Memimpin Rekonstruksi Kebangkitan Nasional

Lincoln berulangkali gagal dalam berbagai kontestasi pemilihan jabatan politik. Namun, tatkala akhirnya terpilih menjadi presiden AS, hanya selama empat tahun mengemban jabatannya, ia berhasil menorehkan tinta emas dalam sejarah bangsanya.

Oleh: Yudi Latif, Guru Besar, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

INDONESIA adalah bangsa pelopor. Kesimpulan itu disematkan oleh David van Reybrouck dalam buku terbarunya, Revolusi: Indonesia and the Birth of the Modern World (2024). Menurut penulis Belgia lulusan doktoral Universitas Leiden tersebut, ”Sejarah Indonesia menorehkan peristiwa tanpa preseden dengan signifikansi global: negara pertama yang mendeklarasikan kemerdekaan pasca-Perang Dunia II.”

Revolusi kemerdekaan Indonesia berdampak besar bagi semesta kemanusiaan dan membentuk ekspektasi tentang watak dekolonisasi: tidak bersifat gradual. Tak terbatas pada porsi kecil daerah koloni atau sebagian kekuasaan tertentu; melainkan suatu proses transisi segera menuju kemerdekaan, meliputi seluruh wilayah kekuasaan dan transfer kedaulatan politik secara penuh.

Reybrouck menyebut Indonesia tidak saja sebagai pelopor dekolonisasi, tapi juga penggalang solidaritas dan kerjasama negara-negara bekas jajahan melalui inisiatifnya menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955. Ini konferensi pertama para pemimpin dunia tanpa Barat, dengan mewakili lebih dari 1,5 miliar penduduk dunia saat itu.

Sedemikian penting dampak KAA bagi kemanusiaan global sampai-sampai penulis kulit hitam Amerika Serikat yang hadir di KAA, Richard Wright, menyebutnya ”momen yang sangat menentukan dalam membangkitkan kesadaran baru bagi 64 persen ras manusia.”

Efek domino dari KAA sangat luas cakupannya dan dalam penetrasinya. Hal itu terentang mulai dari kebangkitan dan solidaritas bangsa-bangsa Dunia Ketiga dan Gerakan Non-Blok, perlawanan terhadap penjajahan dan rezim apartheid di berbagai belahan Bumi, penggalangan Pan Arabisme dan Pan Afrikanisme, nasionalisasi Terusan Suez oleh Gamal Abdul Nasser sebagai katalis bagi pembentukan Uni Eropa, perubahan komposisi keanggotaan PBB, hingga kemunculan gelombang pasang civil rights movement di Amerika.

Kepeloporan dan Kerentanan

Menyadari kepeloporan Indonesia di masa lalu itu penting untuk menumbuhkan kepercayaan diri. Bung Karno kerap kali mengingatkan bahwa Indonesia adalah bangsa besar, namun suka bermental kecil dengan memberi nilai terlalu rendah pada bangsanya sendiri; masih belum terbebas dari mentalitas kaum terjajah dengan perasaan rendah diri.

Akibat penjajahan dan feodalisme selama ratusan tahun, terbentuklah mentalitas pecundang dengan kelemahan kepercayaan diri; kurang memiliki ”isi-hidup” (levensinhoud) dan ”arah hidup” (levensrichting). Bangsa minder dan cetek seperti itu, menurut dia, cenderung lebih menggemari emas sepuhan, bukan emasnya batin; mencintai gebyar lahir ketimbang nurnya kebenaran dan keadilan.

Sebagai ikutannya, komunitas bangsa tersebut cenderung melakukan apa saja yang orang (bangsa) lain lakukan (mentalitas konformis), atau menuruti saja apa yang dikehendaki orang (bangsa) lain, yang menyuburkan mentalitas bebek sekaligus totalitarian.

