Mendebat Debat Capres di Luar Waktu Debat
Pertama, narasi dan gagasan. Kedua, emosinya. Ketiga, profilnya. Jika harus memilih, mana yang akan anda pilih secara objektif yang berkata santun persuasif atau keras luas atau menekan-nekan. Profil juga terkait hal hal fisik, usia, kesehatan, status, keluarga dll.
Oleh: Ahmad Dayan Lubis, Pemerhati Peradaban Politik, Tinggal di Medan
DEBAT itu pasti beda dengan diskusi sambil menyeruput kopi. Itu penting dimengerti, agar tidak ada tawaran yang justru menghilangkan hakikat debat.
Debat mengandalkan kata-kata, narasi, retorika, data, tentu saja gestur dan mimik. Waktunya itu terbatas. Orang yang terampil memadukan semua itu dan tepat menggunakan psikologi bahasa berpeluang menang debat.
Debat itu pertempuran tanpa senjata fisik. Sebab itu peserta debat yang memahami debat tidak tepat mengatakan kepada lawan debatnya, kamu hanya pintar ngomong dan bermain kata. Karena memang itulah senjatanya. Perlu diulang. Omonganlah senjata debat.
Itu sama saja dengan tentara yang mengatakan kepada tentara musuh, kamu pandainya menggunakan senjata, padahal lagi suasana pertempuran.
Namun debat sejatinya menguji pikiran. Dan, pikiran tentu tidak bisa diuji, jika tidak ada kemerdekaan mengungkapkan pikiran itu sendiri.
Karena itu, debat yang ideal adalah debat yang lenyap dari relasi dominasi kuasa. Jangan ada peserta yang merasa berkuasa, lebih dekat dengan penguasa atau argumentasinya subjektif belaka, seperti lebih tua dst.
Meminjam teori kritis Jurgen Habermas, ia berpendapat bahwa untuk menembus realitas maupun data empiris yang ada, maka diperlukan tiga hal yakni pengetahuan, ilmu, dan teknologi.
Pengetahuan adalah bentuk kesadaran manusia. Ilmu adalah pengetahuan yang sudah direfleksikan secara metodologi.
Debat dari perspektif ini adalah bagaimana mengungkapkan kesadaran manusia secara metodologis dan dengan memanfaatkan teknologi demi kemajuan manusia.
Karena itu, debat yang ada di antara anggotanya merasa lebih, dia akan tertutup terhadap fakta dan data jika berbeda dengan yang dia punya.
Akhirnya debat terhenti pada saya benar, kamu salah dst. Dengan kata lain, debat bukan lagi ajang melahirkan gagasan yang lebih baik ke masa depan tentang nasib sebuah bangsa yang lebih baik, melainkan tentang saya tersinggung, datamu salah, bahkan "kamu tahu apa".
Jika debat sudah ada di level ini, maka yang berdebat bukan lagi pikiran, melainkan mulut. Karena itu, setiap ada momen yang pas, mulut akan berujar tentang narasi-narasi yang membusukkan.
Situasi ini juga menjadi atalase bagi para pecinta kemanusiaan yang hakiki untuk menandai satu produk pikiran serta kemasannya. Apakah layak dibela, diperjuangkan, dan masih diharapkan kemenangannya.
Jika ada tokoh yang tidak mampu mengombinasikan antara pengetahuan, ilmu, dan teknologi dengan baik, maka kuranglah syaratnya untuk bisa dipercaya.
Daniel Goleman mengenalkan kecerdasan emosional secara lebih baik dari sebelumnya. Ia berpendapat betapa urgennya kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional yaitu kemampuan seseorang mengatur emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with inteligence).
Ini syarat penting bagi seorang pemimpin. Selain tentunya yang tidak kalah juga dan sama pentingnya kecerdasan intelektual dan spritual.
Debat calon presiden seperti yang disaksikan jutaan rakyat adalah atalase besar, tempat rakyat bisa melihat dan memastikan.
Pertama, narasi dan gagasan. Kedua, emosinya. Ketiga, profilnya. Jika harus memilih, mana yang akan anda pilih secara objektif yang berkata santun persuasif atau keras luas atau menekan-nekan. Profil juga terkait hal hal fisik, usia, kesehatan, status, keluarga dll.
Kita memiliki kebebasan. Pun kesadaran dan keberanian mengoreksi apapun yang pernah kita putuskan. Atau berpindah pilihan.
Termasuk berani membebaskan diri untuk keluar dari sebuah kendaraan yang katanya kita akan dibawa kepada kemajuan, ternyata sopirnya membawa kita mundur. (*)