Mengikis Kenegarawanan
Kita berharap kepada Prabowo sebagai presiden untuk menjadi presiden bagi semua, sehingga sikap netral, menjauhi kesan keberpihakan harus dihindari. Karena di saat inilah di tangan beliau, marwah kepresidenan dan kenegarawanan harus dijaga.
Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya
SAAT masa kepresidenannya berakhir, seorang pemimpin bangsa umumnya diharapkan untuk menjaga jarak dari politik praktis, menjadi negarawan yang dihormati, serta menjaga netralitas. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat menyaksikan bagaimana Presiden Joko Widodo, yang masa jabatannya telah selesai, justru aktif dalam ranah politik praktis, terutama menjelang Pilkada 2024 dan Pemilu 2029.
Langkah ini dipandang sebagai "cawe-cawe" atau upaya memengaruhi proses politik secara langsung – sesuatu yang mengundang sorotan tajam karena terkesan bertentangan dengan ekspektasi netralitas seorang mantan presiden.
Menghargai dan menghormati mantan presiden oleh presiden terpilih adalah hal yang wajar terjadi, karena memang tradisi seperti ini harus dirawat dan dijunjung tinggi. Hal inilah yang terjadi pada presiden terpilih Prabowo Subianto, ketika menyambangi Jokowi di Solo.
Namun menjadi sesuatu yang patut juga dipertanyakan, ketika frekwensi Prabowo ke Solo boleh dikatakan cukup sering, mengapa ini terjadi? Ada hal apa yang harus dikoordinasikan, sehingga memerlukan “koordinasi” dengan Jokowi?
Inilah yang menjadi pertanyaan publik yang beredar di berbagai linimasa media sosial. Hal ini menjadi kekhawatiran publik yang akan merugikan Prabowo dikemudian hari, apalagi saat ini, Jokowi juga terang-terangan cawe cawe dalam Pilgub Jawa Tengah. . Cawe-cawe Jokowi ini menimbulkan tanda tanya besar. Seorang mantan presiden idealnya itu berperan sebagai penjaga moral dan inspirasi, bukan sebagai pelaku politik yang berat sebelah.
Ketika Jokowi menunjukkan keterlibatan aktif dalam mendukung atau memengaruhi kandidat tertentu, ia justru mempertaruhkan reputasi yang telah dibangun selama dua periode masa jabatannya.
Tindakan ini tidak hanya mengaburkan peran kenegarawanan yang seharusnya ia emban, tetapi juga menimbulkan kesan bahwa ia masih berupaya menjaga pengaruhnya melalui jalur politik praktis. Seharusnya, seorang mantan pemimpin menunjukkan sikap yang mengedepankan kepentingan negara, bukan golongan atau calon tertentu.
Ironisnya, langkah ini ternyata diikuti oleh Prabowo, presiden penggantinya, yang tampaknya memilih jalan serupa dengan mendukung kandidat tertentu dalam Pilkada DKI Jakarta.
Sebagai presiden yang sedang menjabat, Prabowo seharusnya lebih menjaga peran sebagai pemimpin nasional yang mengayomi semua pihak, tidak memihak, dan memberi ruang yang adil bagi seluruh kandidat untuk berkompetisi.
Namun, dengan menemui calon pilihannya secara terbuka, Prabowo justru mengaburkan peran seorang presiden sebagai pelindung demokrasi dan netralitas. Langkah tersebut tidak hanya mengisyaratkan adanya kepentingan politik tertentu, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi yang adil.
Dua contoh ini memperlihatkan bahwa tradisi kenegarawanan di Indonesia sedang terkikis. Cawe-cawe Jokowi setelah lengser dan Prabowo sebagai presiden yang aktif mengindikasikan bahwa jabatan tertinggi di Indonesia kini semakin dilihat sebagai alat politik jangka pendek, bukan sebagai mandat luhur untuk mengabdi kepada rakyat.
Ketika seorang mantan presiden terkesan masih terlibat dalam politik praktis, dan seorang presiden aktif menunjukkan preferensi politik, publik dapat meragukan apakah proses demokrasi benar-benar berjalan dengan bebas dan adil.
Keterlibatan Jokowi dan Prabowo dalam mendukung kandidat tertentu justru merendahkan martabat kepresidenan yang seharusnya menjadi teladan dalam menjunjung tinggi etika dan integritas politik. Langkah ini menunjukkan bahwa posisi tertinggi di negara ini bisa dengan mudah dicampuri oleh kepentingan partisan, baik dari pemimpin yang telah selesai masa jabatannya maupun yang masih aktif.
Sebagai mantan dan pemimpin yang aktif, Jokowi dan Prabowo seharusnya menjaga netralitas demi menjaga martabat posisi yang mereka pegang. Jika para pemimpin terus mengambil langkah cawe-cawe dalam politik praktis, sulit untuk menghindari kesan bahwa kekuasaan tertinggi hanya sekadar alat untuk melanggengkan pengaruh politik.
Idealnya, seorang negarawan itu mengedepankan prinsip demi kepentingan bangsa, bukan ambisi pribadi atau kelompok.
Kita berharap kepada Prabowo sebagai presiden untuk menjadi presiden bagi semua, sehingga sikap netral, menjauhi kesan keberpihakan harus dihindari. Karena di saat inilah di tangan beliau, marwah kepresidenan dan kenegarawanan harus dijaga.
Kalau tidak, kita akan mengalami keterpurukan demokrasi, setelah 10 tahun dibangkrutkan oleh Jokowi. (*)