Menyadari modal sejarah kepeloporan Indonesia juga penting untuk membangunkan bangsa raksasa ini dari tidur lelap berkepanjangan. Dunia menjuluki abad ke-21 ini Abad Asia. Sebuah buku, Makers of Modern Asia (Ramachandra, 2014), menggelari inisiatif Indonesia dalam menyelenggarakan KAA sebagai pembuka jalan menuju Abad Asia. Namun, di era kebangkitan Asia ini, apakah takdir Indonesia sebagai pelopor hanya jadi aktor semenjana yang mendekam di halaman belakang dinamika kawasan?

Untuk bisa bangkit memenangi masa depan, kita bisa belajar dari pengalaman masa lalu. Tanpa bekal pelajaran dari masa lalu, perjalanan ke depan ibarat memasuki lorong sunyi kekelaman. Manusia bukan hanya homo sapiens (berbekal pengetahuan dan kebijaksanaan), tetapi juga homo imaginatus dengan kemampuan mengingat jauh ke belakang dan membayangkan jauh ke depan. Dengan itu, manusia bisa belajar dari sejarah disertai kapasitas menggagas visi dunia baru sebagai haluan ke masa depan.

Masa Lalu Sebagai Pelajaran

Kebangkitan selalu dimulai dari kepeloporan minoritas kreatif. Minoritas kreatif itu berkembang berkat dukungan ekosistem dan struktur peluang politik yang dapat menumbuhkan kualitas manusia, vitalitas ruang publik, konstruktivitas praktik diskursif, daya hidup gerakan sosial, serta kepemimpinan berintegritas dan visioner. Tak ada kebangkitan tanpa kualitas manusia, dan tak ada kualitas manusia tanpa proses pendidikan dan pembudayaan yang baik.

Dalam pengalaman Indonesia sendiri, gerakan kemajuan sejak akhir abad ke-19 dipelopori oleh kaum guru – profesi pertama yang mendapatkan akses pada pendidikan terbaik pada masa itu. Berkat kepeloporan kaum guru yang memperjuangkan perluasan akses persekolahan dan pengetahuan modern bagi anak-anak Bumiputera, gerakan kebangkitan muncul awal abad ke20, dimotori para pelajar STOVIA – produk politik etis dengan tingkat pendidikan tertinggi yang bisa dicapai di Tanah Air pada saat itu.

Gerakan kebangkitan nasional dimulai dari kesadaran pentingnya pendidikan dan pembudayaan keutamaan budi, budi utama. Awal abad ke-20, kesadaran itu bukan hanya tecermin dari kelahiran Budi Utomo, tetapi juga organisasi sezaman: Jamiat Khair (perkumpulan kebajikan budi), dan Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia: sakti, budi, bakti).

Singkat kata, budi pekerti adalah tumpuan utama kebangkitan dan kemajuan. ”Budi” berarti pikiran, perasaan, dan kemauan (aspek batin). ”Pekerti” berarti tenaga atau daya (aspek lahir). Budi pekerti baik menyatukan pikiran, perasaan, dan kemauan manusia yang mendorong kekuatan tenaga yang bisa melahirkan penciptaan dan perbuatan baik, benar, dan indah.

Pendidikan merupakan wahana pembudayaan. Pendidikan di sini tak sebatas dunia persekolahan, tetapi juga dalam semesta kehidupan, termasuk di lingkungan keluarga dan pergulatan hidup dalam komunitas-masyarakat.

Pendidikan yang baik dapat menumbuhkan keunggulan dalam pengetahuan, keterampilan (hard skill, soft skill, life skill), dan karakter. Bagi para perintis kebangkitan dan kemerdekaan di masa lalu, sistem pendidikan kolonial itu bersifat paradoks. Di satu sisi bersifat segregatif dan diskriminatif. Di sini lain, mutu pendidikannya relatif baik kendati tak sebaik di tanah leluhur penjajahnya.

