Meski Dikawal Jet Tempur: Tetap Kejar Jokowi
Simbol kekesalan rakyat atas kesewenang-wenangan Raja Jawa Mulyono adalah "tali gantung". Artinya hukum maksimal. Betapa dahsyat daya rusak dan daya rampok Jokowi atas negara. Luar biasa, hanya dalam 10 tahun saja.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
HEBAT, lucu, prihatin mengikuti perjalanan Joko Widodo pulang ke Solo. Menggunakan Boeing 737 milik TNI AU bersama Kapolri dan Panglima TNI, Jokowi dan Iriana pulang kampung. Dikawal oleh 8 jet tempur. Empat di kiri empat lain di kanan. Tentu berbiaya miliaran untuk sekedar mengantar itu. Budaya boros memang sudah melekat dengan rezim Jokowi.
Dari aspek publikasi, mungkin pesan yang ingin disampaikan adalah Jokowi itu masih kuat dan dihormati, sehingga pengawalan dilakukan sedemikian rupa. Sebenarnya di sisi lain cara pulang seperti ini jelas menunjukkan bahwa Jokowi itu penakut. Tidak berani pulang sendiri atau diantar sekedarnya. Bagusnya diantar oleh para tukang kayu pembuat meubel. Simbolik dari asal meubel kembali ke meubel.
Seluruh rakyat tahu bahwa Jokowi itu bukan tipe apa adanya melainkan suka pada polesan atau pencitraan. Penyambutan meriah di Kota Solo juga berdasarkan perintah dan rekayasa seolah-olah Jokowi itu masih dicintai oleh rakyat. Ia pura-pura tidak peduli bahwa keluarganya baru saja disoraki saat Paripurna MPR. Rakyat tidak suka kosmetik.
Jokowi sesungguhnya sedang menghadapi hujatan dan tuntutan rakyat. Ia diminta untuk segera mempertanggungjawaban atas berbagai kebijakan dan tindakan yang merugikan dan menyakiti rakyat. Kerja cawe-cawe dalam menyukseskan Gibran dan dosa-dosa politik yang dibuat Jokowi selama 10 tahun memerintah.
Sungguh hancur sistem ketatanegaraan Indonesia, jika seorang Presiden memerintah tanpa ada ruang pertangjawaban. Abuse of power yang dibuka pintunya oleh politik dan hukum. Tentu ideologi dan konstitusi tidak mengarahkan pada perilaku atau tindakan sewenang-wenang seorang Presiden.
Jokowi ini telah menumpuk dosa-dosa politiknya. Dari korupsi, pelanggaran hak asasi, hutang luar negeri, pengkhiatan atas kedaulatan ibu pertiwi, penjajahan atas nama investasi, hingga politik dinasti. Hukum mudah untuk merinci bukti ketika proses berjalan. Mulai penyelidikan, penyidikan hingga peradilan.
Rakyat tidak akan takut dengan pengawalan pesawat tempur hingga mendarat di Solo. Justru saat ia menginjakkan kaki di rumah hadiah negara 1,2 hektar yang sedang dibangun istana, di situ dapat dimulai pengusutan. BPK, KPK, Kejaksaan Agung mesti mulai bekerja. Jokowi bersama Menkeu RI telah membuat aturan untuk dirinya agar dapat melakukan korupsi.
Prabowo Subianto harus memimpin gerakan pembersihan negara dari korupsi. Mudah jika dimulai dari Jokowi. Jika benar pidato atau ucapannya bahwa tidak ada seorangpun yang kebal hukum atau kepentingan rakyat adalah segala-galanya maka buktikan Prabowo tidak melindungi siapapun untuk proses hukum. Termasuk atau khususnya Jokowi.
Jika masih melindungi atau menghalang-halangi maka Prabowo bisa terancam obstruction of justice atau mendapat julukan Presiden Omdo atau Presiden Omde. Cuma omong doang dan omong gede. Jokowi dan keluarga termasuk Gibran Rakabuming Raka layak untuk diadili.
Dugaan korupsi bersanksi 20 tahun bahkan mati, sementara politik dinasti 12 tahun bui, artinya secara hukum Jokowi sudah bisa ditangkap dan ditahan. Belum lagi dugaan kriminal lain yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan. Rakyat sudah menginventarisasi, Penyidik tinggal membuat narasi dan menghimpun bukti.
Prabowo harus lepaskan Jokowi dan keluarga untuk proses hukum. Jokowi, Iriana, Gibran dan Anwar Usman sudah diadukan ke Bareskrim Mabes Polri, sementara Gibran dan adiknya Kaesang Pangarep berkas ada di KPK. Bukankah tidak ada yang kebal hukum, Pak?
Simbol kekesalan rakyat atas kesewenang-wenangan Raja Jawa Mulyono adalah "tali gantung". Artinya hukum maksimal. Betapa dahsyat daya rusak dan daya rampok Jokowi atas negara. Luar biasa, hanya dalam 10 tahun saja.
Tangkap, adili dan gantung Jokowi. Meski dikawal oleh delapan jet tempur, tetap kejar Jokowi. Tidak seorangpun kebal hukum! (*)