Masih Relevankah Jenderal Menjadi Presiden

Walaupun Prabowo mengatakan gaya kepemimpinan militeristik sudah tidak relevan lagi kepada media Bloomberg di Qatar baru-baru ini. Tapi siapapun yang melihat calon presiden Prabowo, akan sulit untuk percaya dia akan meninggalkan gaya kepemimpinan militeristiknya.

Oleh: Nirmal Ilham, Tenaga Ahli DPR RI

TERHIPNOTIS propaganda pembangunan Orde Baru adalah gambaran yang pas terhadap massa pendukung Prabowo Subianto. Sementara barisan rakyat penentangnya adalah yang trauma pada kekuasaan militer Orde Baru. Ketika seorang jenderal maju menjadi presiden, langsung tercipta dua kutub masyarakat yang saling berlawanan. Sehingga masih relevankah jenderal menjadi presiden?

Jenderal Norman Schwarzkopf adalah panglima Perang Teluk I dan pemimpin militer paling hebat Amerika paska Perang Dunia II hingga saat ini. Namanya disandingkan dengan pahlawan Perang Dunia II, Jenderal Besar Dwight Eisenhower dan Jenderal Besar Douglas Mac Arthur.

Mantan Presiden George Bush senior mengatakan Scwarzkopf adalah pahlawan Amerika dan salah satu pemimpin militer terhebat.

Setelah Irak menginvasi Kuwait tahun 1990, Schwarzkopf memimpin penyerangan pembebasan Kuwait dalam operation desert storm pada 1991. Dia berhasil mengusir tentara Irak. Kepulangan Schwarzkopf disambut meriah rakyat Amerika.

Banyak yang memprediksinya akan menjadi presiden. Namun negara Amerika modern dengan rakyatnya yang terdidik menilai masa penghormatan kepada jenderal pahlawan perang sebagai presiden sudah berakhir pada era Eisenhower (Presiden AS 1953 – 1961).

Paska Perang Dunia II, banyak negara memilih menganut sistem pemerintahan yang demokratis daripada otoriter. Dengan menempatkan militer berada di bawah kontrol sipil yang demokratis. Tapi khusus di negara-negara baru, kejayaan demokrasi tidak berumur panjang. Sejak akhir 1950-an mengalami perubahan menjadi otoritarianisme. Termasuk Indonesia.

Jenderal Suharto naik dengan pemaksaan dan pembantaian masal berencana. Mempertahankan kekuasaan dengan pembunuhan dan pelanggaran HAM berat. Dan, jatuh dengan kehancuran ekonomi, kerusuhan, dan korban jiwa yang besar, 32 tahun kekuasaan Suharto menampakkan wajah militer yang bengis.

Anehnya hanya enam tahun setelah kejatuhan Jenderal Suharto, mayoritas rakyat justru memilih untuk mengangkat Jenderal SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) sebagai presiden. Ada ekspektasi lain dari rakyat terhadap kepemimpinan seorang jenderal. Yang dahulu dimiliki Suharto.

Yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, harga yang murah dan stabil serta BUMN yang dikuasai negara. Setelah sebelumnya Megawati memulai penjualan BUMN.

Tapi harapan rakyat dengan kenyataan yang diwujudkan SBY berbeda. SBY justru fokus untuk memperbaiki citra militer Indonesia. Mengubah wajahnya dari bengis menjadi manis. Selama satu dekade pemerintahannya, SBY tidak melakukan pelanggaran HAM dan tak terdengar orang yang anti pemerintahannya ditahan. Tidak seperti pemerintahan Joko Widodo.

Sedangkan harapan rakyat akan harga barang yang murah dan stabil tidak terjadi. Kebijakan SBY yang menaikkan harga BBM berkali lipat membuat semua harga barang naik tinggi. Dan kebijakan SBY yang menaikkan harga BBM berkali-kali dengan harganya yang naik dan turun membuat harga barang tidak stabil.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh SBY ditunjang dengan utang luar negeri yang sangat banyak. Diarahkan untuk sektor konsumsi, bukan produksi. Infrastruktur tidak diprioritaskan. Smelter tidak dibangun. BUMN tidak di-buyback. Justru sahamnya semakin banyak dijual ke swasta.

Presiden Jenderal Suharto dan Jenderal SBY sama-sama memiliki sisi hitam-putih selama dalam kepemimpinannya. Baik pada satu sisi, tapi buruk pada sisi yang lain. Bila dinilai, poinnya adalah lima. Raportnya merah. Sehingga jenderal menjadi presiden memberikan preseden buruk.

Cap itu otomatis melekat pada Jenderal Prabowo. Tidak ada argumen yang bisa dipakainya untuk mengelak. Dia menantu Suharto dan kawan seangkatan SBY di militer. Kekalahannya dalam dua pilpres terakhir juga karena rakyat melihat Prabowo tidak bisa menghilangkan cap militeristiknya.

Walaupun Prabowo mengatakan gaya kepemimpinan militeristik sudah tidak relevan lagi kepada media Bloomberg di Qatar baru-baru ini. Tapi siapapun yang melihat calon presiden Prabowo, akan sulit untuk percaya dia akan meninggalkan gaya kepemimpinan militeristiknya.

Sama seperti halnya siapapun yang melihat calon anggota DPR akan sulit percaya mereka akan menyalurkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Sama seperti siapapun yang melihat calon kepala daerah akan sulit percaya dia akan menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya.

Sama seperti siapapun yang melihat Jokowi akan sulit percaya dia telah melaksanakan pemilu dengan jujur dan adil.

Dalam negara modern dengan rakyatnya yang terdidik dan sistem pemerintahan demokratik. Hubungan sipil-militer menganut pola supremasi sipil. Politik menjadi milik sipil. Dan, Indonesia seharusnya didesain untuk menjadi negara modern.

Bukan menjadi negara tradisional terkebelakang yang presidennya masih seorang jenderal. Atau presiden berikutnya anak dari presiden saat ini, yaitu Gibran Rakabuming Raka. Kaum terdidik seharusnya menyadari ini dan segeralah bergerak. (*)