Memotret Kecemasan Paslon Menuju Pilpres 2024

Mengamati kontestasi debat yang berlangsung pada Ahad malam, tampak sekali sikap cemas ditunjukkan oleh Prabowo yang selalu menolak dan menyerang gagasan Anies dan lebih banyak idem terhadap pernyataan Ganjar.

Oleh: Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

DALAM setiap kontestasi setiap peserta pasti akan menyiapkan dirinya sebaik mungkin, tentu dengan harapan bahwa dirinyalah yang akan menang. Sikap reaktif, emosional dan menyerang adalah wujud sikap cemas yang berlebihan dan itu bisa kita saksikan dalam Debat Kedua Capres, Ahad, 7 Januari 2024.

Bila bicara pengalaman kalah maka Prabowo Subianto-lah capres yang paling berpengalaman, tiga kali pilpres berpasangan dengan siapapun, Prabowo selalu kalah. Tapi apakah kali ini Prabowo bisa siap kalah lagi?

Tentu tidak, dua kali kalah dalam pilpres ternyata tak membuat Prabowo betah di luar kekuasaan, kekalahan ketiga pada Pilpres 2019, meluluhkan niat Prabowo timbul-tenggelam bersama rakyat.

Pada 2019 Prabowo mengadu keberuntungan dan bergabung ke dalam kekuasaan, membantu Joko Widodo rivalnya dalam dua kali pilpres, 2014 dan 2019. Langkah yang dipilih Prabowo tentu merupakan langkah yang lazim dengan dalih agar pembelahan bangsa tak berlarut-larut dengan sebutan cebong dan kampret. Sebuah langkah yang dianggap baik, namun sayangnya langkah itu membuat Prabowo banyak ditinggalkan oleh orang-orang yang dulu bersamanya.

Melihat rekam jejak Prabowo pada 2024 ini, Prabowo menghadapi lawan tanding yang berlatar belakang sama, yaitu orang-orang yang pernah dibesarkan. Jokowi dan Anies Baswedan adalah orang-orang yang pernah dibesarkan oleh Prabowo, dua-duanya pernah diantarkan Prabowo untuk menjadi gubernur DKI, dan keduanya pernah menjadi rival Prabowo.

Hanya, bedanya Anies menuntaskan janjinya dengan Prabowo, Jokowi tidak. Di tengah perjalanan menjadi gubernur DKI, Jokowi mencapreskan dirinya melawan Prabowo. Keduanya terbukti menjadi pemenang.

Latar belakang yang sama itulah serta hasil yang didapatkan dalam pilpres 2014 dan 2019 itulah tentu membuat Prabowo hari ini tak siap kalah, apalagi kini Prabowo mendapat dukungan penuh dari Jokowi, bahkan tagline Prabowo di mana-mana "Wis Wayahe Prabowo". Situasi inilah yang membuat beban psikologis Prabowo sangat berat.

Beban berat psikologi tampak dari reaksi Prabowo terhadap Anies saat ini. Tidak ada yang baik tentang Anies, dan bahkan dalam beberapa kali menanggapi pernyataan Anies, Prabowo sangat emosional dan kehilangan kontrol. Kata "ndasmu" yang ditujukan kepada Anies di tengah sambutan di hadapan kader Gerindra, tertangkap publik sebagai ungkapan kegeraman.

Sikap Prabowo kepada Anies sangat berbeda dengan saat Prabowo menanggapi Ganjar Pranowo. Tehadap Anies, Prabowo sangat emosional.

Apa yang salah dari Anies, tentu tidak ada, hanya Anies dianggap salah kenapa sekarang melawan Prabowo? Inilah demokrasi yang harus dijunjung, sehingga tidak beralasan Prabowo memusuhi dan menyalahkan Anies.

Hanya ketakutan kalah itulah yang membuat Prabowo cemas dan reaksinya bisa dilihat bagaimana sikapnya terhadap Anies. Bukankah Plipres itu adalah ajang kontestasi demokrasi?