Keunggulan pengetahuan difasilitasi melalui penguatan kapasitas literasi, penguasaan berbagai bahasa asing, dan penyediaan bahan bacaan. Kendati Sutan Sjahrir pernah mengeluhkan tendensi kebanyakan kaum terpelajar yang lebih mengejar titel ketimbang kehidupan intelek, tingkat literasi dan erudisi kaum terpelajar masa itu cukup baik, apalagi dibandingkan kondisi hari ini.

Di sekolah, siswa diwajibkan membaca sejumlah buku disertai tugas mengarang. Kalau dibatasi pada buku sastra, di tingkat sekolah menengah (AMS), setiap siswa wajib membaca 25 buku (sastra) dengan judul berbeda selama masa tiga tahun. Setiap siswa wajib menulis satu karangan tiap minggu (Ismail, 2009).

Kapasitas literasi dan erudisi itu diperkuat oleh kehebatan penguasaan Bahasa asing, dimulai dari penggunaan Bahasa Belanda di tahun-tahun terakhir sekolah dasar, ditambah pilihan bahasa asing lain seiring peningkatan jenjang pendidikan.

Dengan menguasai berbagai bahasa Eropa, kaum terpelajar bisa mengakses karya para pemikir dunia dari tangan pertama, menjadikannya warga republik kepustakaan dunia yang menumbuhkan mentalitas kosmopolitan. Pemerintah Belanda juga mempromosikan budaya baca (sekaligus budaya tulis) bagi masyarakat umum dengan mendirikan rumah penerbitan.

Pada 1917, Balai Pustaka berdiri sebagai penyedia bahan bacaan murah bagi khalayak umum sekaligus wahana penggemblengan tradisi penulisan.

Keterbukaan kaum terpelajar pada pemikiran dan kemajuan dunia luar melambungkan ekspektasi mereka. Saat ekspektasi meningkat, mereka terbentur pada kenyataan penderitaan, keterbelakangan dan diskriminasi kaum terjajah. Dihadapkan pada kepemimpinan priayi tua, kaum inteligensia baru terbentur kejumudan dan feodalisme. Dihadapan rezim kolonial, mereka tak pernah diperlakukan setara dengan bangsa Eropa.

Bagi sekumpulan minoritas kreatif, perjuangan emansipasi membawa mereka memasuki rumah ”kaum mardika”. Untuk menjebol kejumudan dan kelembaman kaum tua, kaum mardika mencoba ”keluar dari kumpulannya sebagai binatang jalang” yang meninggalkan rumah ”bangsawan usul” (kehormatan karena keturunan), dengan mengerek panji ”bangsawan pikiran” (kehormatan karena kecerdasan dan keluasan pengetahuan).

Sementara itu, untuk melawan dominasi dan diskriminasi kolonial, mereka melalukan strategi ”mimikri”, mempelajari (meniru) subyek-subyek dan cara-cara yang diperoleh dari anasir kolonial untuk merobohkan rumah kolonial sendiri. Dalam pergulatan menemukan jati diri itulah minoritas kreatif memperoleh wahana penempaan karakter dan keterampilan. Kaum mardika menyadari bahwa untuk menjadi bangsa merdeka yang pertama kali harus ditumbuhkan adalah karakter jiwa merdeka.

Pendidikan harus menjadi wahana masyarakat belajar merdeka dengan kepercayaan diri tinggi, mampu berdiri sendiri, tak bergantung pada orang lain, dan bisa mengatur diri sendiri, tanpa terpeleset menjadi manusia individualistis.

Persemaian jiwa merdeka itu diaktualisasikan secara beragam di berbagai lembaga pendidikan, seperti di Perguruan Taman Siswa, INS Kayutanam, persekolahan Muhammadiyah, pesantren/ madrasah modern, dan dalam konsepsi koperasinya Bung Hatta.

