Kepada Indonesia (Belum) Raya
Pertanyaan kritisnya adalah akankah bangunan negara swasta ini makin kokoh atau segera dapat dirobohkan? Mari kita saksikan sejarah berikutnya. Dan, kita bisa mulai cek bentuk negeri Indonesia dari proyek raksasa penjajahan baru via PSN: PKP, PKT, KEK, PIK dan KIK.
Oleh: Yudhie Haryono, Rektor Universitas Nusantara
AWALNYA makan. Menelan sesuatu yang tak direkomendasikan untuk pemilik asam lambung: ketan dan santan. Lalu, berpusing ria melihat para rentenir ngopi cangkruk di Istana. Ambruk. Tubuhku sakit. Panas dingin, begag, mriyang dan tak enak di mulut.
Sambil tiduran, kulafalkan nyanyian Chrisye berjudul 'Damai Bersamamu', "Sabdamu bagai air yang mengalir/Basahi panas terik di hatiku/Menerangi semua jalanku/Kurasakan tenteramnya hatiku." Lagu apik di negeri syorga agama tapi tanpa pemeluk teguhnya.
Di Indonesia, agama dan sekolahan itu memang praktis mubazir. Mereka menyampaikan bahwa "teori pembangunan yang basisnya utang dan investasi luar negeri merupakan turunan dari teori neokolonialisme dan neoimperialisme."
Tetapi elit negara kita tidak mau tahu karena terus minta dijajah melalui utang dan investasi najis itu. Mubazir bukan?
Mari berseru lantang, wahai elit Indonesia, "jika cara kalian mengurus negara dengan tujuan cari bridging dan komisi dari investasi dan utang luar negeri, ya rakyatnya remuk, hancur bin kere mente. Segera hentikan dan bertobatlah sebelum malaikat mencabut nyawa kalian."
Jika tak bertobat, yang lahir hanya anak dari persetubuhan "oligarki kebohongan" dengan para "konglomerat delusi”. Hasilnya seperti replika kalabendu: zaman gila. Mengapa?
Karena kini, kebodohan, aksi tipsani dan kelainan jiwa menular lebih cepat dari yang kita sangka. Mereka membentuk komunitas epistemik yang kini bergerak dari Istana menguasai kesadaran rakyat untuk menikmati zaman kalasuba: menyembah dan mengunyah uang.
Padahal, soal uang ini, para alim telah berfatwa bahwa, "uang adalah akar segala kejahatan. Banyak orang baik (pembela kebenaran) bisa berubah menjadi buruk (pembela angkara murka) sesudah mengkonsumsi uang haram dan kekuasaan hitam. Tentu ini peristiwa tragis tapi kenyataan di lapangan. Zaman kegelapan. Sudah kita saksikan ribuan tokoh menjadi korban dan sekaligus pelaku. Di republik uang, akan lebih banyak orang yang jual diri daripada orang yang punya harga diri."
Saat orang jual diri, ia tak akan paham bahwa musuh paling jahat dari umat manusia di muka bumi adalah oligarki. Mereka adalah spesies yang hidup dari, oleh, untuk dan demi uang lewat cara rakus dan anti kemanusiaan.
Merekalah yang dengan gembira menciptakan "ekopol simulakra." Kata simulakra sendiri berasal dari bahasa Latin: simulācrum, dari similō, bentuk infinitif kini dari similis "serupa" yang merujuk pada hal yang tampak (baik real maupun khayal) tetapi tidak memiliki dasar realitas asal apapun. Hanya bayang semu dan hiperrealitas. Absurd dan tidak terasa keberadaannya. Semua hanya diucapkan tanpa "niat" dipraktikkan. Khianat dan menipu; munafik dan selingkuh.
Akhirnya, negara ini berubah dari republik ke swasta. Di negara swasta Indonesia, semua kegitan harus ada keuntungannya, tidak ada lagi misi sosial, spiritual, apalagi intelektual. Di negara swasta tidak ada warga negara, tak ada hukum dan tak ada Pancasila. Di negara swasta, pemerintah dan elitnya bisu, tuli dan buta dengan problema rakyatnya.
Padahal, pada awalnya, para pribumi pemilik Pancasilalah pendiri negara, sehingga jadi pemilik negara dan sekaligus penguasa negara. Tetapi, karena ribut sendiri (paregreg), bencana alam (disaster), invasi triumvirat (asing-aseng-asong) serta devide et impera, kini pribumi jadi tamu dan budak di tanah airnya sendiri.
Pertanyaan kritisnya adalah akankah bangunan negara swasta ini makin kokoh atau segera dapat dirobohkan? Mari kita saksikan sejarah berikutnya. Dan, kita bisa mulai cek bentuk negeri Indonesia dari proyek raksasa penjajahan baru via PSN: PKP, PKT, KEK, PIK dan KIK.
Betapa masif usaha mengakumulasi kejahatan, kebohongan, pernyopetan dan oligarki keluarga bertumpuk-tumpuk di situ. Sungguh terang benderang.
Sambil menikmati sakit, aku masih di rumah ini. Menikmati hujan dan purnama. Masih dengan setia menunggu kabar daulat Indonesia. Mendengar suara katak dan kucing, bukan keparat. Masih ingin mendengar suara dan cerita mercusuar dunia.
Menyaksikan politik negara yang makin paria dan rakyat sengsara. Masih ingin terus berusaha dan berdoa. (*)