan bila usia dijadikan indikator utama.

Seharusnya, sebut JK, track record menjadi alat ukur dalam menilai apakah seseorang memiliki kemampuan memimpin atau tidak. Apalagi memimpin sebuah negara besar seperti Indonesia.

"Jangan presiden dipilih dengan pikiran uji coba, dengan pikiran dengan umur. Harus dengan kemampuan yang diperoleh dari pengetahuan dan pengalaman. Kalau sekadar umur berbahaya," katanya lagi.

Track record, sebut JK lebih lanjut, lebih penting dari sekadar umur. Selain umur, yang tidak boleh begitu saja dijadikan ukuran dalam menilai pemimpin adalah popularitas. Pada bagian inilah ia mulai menyinggung soal Jokowi.

"Jangan tiba-tiba karena Jokowi terkenal di Jakarta dicalonkan jadi presiden. Bisa hancur negeri ini," jelasnya.

JK mengingatkan, bahwa dirinyalah yang mengusulkan agar Jokowi menjadi presiden. Menurut JK, Jokowi memiliki catatan yang bagus selama memimpin Solo, dan JK ingin agar Jokowi naik kelas lebih tinggi lagi, yakni menjadi Gubernur Jakarta.

Jadi, demikian JK, biarlah sekarang Jokowi mengurus Jakarta dulu. Namun, nyatanya, Jokowi tetap melenggang maju pada Pilpres 2014, dan bahkan malah didampingi JK sebagai Cawapresnya. Apa yang diucapkan JK kini (selama 10 tahun) menjadi kenyataan. Indonesia hancur di tangan Jokowi.

"Itu kan masalah popularitas, belum membuktikan dia (Jokowi) mampu mengurus Jakarta. Biarlah dia mengurus DKI. Jangan dicampur aduk. Nanti negeri ini tidak punya nilai. Nanti kacau negeri ini," demikian JK.

Dan, yang paling dikhawatirkan kini adalah potensi Gibran menggantikan Prabowo menjadi Presiden di tengah jalan. Itu jika KPU pada Rabu, 20 Maret 2024, akhirnya menetapkan paslon 02 Prabowo – Gibran sebagai pemenang Pilpres 2024, sesuai senada dengan hasil Quick Count.

Sesuai dengan pernyataan Prabowo dalam acara konferensi dan temu kader nasional Gerindra di Bogor, Jawa Barat, Oktober 2017, bahwa Indonesia bubar pada 2030. Saat diucapkan itu berarti 12 tahun lagi (tepatnya pada 2029) menjelang jabatan Presiden Gibran berakhir.

Cuplikan pidato Ketum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, yang dirilis melalui akun Facebook resmi partainya itu menjadi bahan perbincangan, terutama saat Indonesia menjalani tahun politik: pilkada serentak 2018 dan jelang pemilu 2019 lalu.

Wartawan BBC Indonesia, Rohmatin Bonasir dan Abraham Utama sempat mengumpulkan data dan argumen untuk mengecek kesahihan pernyataan Prabowo tentang apa yang oleh sebagian pihak disebut sebagai 'peringatan', 'prediksi' atau 'fiksi'.

Dengan mengenakan baju putih dan songkok, Prabowo tampak berapi-api ketika berpidato. Kedua tangannya senantiasa bergerak memberikan tekanan terhadap apa yang dia ucapkan. Prabowo pun beberapa kali menunjukkan tangannya ke arah bendera dan kader Gerindra di ruang pertemuan itu.

"Saudara-saudara, kita masih upacara, kita masih menyanyikan lagu kebangsaan, kita masih pakai lambang-lambang negara, gambar-gambar pendiri bangsa masih ada di sini,” ucapnya. "Tetapi di negara lain, mereka sudah bikin kajian-kajian di mana Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030. Bung, mereka ramalkan kita ini bubar!"

Apa yang disampaikan Prabowo pada Oktober 2017 itu sangat mungkin terjadi jika Gibran benar-benar menjadi Presiden menggantikan Prabowo kelak di kemudian hari.

Untuk mencegah supaya “peringatan” atau “prediksi” mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad itu tidak terjadi, maka salah satunya jalan antara lain jangan sampai Gibran menjadi Presiden. Caranya yaitu Prabowo secara Ksatria – sebagai seorang Patriot – menolak penetapan KPU jika dinyatakan sebagai Pemenang Pilpres 2024 dengan cara curang.