Di luar dunia persekolahan, pembentukan karakter keberanian, tanggung jawab, amanah, etos kerja-kreatif dan mentalitas gotong royong juga dapat mereka tumbuhkan melalui keterlibatan dalam aktivitas kepanduan, perkumpulan, organisasi, dan gerakan sosial.

Kaum mardika juga bisa menemukan wahana pembinaan keterampilan. Tak terbatas pada hard skill yang bisa mereka peroleh melalui berbagai sekolah kejuruan dan perguruan tinggi kedokteran, keteknikan, hukum, dan humaniora.

Mereka juga belajar keterampilan berkomunikasi dengan akar rumput, mengembangkan ruang publik modern lewat pendirian rumah penerbitan, persvernakuler, jaringan sekolah dan madrasah, klub sosial bergaya Eropa, dan organisasi pergerakan politik.

Sebagai anak kandung Masyarakat majemuk, inteligensia Bumiputera menunjukkan perbedaan dalam persamaan. Konflik senantiasa hadir, tetapi bisa ditransendensikan oleh visi dan substansi bersama. Mereka mampu membentuk agenda setting dengan mengarusutamakan isu-isu strategis sebagai praktik diskursif yang dominan di ruang publik.

Ruang publik tak dibiarkan disesaki isu picisan bertabur skandal popularisme dan pencitraan, tetapi dikonstruksikan sebagai pembentuk visi transformasi. Wacana dominan di ruang publik secara cerdas dirancang untuk merespons tantangan zaman.

Mulai dari wacana kemajuan sejak akhir abad ke-19, wacana kebangkitan sejak awal abad ke-20, wacana kebangsaan Indonesia sejak awal 1920-an, wacana kemerdekaan sejak akhir 1920-an, diakhiri dengan wacana nation and character building, solidaritas internasional, dan penciptaan tatanan dunia baru pascakolonial.

Semua itu menyediakan prakondisi bagi tumbuhnya kepemimpinan berintegritas dan visioner. Mereka bukan kaum inteligensia yang hanya mendedikasikan diri pada pengetahuan dan kepentingan, tetapi juga pada nilai.

Kaum mardika dari berbagai latar aliran ideologi pada umumnya merupakan pemimpin yang bersahaja, amanah, tanggung jawab, penuh empati pada penderitaan rakyat. Terbayang Agus Salim yang senantiasa mengingatkan bahwa ”memimpin adalah menderita”. Terkenang pula Jenderal Sudirman yang setabah gembala berpesan, ”Jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita.”

Mereka juga para pemimpin dengan daya imajinasi dan antisipasi yang kuat. Sejak 1920-an, Tan Malaka, Bung Karno, Bung Hatta, dan yang lainnya sudah melontarkan visi kerja sama bangsa-bangsa terjajah. Mereka juga sudah bisa membayangkan bahwa kemerdekaan Indonesia akan mendapatkan momentumnya dalam kekosongan kekuasaan pasca-Perang Asia Timur Raya.

Untuk itu, mereka juga bisa berpikir strategis dengan berbagi peran antara yang memilih berkolaborasi dengan Jepang dan yang mengambil peran bawah tanah. Namun, perbedaan peran itu dipersatukan oleh tujuan bersama memperjuangkan kepentingan dan kemenangan Indonesia. Seperti disimpulkan George McT Kahin (1952), lewat kolaborasi itu, kekuasaan Jepang dan para pemimpin Indonesia pada mulanya didorong oleh kehendak untuk saling memanfaatkan. Namun, pada analisis terakhir, berkat kecerdasan dan Rahmat Ilahi, manfaat dan kemenangan lebih besar diraih pihak Indonesia.

Kebangkitan Baru

Sekarang, kita berdiri di ufuk milenium baru. Menyaksikan pergeseran kejayaan peradaban dan kemajuan negara-negara peserta KAA, pada era industri 4.0 dengan penetrasi teknologi digital yang merobohkan batas negara dan mempersengit kompetisi antar-bangsa, mengusik rasa hirau tentang daya saing Indonesia sebagai bangsa pelopor di pentas dunia zaman baru.