Anies tentu terlihat sedikit lebih ringan bebannya, sebagai penantang, Anies yang berpasangan dengan Muhaimin Iskandar merupakan kandidat paling memberi harapan kepada masyarakat. Dengan slogan perubahan, pasangan AMIN (Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar) ini lebih banyak mendapat reaksi positif dari masyarakat, meski sering kali survei menempatkan mereka pada posisi tidak menguntungkan. Sudah bisa ditebak tentu watak dari survei tersebut.

Trend Anies – Muhaimin, paslon nomor urut 1 ini mengalami realitas di lapangan yang sangat menakutkan, betapa tidak, model kampanye yang ditetapkan oleh keduanya selalu penuh sesak dihadiri massa meski tanpa iming-iming uang dan sembako. Kondisi ini tentu membuat paslon lain, utamanya paslon yang tidak siap kalah akan menanggung beban kecemasan yang tinggi, sehingga akan muncul reaksi yang melanggar dan menghalalkan segala cara.

Hal yang sama tentu juga dialami Ganjar yang berpasangan dengan Mahfud MD, terasa lebih ringan dan tentu juga menahan dendam, betapa tidak, dukungan Jokowi yang diharapkan Ganjar, ternyata dilabuhkan kepadanya, kandas dan dialihkan ke Prabowo.

Apalagi Prabowo juga mau menerima Gibran Rakabuming Raka, putera sulung Jokowi itu, sebagai wakilnya. Perasaan dendam ini yang akan membuat beban Ganjar sedikit lebih berat dibanding Anies. Ganjar tentu berharap ingin menunjukkan dirinya tanpa dukungan Jokowi, dia bisa menang. Perasaan inilah yang akan membuat beban Ganjar agak lebih berat, ditambah lagi trend Ganjar Mahfud cenderung menurun dan bahkan stagnan.

Antara Anies dan Ganjar tentu punya motivasi yang sama untuk mengalahkan Prabowo yang telah didukung penuh oleh Jokowi, Ganjar agak lebih rikuh karena Ganjar dan Mahfud adalah bagian dari pemerintahan Jokowi.

Berbeda dengan Anies yang bukan menjadi bagian dari Jokowi dan pemerintahan saat ini, lebih bebas dan lebih ringan. Beban yang bebas dan ringan itulah yang akan membuat manuver Anies lebih berisi dan hal hal baru yang memberi harapan. Rekam jejak Anies selama memimpin Jakarta adalah faktor lain yang membuatnya lebih mampu meyakinkan publik untuk memilihnya.

Motivasi perubahan yang ditawarkan paslon Amin hari-hari ini pada posisi yang sangat kuat, dengan harapan kemenangan tentu disematkan. Menyatunya semangat para pendukung dan relawan Amin di tengah realitas nyata yang terjadi, akan menjadi kekuatan dahsyat dan energi pemenangan yang sangat luar biasa, apalagi tanpa iming iming uang dan sembako rakyat rakyat dengan sukarela hadir.

Fenomena Amin adalah Fenomena Jokowi pada 2014 dan juga Fenomena SBY pada 2004, Fenomena yang menghasilkan kemenangan. Semoga ini menjadi kenyataan di tengah perilaku curang dan culas yang menodai demokrasi.

Mengamati kontestasi debat yang berlangsung pada Ahad malam, tampak sekali sikap cemas ditunjukkan oleh Prabowo yang selalu menolak dan menyerang gagasan Anies dan lebih banyak idem terhadap pernyataan Ganjar.

Anies terlihat lebih tenang dan bisa menahan diri sedang Ganjar terlihat santai dan netral. Sehingga debat Ahad malam bisa dikatakan sebagai head to head antara kecemasan dan ketenangan yang direpresentasikan oleh Prabowo dan Anies. Kita butuh pemimpin yang tenang, bukan pemimpin yang emosional. (*)