Dengan kata lain, meski akhirnya KPU menetapkan paslon 02 Prabowo – Gibran menang Pilpres 2024, Prabowo harus menolak dan menyatakan mengundurkan dirinya. Jika Prabowo berani ambil langkah seperti itu, maka ia akan dikenang sebagai Patriot Indonesia Sejati dan ditulis dengan tinta emas Sejarah Indonesia.

Jika benar Prabowo akan mengambil sikap seperti itu, maka kekhawatiran dia akan bubarnya NKRI bisa dicegah, sehingga mereka yang sudah bikin kajian-kajian bahwa Republik Indonesia tidak ada lagi tahun 2030 akan kecele dan kecewa.

Dan, yang paling penting, Prabowo telah menyelamatkan Indonesia dari potensi perpecahan anak bangsa. Ini jelas bakal jadi tamparan bagi Jokowi yang pernah mencurangi Prabowo saat dua kali Pilpres (2014 dan 2019), sehingga Jokowi ditetapkan sebagai Presiden dua periode.

Atau langkah lain yang bisa ditempuh untuk mencegah agar “analisis” Indonesia bisa bubar pada 2030, yaitu KPU harus berani jujur dan terbuka bahwa berdasarkan Rekapitulasi Manual Berjenjang, Paslon 02 Prabowo – Gibran bukanlah pemenangnya, melainkan Paslon 01 Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar.

Ketua KPU Hasyim Asy’ari juga harus berani mengakui adanya pencurangan ketika penghitungan suara yang menguntungkan dengan menggelembungkan perolehan suara Prabowo – Gibran.

Saya tidak perlu menulis ulang berapa banyak pencurangan dan modusnya itu, karena rakyat juga sudah banyak yang tahu. Bagaimana Gibran yang disebut TEMPO sebagai “anak haram konstitusi” itu bisa melenggang bebas turut dalam kontestasi Pilpres 2024 sebagai Cawapres Prabowo.

Namun, patut dipertanyakan, beranikah semua Komisioner KPU, termasuk Hasyim Asy’ari memutus Paslon 01 Anies – Muhaimin yang menang berdasarkan Rekapitulasi C1 (Hasil) lebih dari 800 ribu TPS di seluruh Indonesia?

Bagi Ketua KPU pribadi tentu saja akan menjadi buah simakalama. Dia tak ingin seperti Ketua KPU Husni Kamil Manik yang tiba-tiba meninggal dunia pada usianya ke 40 tahun, Kamis malam (7 Juli 2016 pukul 21.00 WIB) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Sebelum meninggal, melalui akun Twitter-nya @husnikamilmanik, sempat 'mencuit' atau menuliskan kata-kata yang diambil dari Alquran Surat Ali Imran ayat 159. Kamil Manik menuliskan sebagian isi ayat tersebut, tepat di bagian akhirnya, yang berbunyi: "Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal-lah kepada Allah".

Tweet itu ditulis Husni Kamil Manik empat hari atau tiga hari sebelum dirinya jatuh sakit dan dirawat di RSPP. Ketua KPU ini menjalani perawatan di RSPP pada Kamis pagi dan dinyatakan meninggal dunia oleh dokter RS sekitar pukul 21.07 WIB.

Konon, sebelum menuliskan melalui akun Twitter-nya @husnikamilmanik, sempat mengutarakan keinginannya untuk “bicara” terkait kecurangan Pilpres 2014. Namun, sebelum bicara, infeksi akut menyerangnya sehingga meninggal dunia. RSPP menyebut disebabkan oleh abses (abscess).

Pelajaran berharga bagi Komisionel KPU sekarang adalah meski mereka “memenangkan” Paslon 02 Prabowo – Gibran yang didukung Presiden Jokowi, bukanlah suatu jaminan mereka bisa tetap “selamat” dan tidak terancam nyawanya.

Masih ingat bagaimana sekitar 800 petugas KPPS yang meninggal dunia saat Pilpres 2019? Apa penyebabnya, tidak pernah diusut Pemerintah. Mereka cuma dinyatakan, meninggal karena “kelelahan”. (*)