Kyai KPU Bicara Hewan

Maksud hati ingin menunjukan diri paham akan moral dan agama tetapi justru persoalan moral dan agama itu yang sedang mendera dirinya. Inilah yang namanya tuntunan berubah menjadi tontonan. Tontonan dari pembacaan naskah bernarasi bunuh diri.

Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

IEDUL Adha adalah saatnya menyembelih hewan apakah unta, sapi, atau kambing. Penyembelihan merupakan wujud dari kepatuhan pada Allah untuk mencapai derajat takwa. Waktu penyembelihan dilakukan saat itu atau hari-hari tasyrik. Hampir setiap Masjid menyelenggarakan penyembelihan hewan qurban.

Banyak Khatib shalat Iedul Adha mengaitkan dengan sifat-sifat hewan pada manusia. Hal itu tentu sah-sah saja walaupun hakekat qurban adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tafsir yang dikaitkan dengan penyembelihan sifat hewani dinilai kontekstual.

Menarik kasus Khatib Ketua KPU di Masjid Baiturrahman Semarang. Salah seorang jama'ahnya adalah Presiden Joko Widodo. Tampaknya pertemuan Jokowi dengan Ketua KPU Hasyim Asy'ari bukan kebetulan tetapi direncanakan. Tentu isi khutbah bukan menyangkut Pilpres 2024 lalu atau Pilkada yang sebentar lagi akan diadakan.

Disebut kasus karena di samping 'kongkalikong' berkelanjutan hingga shalat Iedul Adha, juga baik Ketua KPU maupun Presiden sedang disorot rakyat soal kecurangan Pemilu. Presiden cawe-cawe sedangkan Ketua KPU butut gawe. Di sana ada juga ada urusan "wewe gombel" atau "kalong wewe".

Isi khutbah Kyai KPU di antaranya menyinggung perlunya menyembelih sifat-sifat hewan yang sering melekat pada manusia. Publik mungkin membaca sifat-sifat hewan seperti yang "rakus, mementingkan diri, sombong, tamak dan ambisi" itu justru menunjuk pada diri Khatib dan jama'ah istimewa itu sendiri. Adapun tudingan "menyebar informasi tak benar" rasanya tidak ada pada sifat hewan.

Presiden bersama Menteri "IKN" PUPR Basuki Hadimulyono berakrab spiritual dengan Ketua KPU Hasyim Asy’ari itu. Unjuk diri melalui ibadah shalat. Dengan Khatib Ketua KPU ini menjadi contoh praktik "politik identitas" yang biasa dikecam Pemerintah. Mencampuradukkan soal politik dengan agama, katanya.

Kyai KPU bagusnya tidak menjadi Khatib, masih banyak Kyai di Semarang yang lebih pantas untuk menasehati jama'ah yang bernama Jokowi.

Maksud hati ingin menunjukan diri paham akan moral dan agama tetapi justru persoalan moral dan agama itu yang sedang mendera dirinya. Inilah yang namanya tuntunan berubah menjadi tontonan. Tontonan dari pembacaan naskah bernarasi bunuh diri.

Khatib membacakan banyak ayat, namun Allah telah menunjukkan ayat kebesaran-Nya. Presiden dan Ketua KPU yang bersekongkol dalam urusan Pilpres kini bersama dalam ritual di Semarang. Satu jadi Khatib lainnya jama'ah. Khatib mungkin sedang bercitra bersih, namun tanpa disadari ia sedang mencemari Khatib lain.

Dalam Al Qur'an ada manusia yang diumpamakan hewan, yaitu mereka yang "ndableg" atau masa bodoh. Mereka itu punya hati tapi tidak punya rasa, punya mata tapi buta, dan punya telinga yang tidak mendengar "ulaa-ika kal an'aam, bal hum adhol" – mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih rendah. Lalu, "ulaa-ika humul ghoofiluun" – merekalah orang-orang yang lalai.

Tempat mereka adalah Jahannam dan akan berhimpun bersama Jin. "Walaqod dzaro'naa li Jahannama katsiiron minal Jinni wal Insi" (QS Al A'raf 179). (*)