Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi – 2

Tentu sebagai anak bangsa, saya berdoa semoga dengan izin Allah SWT, kita pun rakyat Indonesia akan melihat cahaya terang demokrasi ketika ”Sembilan Dewa” di MK memberikan putusan yang berkeadilan, berwibawa, dan terutama dengan hati nuraninya.

Oleh: Megawati Soekarnoputri, Seorang Warga Negara Indonesia

DALIL awal, pilpres dilakukan secara langsung untuk menihilkan kecurangan. tetapi, kecurangan bisa terjadi di tengah lima indikator besar, yaitu (1) proses pemilu dan pluralisme politik, (2) tata kelola pemerintahan, (3) tingkat partisipasi politik masyarakat, (4) budaya politik, dan (5) kebebasan sipil.

Kompleksitas Pemilu

Kesemuanya diawali dari Pemilu 1971 ketika aparatur negara, khususnya ABRI, digunakan sebagai alat elektoral dan alat represif dengan sumber daya negara yang relatif tidak terbatas.

Pertautan kepentingan geopolitik global terhadap pemilu terjadi pada pemilu tahun 1999, 2004, dan semakin menguat pada tahun 2024.

Politik bantuan sosial diterapkan secara masif pada tahun 2009 seiring dengan meningkatkan populisme. Sementara penggunaan aparat penegak hukum, termasuk TNI dan Polri, dipraktikkan pada Pemilu 2009 dan 2019.

Efektivitas penggunaan instrumen hukum semakin sempurna pada Pemilu 2019 saat jabatan Jaksa Agung RI disalahgunakan bagi kepentingan elektoral.

Mengapa evolusi kecurangan terjadi, bahkan semakin bersifat akumulatif? Sebab belum pernah tercipta efek jera sebagaimana terjadi di Amerika Serikat dengan skandal Watergate yang memaksa Presiden Richard Nixon mengundurkan diri.

Pilpres 2024 merupakan puncak evolusi hingga bisa dikategorikan sebagai kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Ditambah motif nepotisme yang mendorong penyalahgunaan kekuasaan Presiden. Nepotisme ini berbeda dengan zaman Presiden Soeharto sekalipun karena dilaksanakan melalui sistem pemilu ketika Presiden masih menjabat dan ada kepentingan subyektif bagi kerabatnya. Lalu, pertanyaan kritis kita: apa dan siapa yang salah?

Dengan tegas saya menjawab sendiri, bukan sistem hukum Indonesia yang salah. Pelaksanaan hukum yang menjadi tanggung jawab pemimpin itulah yang salah. Kondisi ini terjadi akibat etika dan moral dijauhkan dari praktik hukum. Tanpa landasan etika, moral, dan keteladanan pemimpin, manipulasi hukum menjadi semakin mudah dilakukan.

Sikap kenegarawanan yang dimiliki hakim Mahkamah Konstitusi masuk dalam dimensi tanggung jawab bagi pemulihan etika dan moral itu. Tanpanya, Mahkamah Konstitusi hanya menjadi jalan pembenaran bagi sengketa pemilu yang orientasinya hanya pada hasil, tanpa melihat secara jernih bagaimana proses pemilu dan keseluruhan input dari proses pemilu.

Hasil pemilu ternyata bisa berubah akibat penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dibuktikan adanya voting behaviour yang dipengaruhi besarnya belanja sosial (social expenditures), seperti bantuan langsung tunai, pembagian beras miskin, dan bantuan sosial lainnya.

Pedoman Kebenaran

Putusan hukum Mahkamah Konstitusi memiliki makna demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maknanya tidak hanya secara transenden, tanggung jawab langsung kepada Sang Pencipta. Kekuatan transenden ini seharusnya bisa memperkuat posisi hakim Mahkamah Konstitusi mengambil terobosan hukum berdasarkan keadilan sebagai sifat hakiki Tuhan.

Karena itulah, maka hakim Mahkamah Konstitusi tidak hanya bertanggung jawab sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi, tetapi juga memiliki legalitas dan legitimasi agar keadilan benar-benar menemukan bentuknya, terlebih ketika berhadapan dengan tembok kekuasaan.

Lalu, selain konstitusi, apa pedoman lain yang bisa memunculkan sikap kenegarawanan?

Saya mencoba meramu dari pengalaman hidup saya yang sangat lengkap, baik sebagai anak presiden; menjadi rakyat biasa akibat peristiwa politik 1965; menjadi ibu rumah tangga; maupun memenuhi tanggung jawab sejarah sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, wakil presiden, presiden, dan kembali lagi memenuhi kodrat makna hidup ”Cakra Manggilingan” (roda kehidupan yang berputar).

Saya sungguh beruntung bisa berdialog langsung dengan Bung Karno, Bung Hatta, KH Agus Salim, Jenderal Achmad Yani dan para jenderal Pahlawan Revolusi yang lain; juga Pak Hoegeng sahabat saya; serta orang-orang pintar berhati nurani yang dipunyai oleh Republik Indonesia waktu itu dan para tokoh bangsa lainnya.

Dari situlah saya kemudian berkontemplasi, dan hasilnya menjadi pedoman kebenaran yang saya rekomendasikan kepada hakim Mahkamah Konstitusi.

Pertama, kebenaran tetaplah kebenaran. Ia tidak bisa dimanipulasi, sebab kebenaran itu menjadi hakikat. Kedua, kebenaran dalam pengambilan keputusan muncul dari pikiran dan nurani yang jernih. Jernih seperti air. Air jernih adalah pikiran dalam alam kebenaran.

Ketiga, qana’ah, merasa cukup terhadap apa yang ada. Ketika konstitusi membatasi jabatan masa presiden dua periode, itulah kebenaran yang harus ditaati, tidak bisa diperpanjang, baik secara langsung maupun tak langsung. Keempat, dalam bahasa Rusia disebut utrenja, yang artinya fajar. Tidak ada kekuatan yang bisa menghalangi fajar menyingsing di ufuk timur.

Dengan empat pedoman sederhana di atas tersebut, setiap pemimpin, termasuk hakim Mahkamah Konstitusi, dapat mengasah hati nurani dan budi pekertinya agar setiap tindakan dan keputusan politiknya selalu memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Oleh karena itulah, belajar dari putusan Perkara Nomor 90 di Mahkamah Konstitusi yang sangat kontroversial, saya mendorong dengan segala hormat kepada hakim Mahkamah Konstitusi agar sadar dan insaf untuk tidak mengulangi hal tersebut.

Ketukan palu hakim Mahkamah Konstitusi selanjutnya akan menjadi pertanda antara memilih kegelapan demokrasi atau menjadi fajar keadilan bagi rakyat dan negara.

Tentu sebagai anak bangsa, saya berdoa semoga dengan izin Allah SWT, kita pun rakyat Indonesia akan melihat cahaya terang demokrasi ketika ”Sembilan Dewa” di MK memberikan putusan yang berkeadilan, berwibawa, dan terutama dengan hati nuraninya.

Ingat, nama-nama para hakim Mahkamah Konstitusi akan tertulis dalam sejarah Republik Indonesia, baik maupun buruk. Semoga!!

Rakyat Indonesia, terutama yang mempunyai hati nurani, harus mendukung pengadilan Mahkamah Konstitusi ini sebagai upaya berkeadilan secara hukum. Semua pemikiran dan pendapat di atas, saya suarakan sebagai bagian dari Amicus Curiae, atau Sahabat Pengadilan. Merdeka! (*)