Mulyono Gebuk Megawati di Jateng, Anies Gebuk Mulyono di Jakarta

Di sini juga berhimpun orang-orang tertindas yang hak dan hati nuraninya coba ditindas Mulyono melalui penyingkiran Anies dari arena kontestasi. Dus, kemenangan Pram – Rano ini merupakan ungkapan protes rakyat atas cawe-cawe Mulyono.

Oleh: Smith Alhadar, Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

PROVINSI Jawa Tengah adalah wilayah Banteng sejak era Presiden Soekarno, tokoh kharismatik sekaligus ayahanda dari Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Selama kontestasi elektoral pasca Orde Baru, wilayah dengan pemilih terbesar ketiga setelah Jawa Barat dan Jawa Timur itu, PDI-P selalu tak tertandingi.

Dalam pemilihan legislatif nasional pada Februari silam, PDI-P juga merupakan parpol pemenang. Tapi dalam Pilkada Jawa Tengah kemarin, 27 November, pasangan yang diusung PDI-P, Andika –Hendrar, kalah telak dari Luthfi – Taj Yasin yang didukung Koalisi Indonesia Maju Plus rekayasa Mulyono.

Ini mengungkapkan superioritas Mulyono atas Megawati. Dus, Mulyono berhasil membuktikan bahwa pernyataan Megawati “Mulyono tak ada apa-apanya tanpa PDI-P” hanyalah ilusi tanpa rationale politik. Dan kita harus akui bahwa peran Mulyono dalam kekalahan Andika – Hendrar tak dapat diingkari.

Mulyono kelahiran Solo, Jawa Tengah dan pernah menjadi walikota di sana selama dua periode. Putera sulungnya, Fufufafa, juga pernah menduduki jabatan itu sebelum menjadi Wapres. Dan, selama kampanye Pilkada Jateng, Mulyono turun gunung membela Luthfi – Taj Yasin. Ironisnya, Mulyono dan Fufufafa justru dibesarkan oleh Megawati.

Tapi effect Mulyono bukan hanya di Jateng, melainkan nyaris di semua daerah. Bahkan, di Provinsi Banten, pasangan Airin Rachmi – Ade Sumardi dukungan Golkar – PDI-P ditekuk pasangan Andra –Soni dari KIM Plus. Airin adalah politisi darah biru Banten yang sangat populer. Sedangkan Andra adalah kader PDI-P.

Tapi, pada Pilkada Jakarta, secara tak terduga, pasangan Ridwan Kamil – Suswono yang diusung KIM Plus ditundukkan secara memalukan oleh pasangan Pramono Anung – Rano Karno (dukungan PDI-P) yang tidak populer. KIM Plus adalah gabungan parpol-parpol besar (Golkar, Gerindra, PKS, Demokrat, PKB, PAN), khususnya PKS yang merupakan pemenang pemilu legislatif.

Memang saya sedang berbicara tentang hasil quick count Pilkada Jakarta di mana hasilnya belum bisa dijadikan pegangan. Apalagi, hasil quick count ini belum memastikan Pramono – Rano menang dalam satu putaran karena Pilkada Jakarta mengharuskan pemenang memperoleh suara 50%+1.

Tapi kalaupun harus dua putaran, Pramono – Rano yang hanya didukung PDI-P tetap akan menang berhubung suara sementara yang diperoleh Pramono – Rano merentang antara 49,8%-50,7%. Sementara Ridwan – Suswono mendapat 40,7%-41%. Lebih dari 10% dikantongi Dharma – Kun.

Kalau kita berasumsi pada putaran kedua – kalau memang pilkada Jakarta harus dilanjutkan pada putaran kedua – suara Dharma – Kun terdistribusi ke kedua kubu, maka Pramono – Rano menang karena mereka hanya butuh 1-2% suara untuk menang.

Bahkan, Mulyono harus terbang ke Jakarta untuk berkampanye bagi Ridwan – Suswono. Dan pasti Fufufafa ikut mengimbau warga Jakarta mencoblos Ridwan – Suswono. Presiden Prabowo Subianto atas nama Ketum Gerindra mengedarkan surat imbauan agar warga memilih pasangan itu.

Sementara Megawati tidak turun berkampanye untuk Pramono – Rano. Bagaimana menjelaskan kemenangan Pramono – Rano yang dikeroyok? Bahkan, DPD FPI yang punya basis kuat di Jakarta ikut mendukung Ridwan – Suswono?

