Kenapa PDIP Melirik Anies?

PDIP tidak punya masalah dengan Prabowo. Begitu juga Anies, tidak ada masalah dengan calon presiden yang akan dilantik Oktober nanti. PDIP hanya punya masalah dengan Jokowi, kader yang dibesarkannya sejak dari Walikota Solo.

Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

PEMILU 2014, PDIP adalah jawara di Jakarta. PDIP meraih 28 kursi DPRD DKI. Dengan 28 kursi, PDIP bisa usung sendiri pasangan Cagub – Cawagub. Pilgub 2017, PDIP usung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok – Djarot Saiful Hidayat. Sayangnya, pasangan ini dikalahkan Anies Baswedan – Sandiga Uno.

Anies – Sandi memimpin ibu kota kala itu. PDIP mengambil pilihan oposisi. Tidak hanya kritis, tapi keras kepada Anies – Sandi. Terutama kepada Anies pasca Sandi mundur dari Wagub DKI Jakarta karena alasan jadi Cawapres Prabowo Subianto pada Pilpres 2019.

Tiada hari tanpa serangan kepada Anies. Ini strategi yang dipakai PDIP untuk down grade Anies. Tujuannya? Anies gagal memimpin Ibu Kota dan terganjal untuk nyapres 2024.

Untuk menghadapi berbagai manuver PDIP, Anies cukup kerepotan dalam merealisasikan program-programnya di Jakarta. Mulai balap mobil Formula E, pembangunan Jakarta International Stadium (JIS), hingga upaya menjual saham bir. Puncaknya, PDIP menginisiasi impeachment kepada Anies. Namun, upaya ini juga gagal.

Apa hasil dari strategi agresif PDIP menyerang Anies itu? Anies tetap maju pada pilpres 2024, dan PDIP kehilangan tiga kursi DPRD DKI pada pemilu 2019. Dari 28 kursi menjadi 25 kursi. Dan, pada pemilu 2024, PDIP kehilangan lagi 10 kursi di DKI. Dari 25 kursi menjadi 15 kursi. Karena itu, PDIP sadar, ini strategi yang keliru. Karena itu, PDIP merasa perlu untuk mengubah strategi.

Posisi PDIP di Daerah Khusus Jakarta saat ini kurang menguntungkan. Dengan 15 kursi di DPRD Jakarta, PDIP tidak bisa mengusung paslon sendiri. Harus berkoalisi. Di sini PDIP kesulitan untuk mencari partner koalisi.

PPP yang notabene mitra koalisi PDIP pada pilpres Februari 2024 kemarin, hanya mendapatkan satu kursi di Jakarta. Mau koalisi dengan partai-partai pendukung Prabowo? Hampir tidak mungkin. Kenapa? Parpol koalisi pendukung Prabowo masih berada di genggaman Joko Widodo. Sementara itu, hubungan PDIP dengan Jokowi sedang berada di titik terburuk.

Pintu yang paling memungkinkan adalah bergabung dengan koalisinya partai-partai pengusung Anies Baswedan.

Faktor Anies juga menarik bagi PDIP. Anies incumbent dengan performence kerja dan prestasi yang cukup bagus di mata publik. Sehingga, elektabilitas Anies pada saat ini tertinggi, jauh melampaui kandidat-kandidat lainnya. Bagi PDIP, tampaknya pilihan ke Anies adalah yang paling menjanjikan untuk menang.

Selain itu, Anies populer sebagai tokoh oposisi. Dianggap kontra Jokowi. Di sinilah PDIP merasa mendapatkan persenyawaan ketika mengusung Anies pada pilgub Jakarta 2024.

PDIP tidak punya masalah dengan Prabowo. Begitu juga Anies, tidak ada masalah dengan calon presiden yang akan dilantik Oktober nanti. PDIP hanya punya masalah dengan Jokowi, kader yang dibesarkannya sejak dari Walikota Solo.

Bukankah kekuasaan Jokowi akan berakhir Oktober nanti? Meski Oktober 2024 Jokowi pensiun, tak berarti kekuasaan Jokowi sepenuhnya akan seketika hilang begitu saja. Jokowi masih punya Gibran Rakabuming Raka yang menjabat sebagai Wapres. Juga punya sejumlah loyalisnya yang berada di lingkaran Prabowo.

Artinya, Jokowi masih bisa “cawe-cawe” di politik. Baik Jakarta, maupun nasional. Sampai Prabowo benar-benar akan membersihkan pengaruh Jokowi dari dirinya, dengan menyingkirkan orang-orang Jokowi secara bertahap. Lalu, persempit ruang wapres sebagaimana Jokowi pernah melakukannya terjadap Jusuf Kalla (2014-2019) dan Ma’ruf Amin (2019-2024).

Adanya sisa-sisa kekuasaan Jokowi ini sepertinya menjadi penambah faktor kenapa PDIP ingin mengusung Anies Baswedan di pilgub Jakarta. (*)