Melepas Mulyono Menuju Gorong-Gorong
Sejarah memiliki caranya sendiri untuk mencatat siapa yang berhasil dan siapa yang gagal. Dan bagi Mulyono, gorong-gorong sejarah adalah tempat terakhirnya – gelap, lembab, dan penuh dengan kenangan buruk yang tak akan pernah bisa ia bersihkan.
Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya
MENJELANG berakhirnya kekuasaannya, 20 Oktober 2024, Mulyono bukan hanya menghadapi kehancuran politik, tapi juga terjebak dalam krisis moral dan skandal yang melibatkan keluarganya. Salah satu titik hitam yang semakin menyudutkan posisinya adalah kehebohan terkait akun KasKus Fufufafa, yang diduga kuat milik putra mahkotanya, Gibran Rakabuming Raka.
Akun tersebut tidak hanya menghina Prabowo Subianto, presiden terpilih, tetapi juga mencoreng nama baik keluarganya dengan konten yang berbau pornografi dan pelecehan.
Retorika kejujuran, kesederhanaan, dan kerja keras yang dulu menjadi slogan kebanggaannya, kini tergerus oleh berbagai skandal mulai dari korupsi, nepotisme, hingga gaya hidup hedonis yang telah dipertontonkan oleh keluarganya.
Kasus yang mencuat dari tingkah laku anak-anaknya, seperti akun kontroversial Fufufafa yang juga diduga milik sang putra mahkota Gibran semakin mencoreng citranya. Masyarakat yang dulu penuh simpati kini berubah sinis dan tak segan-segan menyerukan "ganyang Mulyono", sebuah seruan yang menggambarkan kekecewaan mendalam atas janji-janji kosongnya.
Seiring waktu, Mulyono semakin terisolasi, baik dari para pendukung setianya maupun elit politik yang dulu berada di sisinya. Penjilat yang selama ini diandalkan kini berbondong-bondong merapat kepada penguasa baru, Prabowo. Di tengah arus politik yang berbalik, Mulyono semakin tersudut, dan upayanya untuk melarikan diri dari pertanggungjawaban makin sulit dilakukan.
Publik terkejut dan marah. Prabowo, yang tengah bersiap untuk mengambil-alih tampuk kekuasaan, menerima serangan dari akun yang menyeret nama Gibran – putra sang presiden yang seharusnya menjaga kehormatan keluarganya.
Alih-alih mendukung transisi kekuasaan dengan elegan, skandal ini semakin menambah beban di pundak Mulyono, yang sudah diterpa banyak gelombang kritik dari berbagai penjuru.
Skandal akun Fufufafa tak hanya merusak hubungan Mulyono dengan Prabowo, tetapi juga telah memperkeruh citra keluarganya di mata rakyat. Tuduhan bahwa akun tersebut digunakan untuk menyebarkan penghinaan dan konten tak senonoh membuat Mulyono kehilangan kredibilitas di akhir masa jabatannya.
Apa yang dulu menjadi janji-janji tentang integritas moral dan tata krama, kini hancur lebur oleh tingkah laku keluarganya sendiri.
Situasi ini menciptakan suasana batin yang mencekam di sekitar Mulyono. Di balik senyum yang semakin jarang terlihat di depan publik, ada kecemasan yang terus menggelayuti, terutama ketika masyarakat menuntut pertanggungjawaban atas skandal tersebut.
Banyak yang menduga bahwa itulah sebabnya Mulyono dikabarkan tidak akan menghadiri saat penyerahan kekuasaan kepada Prabowo, karena ia tak sanggup menghadapi konsekuensi dari perbuatan anaknya sendiri. Diam-diam, ia makin terpuruk di balik layar kekuasaan yang perlahan memudar.
Kegelisahan Mulyono semakin diperparah oleh serangan bertubi-tubi terhadap diri dan keluarganya. Isu tentang akun Fufufafa terus menjadi topik hangat di media sosial, dan tuntutan agar kasus ini diusut tuntas makin keras.