Sebagaimana di daerah lainnya, banyak variabel yang menentukan kemenangan pasangan calon. Walakin, bila Mulyono adalah decisive variable dalam kemenangan Luthfi – Taj Yasin di Jateng, maka Anies Baswedan adalah decisive variable dalam kemenangan Pramono – Rano di Jakarta.

Kalau kita membuang variabel Anies, bahwa kemenangan Pramono – Rano tak bisa dijelaskan, sebagaimana kita tak dapat menjelaskan kemenangan Luthfi – Taj Yasin tanpa variabel Mulyono. Banyak orang menyebut Ahok effect juga berperan dalam kemenangan Pramono – Rano, tapi – kalaupun ada benarnya – Ahok bukan decisive variable.

Ini karena, sebagaimana dilaporkan Kompas edisi hari ini (28 November), Ridwan – Suswono bisa menang di Jakarta Utara dan Jakarta Pusat, adalah basis pendukung Ahok dan Partai Solidaritas Indonesia. Sementara Pramono – Rano menang besar di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan, basis pendukung FPI dan PKS. Hal ini, bagi saya, memperkuat argumen bahwa Anies-lah penentu dari kemenangan Pramono – Rano.

Fakta bahwa Pramono – Rano mengunjungi rumah Anies menunjukkan adanya kesadaran mereka bahwa dukungan Anies itu penting. Fakta lain, Megawati pernah mempertimbangkan dengan serius pencalonan Anies sebelum dibatalkan secara mengejutkan pada menit-menit terakhir.

Memang Anies Baswedan adalah tokoh paling populer di Jakarta yang pernah ia pimpin selama lima tahun (2017-2022). Di Pilgub 2017, Anies mengalahkan Agus Harimurti Yudhono (Ketum Demokrat) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang diusung PDI-P bersama Golkar, Nasdem, PKB, dan PPP.

Selama memimpin Jakarta pun, Anies meninggalkan legasi positif, baik dari sisi infrastruktur, sosial, maupun ekonomi. Kala itu, PDI-P sangat resisten terhadap kebijakan Anies sehingga populeritasnya merosot.

Apa yang menyebabkan Anies meng-endorse Pramono – Rano? Sebagaimana video “kampanye”-nya, Anies mengatakan ia mengenal Pramono sejak 1990-an. Suatu waktu, Anies menemani Pram di RS karena istri Pram melahirkan. Pram juga dikatakan tokoh pekerja keras, disiplin, dan punya kapasitas memimpin yang mumpuni.

Toh, Anies pernah bersama Pram di Kabinet Indonesia Maju jilid I. Artinya, Pram bukan bagian dari Mulyono kendati ia duduk di kabinet Mulyono selama sepuluh tahun. Sebagai kader PDI-P yang amanah dan istiqamah, ia harus bertahan dalam pemerintahan atas perintah Megawati untuk tidak mundur. Untuk dukungannya, Anies meminta Pram membela rakyat kecil.

Lebih daripada itu, Anies hendak membuyarkan skanerio Mulyono di Jakarta. Jangan mengira jika Mulyono sudah “habis” seiring dengan berakhir masa jabatannya. Ia masih berpengaruh di Kabinet Merah Putih di mana para Menteri loyalisnya masih bekerja untuk melayani kepentingan keluarga, kroni-kroni, dan oligarki.

Pasti Anies tahu, setidaknya dia berharap, Pram – Rano merupakan arus balik kubu Mulyono ketika Prabowo tak dapat diharap melahirkan perubahan. Terlihat Prabowo cenderung memelihara status quo yang bermandikan residu Mulyono. Tak kurang penting lagi, dengan menundukkan Mulyono di Jakarta – kota yang menjadi kiblat politik nasional dan internasional – Anies menyelamatkan muka Megawati yang babak belur “digebuk” Mulyono.

Sebagai tambahan, hasil Pilkada Jakarta mengungkapkan bahwa akal sehat dan nurani Indonesia tidak mati. Jakarta adalah simbol intelektualitas Indonesia karena di kota ini jumlah kaum terpelajar berada jauh di atas kota lain.

Di sini juga berhimpun orang-orang tertindas yang hak dan hati nuraninya coba ditindas Mulyono melalui penyingkiran Anies dari arena kontestasi. Dus, kemenangan Pram – Rano ini merupakan ungkapan protes rakyat atas cawe-cawe Mulyono.

Jakarta juga adalah miniatur Indonesia, melting pot di mana aspirasi majemuk di negara yang sangat plural ini – budaya, agama, sosial, politik, dan ekonomi – berdiri tegak bisa menghadang kekuatan jahat yang berpotensi menghancurkannya. (*)