Kembali ke Fitrah Cita Negara
Oleh karena itu, diperlukan upaya yang serius dari segenap komponen penyelenggara dan warga negara untuk memastikan Pemilu 2024 berjalan dengan taat asas, taat nilai etis, taat hukum, taat prosedur dan taat tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pengurus Aliansi Kebangsaan
KEKISRUHAN dan kemerosotan demokrasi Indonesia di sekitar Pemilu 2024 bukan semata-mata mencerminkan defisiensi etika politik perseorangan, melainkan harus dilihat sebagai resultante dan kulminasi dari berbagai kelemahan rancang bangun serta malpraktik pemerintahan dan kewargaan selama ini.
Bahwa keberlangsungan dan kejayaan suatu negara-bangsa ditentukan oleh kesanggupannya saat merawat akar tradisi, baik disertai inovasi yang tepat dan terukur dengan kesanggupan memberikan respons yang ampuh terhadap tantangan yang dihadapinya.
Daya respons yang ampuh tersebut memerlukan perpaduan antara (1) kekuatan etos dan etika kewargaan yang dapat mengokohkan basis karakter, daya juang dan kohesi sosial (ranah tata nilai mental-kultural); (2) tatakelola negara yang dapat menjamin tegaknya negara hukum, negara persatuan, dan negara keadilan (ranah institusional-politikal); serta (3) tata sejahtera perekomian yang berkeadilan dan berkemakmuran melalui mekanisme redistributif atas harta, kesempatan dan privilese sosial disertai penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah atas karunia sumberdaya terberikan (ranah materialteknologikal).
Setelah 25 tahun reformasi, bangsa Indonesia telah meraih berbagai kemajuan inkremental. Namun, kemajuan yang dicapai tersebut berdiri di atas landasan yang goyah.
Pada ranah tata nilai mental-kultural, politik sebagai teknik mengalami pencanggihan, tapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Politik dan etik terpisah seperti minyak dan air. Dengan meluluhnya dimensietik, Indonesia sebagai bangsa majemuk kehilangan basis dan simpul rasa saling percaya. Tanpa basis integritas, cita persatuan menjelma jadi persatean.
Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan dirayakan dengan surplus ritual dan ucapan, namun miskin penghayatan dan pengamalan. Dalam realitasnya, Pancasila tak lagi dijunjung tinggi sebagai titik temu, titik tumpu, dan titik tuju kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seruan Aliansi Kebangsaan Pemilu 2024 merupakan hajatan politik yang strategis untuk kembali ke fitrah cita negara, dengan (terus) menggalang kekuatan dan partisipasi rakyat, demi memperbaiki pelaksanaan demokrasi, sesuai dengan cita negara dan cita hukum Pancasila.
Pada ranah tata kelola politik kenegaraan, kebebasan yang dimungkinkan demokrasi harus dibayar mahal dengan robohnya rumah tradisi kekeluargaan. Desain demokrasi dan kelembagaan negara menyimpang dari prinsip negara hukum, negara persatuan dan negara keadilan seperti dikehendaki oleh cita negara Pancasila.
Sistem demokrasi prosedural yang menekankan keterpilihan individu dalam sistem pemilu yang padat modal telah merusak prinsip-prinsip kesetaraan politik dan kesetaraan kesempatan, yang melahirkan demokrasi degeneratif di bawah tirani oligarki.
Di bawah tirani oligarki, pilihan kebijakan dan tindakan pemerintahan terdistorsikan komitmennya untuk melaksanakan misi negara: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan.
Visi dan komitmen politik terjebak dalam demokrasi prosedural dengan tekanan orientasi jangka pendek, dengan muara arus kebangsaan dan kenegaran yang tak menentu. Pilihan dan program pembangunan tercegat dalam kubangan kedaruratan lima tahunan, yang harus dibayar mahal dengan kerusakan berkelanjutan. Setiap percobaan perubahan kembali tergulung oleh tekanan kedaruratan.
Kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dijalani secara kontradiktif. Tren perkembangan global menuju otomatisasi, ekonomi pengetahuan, perampingan pemerintahan, perubahan iklim, penggunaan energi hijau, penyebaran pandemi, dan perluasan kesenjangan sosial, memerlukan perencanaan jangka panjang berkesinambungan untuk meresponnya. Namun, orientasi politik dan visi waktu politik kita justru tertawan short-termism.
Pada ranah tata sejahtera, demokrasi politik tak berjalan seiring dengan demokrasi ekonomi. Kesenjangan sosial makin lebar karena pengabaian prinsip keadilan dalam distribusi harta, kesempatan dan privilese sosial.
