Kemana Mulyono Setelah 20 Oktober 2024?

Gundah dan cemas itulah yang menggambarkan suasana menjelang penyerahan kekuasaannya, kini Mulyono hanya berusaha meminta belas kasihan rakyat dengan meminta maaf atas kesalahan selama memimpin, berjalan tak lagi tegap membusungkan dada seperti saat berkuasa.

Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademsi, Tinggal di Surabaya

SETIAP masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Kalimat itulah tampaknya yang tepat diberikan saat akhir masa kekuasaan Joko Widodo. Akhir dari era Jokowi pada 20 Oktober 2024 menandai pula berakhirnya pengaruh besar yang dimiliki oleh Mulyono, sosok kuat yang selama bertahun-tahun berada di jantung kekuasaan.

Namun, akhir masa kekuasaan Mulyono tidaklah berjalan mulus. Justru pada penghujung eranya, tekanan semakin meningkat. Seruan "ganyang Mulyono" yang menggema di tengah masyarakat bukan sekadar slogan, tetapi cerminan dari tuntutan publik yang kian keras untuk meminta suatu pertanggungjawaban atas berbagai kebijakan dan skandal yang terjadi saat kekuasaan Jokowi.

Tekanan yang dirasakan Mulyono berasal dari berbagai arah. Di satu sisi, ia menghadapi desakan dari masyarakat yang semakin vokal dalam menuntut keadilan dan transparansi. Berbagai kebijakan kontroversial, kasus korupsi yang menyeret lingkaran kekuasaan, serta gaya hidup elit yang hedonis menambah kemarahan publik.

Seruan "ganyang Mulyono" itu menjadi simbol dari ketidakpuasan yang meluas, sebuah ungkapan bahwa masyarakat tidak lagi diam melihat kesewenang-wenangan dan keistimewaan yang dinikmati oleh segelintir elit selama ini.

Di sisi lain, pergantian kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo Subianto juga bisa menambah tekanan. Mulyono, yang selama ini merasa aman di bawah perlindungan Jokowi, kini menghadapi ancaman dari kepemimpinan baru yang mungkin akan membuka berbagai aib masa lalu untuk memperkuat legitimasi mereka.

Upaya untuk memintai pertanggungjawaban terhadap Mulyono kian nyata, apalagi dengan semakin banyaknya tokoh politik yang berbalik mendukung Prabowo.

Mereka tak segan-segan ikut mendorong agenda baru yang mungkin akan melibatkan penyelidikan terhadap orang-orang yang terlibat dalam skandal masa lalu, termasuk Mulyono.

Absennya Mulyono dalam penyerahan kekuasaan dan pelantikan Prabowo bukan hanya karena ada rasa malu atau ketidak-nyamanan pribadi, tetapi juga akibat dari situasi genting yang dihadapinya. Ia menyadari bahwa kehadirannya akan menjadi sorotan yang tidak diinginkan, membuka peluang lagi bagi serangan lebih lanjut terhadap dirinya.

Ditambah lagi, isu akun Fufufafa yang diduga milik anaknya terus menghantui, memperburuk citra keluarganya dan memicu sentimen publik yang semakin negatif.

Tekanan ini semakin membuat Mulyono terpojok, memaksanya berada dalam posisi defensif di tengah ada upaya untuk menghindari jeratan hukum dan tuntutan pertanggungjawaban. Seruan masyarakat untuk "ganyang Mulyono" bukan hanya suara kemarahan, melainkan juga seruan keadilan yang tidak bisa lagi diabaikan oleh penguasa baru.

Mulyono, yang dulu tak tersentuh, kini harus menghadapi realitas baru yang penuh ketidakpastian dan ancaman terhadap masa depannya.

Setelah 20 Oktober 2024, masa depan Mulyono semakin tidak jelas. Apakah ia akan bersembunyi, diadili, atau mencoba membangun kembali pengaruhnya dari balik layar?

Yang pasti, tekanan dari berbagai pihak, serangan terhadap keluarganya, dan tuntutan publik yang kian keras membuat akhir kekuasaannya penuh dengan kecemasan dan ketidakpastian. Saat masa-masa kejayaan Mulyono telah berlalu, dan kini ia harus menghadapi kenyataan pahit dari perubahan politik yang tak lagi berpihak padanya.

Gundah dan cemas itulah yang menggambarkan suasana menjelang penyerahan kekuasaannya, kini Mulyono hanya berusaha meminta belas kasihan rakyat dengan meminta maaf atas kesalahan selama memimpin, berjalan tak lagi tegap membusungkan dada seperti saat berkuasa.

Mulyono kini harus pasrah menghadapi tekanan dari rakyat sambil berusaha berlindung di balik pemerintahan baru yang di sana ada sang Putra Mahkota. (*)