Sementara itu, para penjilat yang dulu memuji-muji Mulyono kini mulai meninggalkannya, memilih merapat ke barisan Prabowo yang segera akan naik takhta. Mulyono kini benar-benar terasing, tidak hanya dari rakyat yang dulu mengelu-elukannya, tetapi juga dari lingkaran elit yang pernah setia kepadanya.
Dalam suasana yang semakin muram tersebut, tampaknya nasib Mulyono benar-benar menuju ke "gorong-gorong". Bukan gorong-gorong fisik yang dulu ia sebut-sebut saat mengelola kota, tetapi gorong-gorong sejarah yang akan menelan nama dan reputasinya.
Skandal keluarganya, terutama terkait akun Fufufafa, menjadi titik terakhir yang menjerumuskan Mulyono ke dalam jurang yang dalam, sebuah penanda akhir dari karier seorang pemimpin yang dulu pernah dijanjikan membawa perubahan, tapi pada akhirnya terjebak dalam kehancuran moral yang ia ciptakan sendiri.
Masyarakat kini tidak lagi melihatnya sebagai tokoh yang membawa harapan, tetapi sebagai simbol kegagalan yang harus dilepas dengan cepat. Dan, ketika tanggal 20 Oktober 2024 tiba, kita mungkin akan menyaksikan Mulyono perlahan menghilang dari panggung politik, tenggelam dalam bayang-bayang skandal dan kebohongan, menuju gorong-gorong sejarah yang kelam.
Gorong-gorong ini bukanlah sekadar metafora; ia mencerminkan kebusukan yang bersembunyi di balik kekuasaan. Setiap langkah Mulyono kini semakin dalam menuju tempat yang akan mengubur namanya dalam ingatan kelam bangsa ini.
Gorong-gorong adalah tempat di mana kebenaran yang ia sembunyikan akhirnya terungkap; tempat di mana janji-janji palsu, korupsi, nepotisme, dan skandal keluarganya bertemu dalam pusaran yang tak terhindarkan. Jika dulu ia dikenal sebagai pemimpin yang merakyat dan sederhana, kini ia hanya dikenang karena kebohongan yang menumpuk hingga tak tertutupi lagi.
Dalam hitungan hari, saat Prabowo siap mengambil-alih kekuasaan, Mulyono semakin tenggelam dalam rasa malu dan kegelisahan. Isu bahwa ia tak akan hadir pada pelantikan Prabowo hanya memperkuat narasi bahwa Mulyono tak lagi memiliki keberanian untuk menghadapi kenyataan.
Dia yang dulu dielu-elukan sebagai pemimpin masa depan, kini justru menjadi bayang-bayang atas kegagalan dan ketakutan. Dia yang dulu berjalan di atas panggung dengan percaya diri, kini mulai terperosok ke dalam gorong-gorong yang ia ciptakan sendiri-simbol pengkhianatan terhadap janji-janji reformasi yang pernah ia janjikan kepada rakyat.
Gorong-gorong sejarah adalah tempat di mana Mulyono akan tercatat bukan sebagai pembawa perubahan, tetapi sebagai sosok yang gagal membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Ini adalah titik di mana kegagalannya sebagai pemimpin, ayah, dan penjaga dari nilai-nilai moral terungkap sepenuhnya. Saat rakyat melihat Mulyono perlahan-lahan terseret ke sana, sorak-sorai "ganyang Mulyono" tidak lagi sekadar ejekan, tetapi sebuah peringatan keras bahwa masyarakat tak akan melupakan atau memaafkan.
Sejarah memiliki caranya sendiri untuk mencatat siapa yang berhasil dan siapa yang gagal. Dan bagi Mulyono, gorong-gorong sejarah adalah tempat terakhirnya – gelap, lembab, dan penuh dengan kenangan buruk yang tak akan pernah bisa ia bersihkan.
Ini adalah akhir yang tak terelakkan bagi seorang pemimpin yang telah kehilangan arah, terjebak di dalam labirin kebohongan, dan akhirnya tenggelam dalam kelamnya pengkhianatan terhadap rakyat dan bangsa ini. (*)