Kutukan 27

Namun sayangnya tak ada lagi kepekaan apalagi perlawanan, ya karena mereka sudah merasakan manisnya kekuasaan. Masihkah kita sebagai rakyat bisa berharap? Jangankan kepada kita, kepada partainya saja tak bisa lagi membela. Saatnya PDIP menjadikan perubahan sebagai semangatnya.

Oleh: Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

ANGKA 27 bagi kita tentu tak banyak punya makna yang dalam kecuali mereka yang lahir tanggal 27 atau yang mengalami peristiwa tertentu pada tanggal 27, sehingga angka itu akan memberi kenangan yang dalam sangat membekas.

Dalam konstelasi politik menjelang terjadinya gerakan rakyat reformasi 98, terjadi huru-hara politik yang dikenal dengan peristiwa Kudatuli yang dialami oleh PDI (Partai Demokrasi Indonesia).

Saat itu rezim Orde Baru mengambil alih kepemimpinan PDI dari Megawati Soekarnoputri ke tangan Soeryadi. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 27 Juli 1996 ini tentu memberi makna yang dalam bagi kader-kader PDI Perjuangan saat ini untuk menjaga dan membangun loyalitasnya kepada partai dan pemimpinnya.

Bagi seluruh kader PDIP, peristiwa itu tak boleh terulang lagi, peristiwa yang membuat seluruh kader PDIP terluka dalam. Soliditas kader PDIP mampu terjaga menjaga partainya.

Perasaan senasib dan sepenanggungan yang saat itu dialami oleh PDI dan seluruh kadernya akibat tindakan represif dan otoriter Orde Baru yang ingin memberangus anasir-anasir yang dianggap oposisi, mampu membangun soliditas partai dan kadernya, lahirlah saat itu gerakan-gerakan rakyat pro Megawati, hingga pada akhirnya PDI bisa direbut kembali dan berganti nama menjadi PDIP.

Dua puluh tujuh (27) tahun sudah peristiwa tersebut berlalu, 27 Juli 1996 dan saat ini tahun 2023, peristiwa penistaan PDIP terjadi kembali, PDIP ditinggalkan oleh kader-kader potensialnya dan berlabuh pada partai lain serta meninggalkan dukungannya kepada capres yang didukung oleh PDIP dan mendukung capres dari partai lain.

Tentu ini merupakan pembangkangan bila dilakukan oleh kader, tapi kalau ini dilakukan oleh kader yang berkuasa, hal ini bukan lagi bisa dianggap sebagai pembangkangan, tapi juga penghinaan terhadap garis kebijakan partai.

Hal yang membedakan penyikapan terhadap peristiwa 27 tahun yang lalu dan sekarang adalah tahun 1996 PDIP mengalami masa masa sulit sebelumnya, sehingga kepekaan dan soliditasnya sangat kuat dan terasa. Berbeda dengan tahun 2023, nampaknya loyalitas dan soliditas kadernya patut dipertanyakan.

Mengapa? Setelah mengalami masa kejayaan dan kekuasaan paska reformasi, PDIP mengalami masa-masa keemasan, masa inilah yang membuat PDIP menjadi partai elit dan meninggalkan jargon sebagai partai wong cilik dan kehilangan kepekaan. Selama kekuasan dipegang oleh PDIP banyak hal yang membuat PDIP menjauh dari rakyat.

Apalagi saat ini pada 10 tahun terakhir, kader-kader PDIP yang berkuasa banyak yang menjauh dari rakyat. Sebut saja Joko Widodo, kader PDIP, banyak kebijakan kebijakannya terasa menjauhkan dari wong cilik. Menaikan harga BBM, lahirnya UU Ciptakan Kerja serta semakin tingginya harga bahan pangan, membuat rakyat hidup dalam keadaan sulit.

Namun tak ada pembelaan dari kader-kader PDIP untuk berteriak dan menyuarakan kepentingan rakyat. Pada zaman pemerintahan SBY ketika terjadi kenaikan harga BBM, seluruh kader PDIP bergerak dan menyuarakan penolakannya.

Pada saat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Ganjar Pranowo menjadi Gubernur, hal yang sama juga terjadi, banyak kebijakan yang membuat PDIP menjauh dari wong cilik, sebut saja penggusuran warga di kampung Akuarium dan Wadas.

Sebagai rakyat kecil kita rindu keberpihakan PDIP kepada rakyat, sebagaimana 27 tahun yang lalu. Namun saat ini, kerinduan itu mungkin hanya sebuah kerinduan yang tidak akan pernah bisa ada, karena soliditas dan kepekaan itu hampir sudah tidak ada. Jangankan terhadap rakyat, terhadap partainya saja yang dikuyo kuyo tak ada lagi teriakan protes dan perlawanan. Bahkan terkesan tak berdaya.

Peristiwa 27 tahun yang lalu di mana PDI yang kemudian menjelma menjadi PDIP terulang kembali, seolah angka 27 ini menjadi kutukan. Mengalami kembali masa penistaan dan dikuyo-kuyo oleh kekuasaan.

Namun sayangnya tak ada lagi kepekaan apalagi perlawanan, ya karena mereka sudah merasakan manisnya kekuasaan. Masihkah kita sebagai rakyat bisa berharap? Jangankan kepada kita, kepada partainya saja tak bisa lagi membela. Saatnya PDIP menjadikan perubahan sebagai semangatnya.

Angka 27 bagi PDIP bisa bermakna dua, yang pertama sebagai kutukan karena pada tanggal 27 dan kini sudah tahun ke 27 peristiwa penistaan partai terjadi kembali, yang kedua sebagai pengingat, sebagai partai yang mengusung jargon wong cilik, seharusnya PDIP harus dekat dengan rakyat bukan malah menjauh dan hanya mengurusi kelompoknya saja, bukankah kalian lahir karena rakyat? (*)