Kita harus membangunkan raksasa yang tidur lelap itu. Untuk merekonstruksi kebangkitan, para pemimpin dan minoritas kreatif harus bisa menemukan prinsip pokok yang bersifat konstan di balik perubahan instrumental, sebagai intisari budaya yang telah terbukti ampuh sepanjang masa. Prinsip pokok dimulai dari pemahaman bahwa pembangunan itu pada hakikatnya adalah gerak berkesinambungan dalam peningkatan mutu manusia dan peradaban.

Untuk itu, diperlukan sistem kepemimpinan kuat dengan komitmen besar pada pendidikan dan kesehatan. Hasil budidaya pendidikan yang dapat melahirkan manusia unggul dalam pengetahuan, keterampilan, dan karakter itu harus menemukan wahana aktualisasi dirinya dalam kehadiran sistem tata kelola politik yang menghargai partisipasi rakyat dengan prinsip meritokrasi yang menjamin kesetaraan politik dan kesempatan.

Tata kelola juga harus menjadi enabler bagi tata sejahtera perekonomian yang berkeadilan dan berkemakmuran, dengan kemampuan memberi nilai tambah melalui kreativitas-inovatif yang memungkinkan mobilitas vertikal yang luas dan inklusif. Semua itu bisa berjalan efektif manakala dilandasi semangat gotong royong yang konstruktif.

Bukan gotong-royong dalam keburukan, kesesatan, dan kezaliman yang membuat negara kekeluargaan bisa tergelincir menjadi negara kekuasaan.

Telah satu generasi berlalu sejak era Reformasi bergulir. Masih banyak hal yang belum tercapai, sementara banyak hal yang mengalami gerak mundur. Kepemimpinan baru harus memberikan landasan yang kuat bagi rekonstruksi kebangkitan. Apa pun yang terjadi, Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka secara formal telah dinyatakan sebagai pemenang pemilihan presiden. Tinggal bagaimana cara membereskan kerusakan dan mengakhirinya dengan husnu lkhatimah.

Prabowo sudah memasuki putaran akhir masa edarnya. Tak ada lagi yang harus ia kejar sebagai ambisi pribadi: kelimpahan harta, pangkat militer tertinggi, dan tahta kepresidenan telah diraihnya. Yang diperjuangkan tinggal warisan nama baik. Ia harus mengikuti jejak Abraham Lincoln (minus ditembak mati).

Lincoln berulangkali gagal dalam berbagai kontestasi pemilihan jabatan politik. Namun, tatkala akhirnya terpilih menjadi presiden AS, hanya selama empat tahun mengemban jabatannya, ia berhasil menorehkan tinta emas dalam sejarah bangsanya.

Lincoln memimpin AS mengarungi perang sipil, mempertahankan bangsa AS sebagai suatu kesatuan konstitusi, memainkan peran besar dalam penghapusan perbudakan, memperluas kekuasaan pemerintahan federal, dan memodernisasi perekonomian AS. Dengan legasinya yang sangat fundamental, ia dihormati sebagai salah seorang presiden AS terhebat sepanjang masa.

Prabowo diharapkan konsisten dengan janji mewakafkan diri bagi kebaikan bangsa. Namun, niat luhur saja tak cukup. Tidak bisa asal kerja, kerja, kerja, saja. Lyndon B Johnson mengingatkan, ”Tugas terberat seorang presiden bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar.”

Pemahaman terhadap semangat moral Konstitusi, cita negara Pancasila, dan pelajaran dari sejarah bisa memberi petunjuk tentang apa yang benar. Selebihnya, ia harus dikelilingi orang-orang kapabel berwawasan luas dan berintegritas. Hanya dengan itu, dia bisa memimpin rekonstruksi kebangkitan nasional. (*)