Mengawal Angket DPR dan Pansus DPD

Syahwat mempertahankan kekuasaan dengan model politbiro tentu saja akan menambah derita sakaratul maut demokrasi. Pada waktu bersamaan, juga mengancam gol indah hak angket DPR dan Pansus DPD.

Oleh: Tamsil Linrung, Anggota DPD RI

DEMOKRASI sedang sekarat, diracuni sikap culas penguasa. Ini kali kedua pemilihan umum (pemilu) diperdaya kecurangan. Keduanya, pemilu 2019 dan 2024, terjadi di bawah rezim Joko Widodo.

Institusi demokrasi tak lebih sebagai bedak, sebagai topeng demokrasi. Institusi itu ada, tetapi tidak berjiwa. Jiwanya digenggam penguasa.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memble, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berat sebelah, dan Mahkamah Konstitusi (MK) melahirkan anak haram konstitusi melalui putusan cacat hukum dan melanggar etik berat.

Pada ketiga lembaga itulah demokrasi pemilu seharusnya bertumbuh. Namun, ketiganya justru menjadi bagian dari persoalan.

Keadilan selalu menemukan jalannya sendiri, begitu rumusnya. Kini, jalan yang dituju berbelok ke Senayan, menuju gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Selasa, 5 Maret 2024, tiga fraksi telah mengajukan hak angket kecurangan Pilpres 2024 dalam Sidang Paripurna DPR. Pada hari yang sama, sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipimpin langsung Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti juga menyetujui pembentukan Panitia Khusus Kecurangan Pemilu.

Dua langkah politik itu dipandang sinis oleh mereka yang menolak. Katanya, akan sia-sia belaka karena tidak akan mempengaruhi hasil pemilu.

Tetapi ini bukan soal menang – kalah. Ini tentang memperjuangkan kebenaran. Jadi, jelas, sudut pandangnya beda.

Usul Pansus Kecurangan Pemilu DPD saya ajukan karena kecurangan Pemilu tampak terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Skala persoalannya bersifat nasional dan multikompleks.

Problem itu membuat pengawasan DPD terhadap pelaksanaan Pemilu 2024 tidak cukup hanya dilakukan oleh Komite I DPD sebagai komite yang selama ini menggawangi pemilu. Perlu kerja bersama lintas komite.

Rakyat Bukan Objek

Sebagai pihak yang juga dirugikan, masyarakat sebaiknya mengambil peran penting dalam dua langkah politik wakil-wakil mereka di lembaga legislatif itu. Masyarakat jangan hanya menjadi objek, tetapi subjek perubahan.

Parlemen Senayan harus didukung parlemen jalanan. Rakyat harus memelototi sejauh mana perkembangan pelaksanaan Hak Angket DPR dan Pansus DPD. Masyarakat sipil juga harus berkonsolidasi satu sama lain.

Ini saatnya mahasiswa, guru besar, aktivis lembaga swadaya masyarakat, dan rakyat kebanyakan menunjukkan jati diri sejatinya. Bahwa kedaulatan ada di tangan mereka, bukan digenggaman para elit politik yang dikuasai syahwat berkuasa.

Catat anggota dewan yang istiqamah, garis bawahi yang berkhianat. Dengungkan mereka yang konsisten, viralkan yang membelot. Kala hukum tak lagi sepenuhnya bekerja, biarkan sanksi sosial ikut menghakimi.

Itu penting, karena pihak yang menolak langkah wakil-wakil rakyat menyelidiki kecurangan pemilu didukung sumber daya lengkap. Ya jaringan oligarki, kekuasaan, atau finansial yang konon tidak terbatas.

Tidak menutup kemungkinan ada langkah penggembosan. Dengan jabatan, bargaining kasus, atau fulus. Tiga pedang jahat kekuasaan ini telah menjadi bisik-bisik di mana-mana.

Viva.co.id, misalnya, merilis video yang mempertanyakan bisik-bisik politik tawaran Rp 10 miliar per anggota dewan. Angka yang tidak relevan ketimbang harga diri, demokrasi, dan kebenaran.

Terbaru, isu koalisi besar berjangka panjang hingga 20 tahun ke depan. Konon, seluruh partai politik yang ada akan dimasukkan dalam koalisi besar ini. Sifatnya permanen.

Adalah Sudirman Said yang membuka isu itu ke publik. Koalisi besar dan permanen ini hanya bisa menyisakan satu-dua partai saja sebagai oposisi. Lagi-lagi sebagai topeng. Topeng bahwa negara masih menganut demokrasi serta check and balances.

Betul kata M. Said Didu. Koalisi besar itu mirip politbiro di China sana. Anggota “politbiro” adalah para Ketua Umum Parpol, sementara pimpinannya, dugaan Said, adalah Jokowi.

Syahwat mempertahankan kekuasaan dengan model politbiro tentu saja akan menambah derita sakaratul maut demokrasi. Pada waktu bersamaan, juga mengancam gol indah hak angket DPR dan Pansus DPD.

Berjangka panjang, permanen, dan berkuasa, tiga pokok soal politbiro ini bakal menggoda Parpol dan Senator. Perlu penetrasi pengawalan rakyat yang lebih kuat.

Jika dua langkah politik itu pada akhirnya mogok di tengah jalan, rakyatlah yang harus mengambil alih komando perjuangan.

Turun ke jalan, kibarkan panji-panji reformasi jilid dua. Sebagai bagian dari rakyat, saya pastikan akan berada di barisan itu. (*)