Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi – 1

Dengan mencermati berbagai laporan tersebut, kemampuan Mahkamah Konstitusi di dalam menyelesaikan sengketa pemilu tentu menjadi tolok ukur bagi peningkatan kualitas demokrasi. Sebab, kecurangan tanpa efek jera akan semakin mematikan demokrasi.

Oleh: Megawati Soekarnoputri, Seorang Warga Negara Indonesia

RAKYAT Indonesia sedang menunggu dan akan mencatatkan dalam sejarah bangsa, apakah hakim Mahkamah Konstitusi (MK) bisa mengambil putusan sengketa pemilu presiden dan wakil presiden sesuai dengan hati nurani dan sikap kenegarawanan, ataukah membiarkan praktik elektoral penuh dugaan penyalahgunaan kekuasaan (”abuse of power”) dalam sejarah demokrasi Indonesia?

Di tengah penantian lahirnya keadilan sejati di Mahkamah Konstitusi, perhatian saya tertuju pada sebuah patung Dewi Keadilan.

Patung itu ditaruh di samping meja ruang rapat kediaman saya agar mengingatkan pentingnya keadilan hakiki tanpa balutan kepentingan lain, kecuali keadilan itu sendiri.

Patung Dewi Keadilan yang saya beli ketika berada di Amerika Serikat itu mengandung beberapa pesan kuat.

Pertama, mata Dewi Keadilan tertutup kain. Mata tertutup menghadirkan ”keadaan gelap” agar tak tersilaukan oleh apa yang dilihat mata. Dengan mata tertutup itu, maka akan terjadi dialog dengan hati nuraninya dalam memutuskan perkara dengan tidak membedakan siapa yang berbuat.

Kedua, timbangan keadilan sebagai cermin keadilan substantif. Ketiga, pedang yang diturunkan ke bawah menegaskan bahwa hukum bukanlah alat membunuh, tetapi didasarkan pada norma, etika, kesadaran hukum, dan tertib hukum serta keteladanan para aparat penegak hukum.

Alangkah indahnya Dewi Keadilan!

Bagi bangsa Indonesia, pentingnya keadilan dalam seluruh kehidupan bernegara tecermin dalam Pancasila. Sebab Pancasila lahir sebagai jawaban atas praktik hidup eksploitatif akibat kolonialisme dan imperialisme. Pancasila merupakan falsafah pembebasan yang terlahir dari dialog kritis antara Bung Karno dan Pak Marhaen. Dari situlah gagasan keadilan itu ditempatkan secara ideologis.

Keadilan dalam perspektif ideologis harus dijabarkan ke dalam supremasi hukum. Budaya hukum, tertib hukum, institusionalisasi lembaga penegak hukum, dan keteladanan aparat penegak hukum menjadi satu kesatuan supremasi hukum.

Sumpah presiden dan hakim Mahkamah Konstitusi menjadi bagian dari supremasi hukum. Namun, bagi hakim Mahkamah Konstitusi, sumpah dan tanggung jawabnya lebih mendalam dari sumpah presiden.

Karena itulah persyaratan menjadi hakim Mahkamah Konstitusi juga lebih berat, yakni tidak hanya menjalankan seluruh peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya sesuai Undang-Undang Dasar, tetapi juga ditambahkan syarat lainnya, yakni memiliki sikap kenegarawanan.

Dengan sikap kenegarawanan tersebut, hakim Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab terhadap terciptanya keadilan substantif dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara sebagai hal yang paling utama.

Dengan tanggung jawab ini, keputusan hakim Mahkamah Konstitusi atas sengketa pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) sangat ditunggu rakyat Indonesia, apakah keadilan substantif dapat benar-benar ditegakkan, atau sebaliknya semakin terseret ke dalam pusaran tarik-menarik kepentingan kekuasaan politik?

Etika Presiden

Budayawan dan rohaniwan Franz Magnis-Suseno menyampaikan bahwa ada unsur-unsur yang merupakan pelanggaran etika serius dalam pelaksanaan Pilpres 2024.

Etika merupakan ajaran dan keyakinan tentang baik dan tidak baik sebagai cermin dari kualitas manusia sebagai manusia. Tuntutan dasar terhadap pentingnya etika dituangkan dalam ketentuan hukum dan hal tersebut berlangsung terus dalam sejarah peradaban umat manusia. Tidak memperhatikan hukum yang berlaku sama saja dengan pelanggaran etika.

Tanggung jawab penguasa seperti presiden terhadap etika sangatlah penting. Presiden memegang kekuasaan atas negara dan pemerintahan yang sangat besar. Karena itulah penguasa eksekutif tertinggi tersebut dituntut standar dan tanggung jawab etikanya agar kewibawaan negara hukum tercipta.

Dalam tanggung jawab presiden itu, maka persoalan berkaitan dengan keselamatan seluruh bangsa dan negara berada di pundak presiden. Presiden berdiri untuk semua. Segala kesan yang menunjukkan bahwa presiden memperjuangkan kepentingan sendiri atau keluarganya adalah fatal. Sebab presiden adalah milik semua rakyat Indonesia.

Apa yang disampaikan Franz Magnis-Suseno menjadi landasan etis bagi hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengurai seluruh akar persoalan pilpres yang berangkat dari nepotisme dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Presiden.

Menempatkan etika dalam setiap putusan Mahkamah Konstitusi sangat penting. Sebab, Mahkamah Konstitusi hadir sebagai benteng keadilan terakhir dalam penyelesaian sengketa pilpres atau pemilu.

Putusan hakim Mahkamah Konstitusi akan menjadi indikator terpenting, apakah demokrasi yang berkedaulatan rakyat tetap eksis atau justru perlombaan penyalahgunaan kekuasaan akan menjadi model kecurangan dan bisa direplikasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak hingga pemilihan umum yang akan datang.

Apa dan siapa yang salah?

Temuan terjadinya penurunan kualitas demokrasi Indonesia telah berulangkali dikaji para peneliti.

Indeks demokrasi Indonesia, menurut data Freedom House, terus menunjukkan penurunan. Demikian juga menurut The Economist Intelligence Unit (EIU) yang menyimpulkan demokrasi Indonesia masih tergolong cacat (flawed democracy) berada pada peringkat ke-54 secara global, turun dua peringkat dari tahun sebelumnya.

Dengan mencermati berbagai laporan tersebut, kemampuan Mahkamah Konstitusi di dalam menyelesaikan sengketa pemilu tentu menjadi tolok ukur bagi peningkatan kualitas demokrasi. Sebab, kecurangan tanpa efek jera akan semakin mematikan demokrasi.

Agar sumber kecurangan tersebut dapat diungkap, hakim Mahkamah Konstitusi dapat membedah sumber kegaduhan dalam kecurangan pilpres. Kecurangan pemilu sendiri tidak berlangsung tiba-tiba. Ia lahir melalui serangkaian evolusi kecurangan. (Bersambung)