Selain itu, Indonesia dengan potensi sumberdaya alam yang berlimpah justru tak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara berdaulat.
Paradigma ekonomi lama dengan prinsip asal bisa mengimpor dengan murah harus segera diakhiri. Terperangkap dalam prinsip itu membuat kita kehilangan wahana peningkatan kapabilitas belajar untuk mengolah dan mengembangkan nilai tambah potensi sumberdaya kita.
Tanpa usaha menanam dan memproduksi sendiri dengan penguasaan teknologi sendiri, kita akan terus mengalami ketergantungan dan defisit neraca perdagangan, tidak dapat mengembangkan kemakmuran secara luas dan inklusif.
Kita harus mengembangkan kemandirian dengan jiwa merdeka. Harus dipastikan bahwa yang berkembang di negeri ini bukan sekadar pembangunan di Indonesia, tetapi pembangunan Indonesia: pembangun dari, oleh, untuk seluruh rakyat indonesia dan kemudian untuk dunia.
Dengan memperhatikan berbagai macam distorsi dan destruksi dalam tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera selama rentang waktu 25 tahun Orde Reformasi, bisa ditarik kesimpulan bahwa demokrasi dan tata kelola negara yang berkembang tidak berada di jalur yang tepat. Distorsi dan degenerasi demokrasi bukan hanya mencerminkan kegagalan perseorangan, tapi kegagalan sistemik.
Berdasarkan pertimbangan di atas, untuk menyehatkan demokrasi, mengembalikan pemerintahan ke jalur yang sesuai dengan Pancasila sebagai titik temu, titik tumpu, dan titik tuju bersama, Aliansi Kebangsaan menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia hal-hal sebagai berikut:
Satu; Kembali ke fitrah cita negara dengan pintu masuk melalui mekanisme kembali ke Konstitusi Proklamasi, 18 Agustus 1945. Bila diperlukan, penyempurnaan dilakukan secara bertahap dengan cara addendum.
Dua; Perlu memperkuat kembali fundamen etika publik dan budaya kewargaan inklusif berlandaskan Pancasila, yang mewujud dalam jatidiri bangsa yang tangguh dan warga negara yang kompeten, yang dibudayakan lewat pendidikan karakter kewargaan di semua bidang dan lapis kehidupan.
Tiga; Kembali ke sistem pemerintahan sendiri dengan merestorasi sistem demokrasi Pancasila yang menjunjung tinggi negara hukum, negara persatuan dan negara keadilan.
Dalam rangka mewujudkan politik inklusif yang dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan.
Dalam sistematika negara kekeluargaan, yang dapat menjaga keselarasan antara pembangunan negara dan pembangunan bangsa, kemakmuran material dan spiritual, kemerdekaan individu dan harmoni sosial, dengan semangat gotong-royong yang melibatkan partisipasi segenap komponen bangsa, dengan pembagian peran yang tepat antara negara, komunitas dan dunia usaha.
Empat; Perlu kesungguhan komitmen untuk mewujudkan ekonomi moral Pancasila dalam rangka mencapai kemakmuran yang inklusif. Dengan mengupayakan keseimbangan antara keadilan (pemerataan) dan kemakmuran (pertumbuhan) melalui semangat perekonomian merdeka; berlandaskan usaha tolongmenolong (kooperatif), disertai penguasaan negara atas 'karunia kekayaan bersama' serta atas cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; seraya memberi nilai tambah atas karunia terberikan dengan input pengetahuan dan teknologi.
Lima; Pemilu 2024 merupakan hajatan politik yang strategis untuk kembali ke fitrah cita negara, dengan menggalang kekuatan dan partisipasi rakyat untuk memperbaiki pelaksanaan demokrasi, sesuai dengan cita negara dan cita hukum Pancasila.
Oleh karena itu, diperlukan upaya yang serius dari segenap komponen penyelenggara dan warga negara untuk memastikan Pemilu 2024 berjalan dengan taat asas, taat nilai etis, taat hukum, taat prosedur dan taat tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seluruh pihak mesti menjadi pilar bagi penyelenggaraan Pemilu yang memberikan ruang autentik bagi rakyat untuk memanifestasikan kedaulatan mereka dalam memilih para penyelenggara negara, pada cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif, di tingkat pusat dan daerah, untuk mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Aliansi Kebangsaan adalah jaringan intelektual lintas-kultural dan lintas-keyakinan yang (telah) dipersatukan oleh kepedulian yang sama untuk mengembangkan kebangsaan Indonesia yang berperadaban, dalam rangka mewujudkan tujuan Nasional – menjadi bangsa yang “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. (*)