Mengapa "Indonesia Makmur" Hanya Mimpi?
Karenanya, hakikat perjuangan memakmurkan seluruh warganegara adalah melawan praktik penipuan (elit), pembodohan (ekonom), penindasan (kultur), penyelundupan dan pemiskinan (lembaga), demi keadilan dan kemakmuran bersama dalam teks dan konteks (sikon apapun).
Oleh: Yudhie Haryono, CEO Nusantara Centre
MAKMUR itu apa? Mengapa tak banyak jumpa pemikir (ekonom) kemakmuran bersama di sekitar kita? Inilah dua pertanyaan penting yang akhir-akhir ini mengemuka.
Pertanyaan-pertanyaan itu terus hadir di kelas-kelas ekonomi politik: baik di kampus maupun forum bebas. Hal ini mungkin karena banyak orang mulai yakin bahwa praktik oligarki, kartel dan kleptokrasi yang predatoris dan memiskinkan sebagian besar rakyat akan berlangsung lama.
Hal ini juga disebabkan ekonom kita mati rasa, mati akal soal "kemakmuran bersama". Nalar mereka tak cukup kuat, tak cukup jenius dalam menemukan solusi dan jawabannya. Berpuluh tahun mereka berkuasa, kemakmuran perorangan yang ada, kemakmuran golongan yang mengemuka. Ini adalah dosa terbesar mereka: bangga jadi ekonom anti Pancasila.
Menurut Douglass C. North (1920-2015), "kemakmuran suatu negara membutuhkan pikiran yang terbuka, ekonom handal, mental penghormatan terhadap supremasi hukum, rasa saling percaya dan berbagai lembaga formal dan informal yang kuat, fokus plus serius."
Kelembagaan ekonomi dan ekonom handal menjadi penting agar tidak mengabaikan faktor-faktor non ekonomi (nilai-nilai, budaya dan rule of life) dalam aktivitas masyarakatnya. Mengapa begitu? Karena sudah banyak yang menyadari bahwa kegagalan menghadirkan kemakmuran pada umumnya disebabkan oleh kegagalan institusi yang kredibel dan tidak kompetennya para ekonom.
Sungguh, keduanya penting agar kita mampu merumuskan hubungan resiprokal dan interaksi antara institusi dan ekonomi: bagaimana institusi memengaruhi fungsi, kinerja dan pengembangan ekonomi serta, pada gilirannya, bagaimana perubahan dalam ekonomi memengaruhi institusi (resiprokal).
Sayangnya, kelembagaan dan agensi kita gagal menjadi dua yang menginspirasi. Pada lembaga terjerat birokratisme dan feodalisme. Pada agensinya terjerat kemiskinan narasi dan minus kejeniusan. Singkatnya, lembaga dan ekonom kita bukan entitas jenius-inovatif. Kehadiran mereka tidak memotivasi dan menjadi pencerah sekitarnya.
Sebaliknya, mereka berpikir dan memimpin dengan memberi contoh buruk dan tertutup: anti inovasi. Pada tangan-tangan kotor milik merekalah, nasib bangsa ditentukan dan remuk nasibnya. Orang-orang seperti merekalah yang membuat Indonesia hanya punya mimpi sejahtera bersama, tetapi hasilnya kere serta paria bersama.
Kaum miskin dan kelas menengah per 2014 sampai kini ternyata lebih banyak fokus memenuhi kebutuhan dasar makanan. Dalam sepuluh tahun terakhir, pengeluaran mereka untuk makanan hampir 55%.
Berdasarkan data BPS, pada 2014, pengeluaran untuk makanan pada mereka sekitar 28,48%. Tahun ini mengalami kenaikan menjadi hampir 55%. Bagaimana mereka mau makmur jika tak bisa menabung, berinvestasi dan berproduksi serta berekspansi?
Kembali ke pertanyaan awal dalam tulisan ini apa itu makmur? Kita bisa menjawabnya dengan mendefinisikan bahwa makmur berarti sejahtera lahir batin, serba keberlimpahan, dan tidak kekurangan apapun.
Sebuah keadaan minimal yang mencukupi kebutuhan dasar dan menengah di mana keadaan itu kita merasa puas, tentram plus bahagia.
Karenanya, hakikat perjuangan memakmurkan seluruh warganegara adalah melawan praktik penipuan (elit), pembodohan (ekonom), penindasan (kultur), penyelundupan dan pemiskinan (lembaga), demi keadilan dan kemakmuran bersama dalam teks dan konteks (sikon apapun).
Maka, gagah dan fokuslah agar harkat dan martabat kita tegak berdiri berdaulat dan mandiri setiap saat. Jika tidak, "kemakmuran bersama hanya mimpi bin ilusi". (*)