Melawan Atau Indonesia Hancur Lebur

Alasan tidak berani melawan adalah ketakutan dengan membesar-besarkan bahaya untuk membela diri. Kekalahan dan kehancuran kita bukan semata karena ketidak-adilan dan kekejaman rezim ini, tetapi ada pada mental kita takut melawan.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

".. Umat manusia keluar dari perang dalam kondisi lebih kuat untuk kebaikan ataupun kejahatan" (Friedrich Neirzhe 1844 - 1900).

Indonesia saat ini sedang menantikan pejuang negarawan, cerdas, pemberani, dan memiliki ilmu taktis dan strategi yang kuat: "Orang taktis itu berat dan membumi, ahli strategi itu berkaki ringan dan sanggup melihat dengan pandangan jauh dan luas".

Indonesia sedang dalam bahaya kegelapan, pilihan melawan adalah pintu darurat agar keluar dari kepungan bahaya kehancuran negara.

Berhadapan dengan penjajah gaya baru (Oligarki dan RRC) ada kecenderungan menghindari untuk melawan (konflik). Pelampiasan emosinya riuh lewat media sosial, kondisi seperti ini tidak akan bisa menyelesaikan masalah, justru akan memperparah situasinya.

Banyak psikolog dan sosiolog berpendapat melalui perlawanan (konflik) kekacauan seringkali bisa terpecahkan, kekejaman dan keangkuhan dihentikan, ketidak-adilan dan kebiadaban dipulihkan.

Tanpa perlawanan dengan daya gempur mematikan, jelas rezim yang ugal-ugalan akan semakin jumawa, angkuh, sombong, kejam makin berani dan membesar.

Rakyat tercekik dengan macam kebijakan politik dan ekonomi busuk. Diterjang program oligarki dengan dalih "Program Strategi Nasional" semakin biadab, sadis, kejam, dan semena-mena.

Jalan keluarnya rakyat harus berani melawan. Menghindari konflik (melawan) berhadapan dengan serigala-serigala yang makin sadis dan bengis, sumber tragedi akan semakin parah, keadaan akan terus memburuk.

Semangat Bung Tomo harus dikobarkan kembali untuk para pejuang “lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka, untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia”.

Alasan tidak berani melawan adalah ketakutan dengan membesar-besarkan bahaya untuk membela diri. Kekalahan dan kehancuran kita bukan semata karena ketidak-adilan dan kekejaman rezim ini, tetapi ada pada mental kita takut melawan.

Padahal masalah kekejaman, keadilan, moralitas ada pada papan caturnya. Keberanian melawan bersifat psikologis, bukan kekuatan material. Dari sinilah saat itu lahir pejuang dan pahlawan pada masa penjajahan.

"Kondisi tak tertaklukan adalah tergantung pada diri sendiri. Setiap hari kita menyerap bermacam- macam info peristiwa memilukan menyita ruang mental, perasaan dan pikiran namun semua tidak mengantarkan ke mana-mana"

"Jangan naif: terhadap penjajah gaya baru tidak boleh ada kompromi tidak boleh ada jalan tengah. Pilihannya saat ini siap melawan atau akan hancur lebur",

"Alam telah memutuskan apa yang tidak sanggup membela diri takkan di bela" (Ralph Waldo Emmerson 1803 - 1882). (*)