Pancasila Sakti Vs Pancasila Sontoloyo
Pengentasan kemiskinan telah semakin jauh dari keberhasilan. Sementara itu segelintir orang dengan gagahnya melakukan korupsi dalam skala ratusan triliun rupiah, seperti timah, nikel, ilegal sawit, emas, minyak goreng, dan korupsi sektor infrastruktur.
Oleh: Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
PADA hari lahirnya Pancasila, versi Bung Karno, 1 Juni (Sabtu, 1 Juni 2024), saya, Jumhur Hidayat dan Rocky Gerung berkesempatan memberikan ceramah di Mataram, Lombok, pada Forum NGO se-NTB yang diselenggarakan Ali Bin Dahlan Center dan Yayasan Swadaya Membangun.
Rocky yang datang terlambat dari Lembata, NTT, karena terjadi erupsi gunung di sana, tidak bisa menemani Saya dan Jumhur ke Mandalika, untuk menghadiri pembentukan ranting AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria), ranting Mandalika, yang terdiri dari masyarakat korban penggusuran.
Kedua acara ini telah membuat renungan dalam bagi saya (tentunya bagi Jumhur dan Rocky juga) betapa NGO (LSM) yang dulu subur berkembang di era Pak Harto, sebagai mitra maupun kritikus pembangunan, yang selama ini "hilang" harus dibangkitkan kembali. Agar negara dapat dikontrol. Negara untuk siapa?
Pada era pak Harto, dengan semboyan "Politik No, Pembangunan Yes", negara dan kepala negara, serta para menteri, adalah manusia-manusia yang mempunyai dedikasi tinggi pada pembangunan, baik ideologi, orientasi, maupun teknokrasi. Otoritarianisme yang menyertai dan mengawal cita-cita pembangunan kala itu berbahaya dalam implementasi, sehingga Suharto, sang presiden, dan para donor asing, mendorong munculnya NGO untuk mengontrol pembangunan tersebut.
Hubungan NGO dan tokoh-tokohnya, seperti Adi Sasono, Bambang Ismawan, Kartjono, Dawam Rahardjo, Gus Dur, Buyung Nasution, dlsb., dibenci sekaligus dicintai pemerintah. Dibenci karena mengkritik, dicintai karena kritikannya seringkali memberi "feedback" bagi maksimasi keberhasilan pembangunan yang tepat sasaran.
Pada era sekarang ini, khususnya era Joko Widodo, negara dan kepala negara serta menteri-menterinya hampir tidak mempunyai orientasi pembangunan untuk rakyatnya. Pembangunan infrastruktur, misalnya, lebih ditujukan pada orientasi bisnis. Negara telah menjadi proxi kapitalis, seperti kata kaum Marxis, yang digunakan untuk memperkuat cengkeraman kaum kapitalis dalam memutar uang mereka.
Pada era Suharto, pola pembangunan industri, misalnya, ditujukan untuk mendorong Indonesia dari posisi importir menjadi sebagian impor (subtitusi impor) dan akhirnya ekspor, untuk produk-produk yang direlokasi dari negara maju. Kemudian berkembang menjadi industri berbasis teknologi tinggi, seperti kapal laut dan pesawat terbang. Paralel dengan itu, strategi industrialisasi pedesaan dan home industry dilakukan untuk memastikan struktur industri kita bersifat integrasi, seperti yang dilakukan RRC era tersebut.
Dilakukan juga pengembangan sumber daya manusia dengan upaya pemerataan pendidikan dan kualitasnya di segala penjuru Indonesia.
Pemerataan sektor kesehatan dilakukan dengan pembangunan puskesmas dan penyebaran dokter-dokter muda ke seluruh pelosok negeri. Ini menunjukkan bahwa negara memang berfungsi sebagai negara, yang hadir untuk membangun bagi rakyat.
Era Jokowi saat ini utang luar negeri menjadi parah sekali jumlahnya. Mantan presiden Megawati dalam pidatonya di rakernas PDIP bingung bagaimana cara bayarnya. Bayangkan utang resmi lebih dari Rp 8000 triliun.
Pemutihan uang-uang yang parkir di Singapura, hitam atau uang putih, sekitar Rp 15.000 triliun, dengan alasan Tax Amnesty, terjadi tanpa menuntut uang itu kembali diparkirkan di Indonesia. Hal berulang dengan kebijakan "sunset policy" era sebelumya, yang kurang menguntungkan Indonesia sebagai sumber asal uang-uang itu.
Selain utang resmi negara, utang legal lainnya yang diperoleh via BUMN dan utang kepada institusi keuangan dalam negeri, menurut Misbakhun, DPR RI, bisa tembus Rp 20.000 triliun. Utang-utang ini tentu akan menjadi beban generasi ke depan. Sementara alam semakin rusak.
Pada era Suharto, utang menjadi sebuah alasan untuk tujuan produktif. Untuk itu Suharto membuat ukuran utang bukan dalam ratio GDP, melainkan dalam istilah "Debt Service Ratio", sebuah ratio yang dibangun secara rasional untuk negara berkembang. Yakni berhutang sesuai kemampuan mendapatkan devisa ekspor.
Ruchir Sharma, investor guru, dalam bukunya "How The Nation Fall" mengingatkan bahwa kejahatan dalam menciptakan utang suatu negara merupakan desain sistematis untuk menguntungkan kelompok interest tertentu. Kadangkala menurutnya, desain itu melibatkan angka-angka pertumbuhan yang dirancang sesuai dengan kepentingan penciptaan utang saja.
Burhanuddin Abdullah, dalam acara yang saya, Jumhur dan Rocky selenggarakan bulan April lalu, bingung dengan klaim-klaim pemerintah bahwa kita menjadi negara 16 terbesar di G20.
Menurut dia, dengan klaim pertumbuhan rerata 5% per tahun selama hampir 10 tahun ini, tax ratio kita tidak tumbuh baik. Rerata tax ratio hanya di bawah 10%, sebaliknya negara G20 sudah 25 – 30%. Spending Government terhadap GDP hanya 17%, jauh di bawah Turki 25%. Bahkan Burhan kecewa ketika depresiasi rupiah terhadap dollar selama 10 tahun ini sekitar 30%, upah riil buruh tidak naik. Kapan rakyat sejahtera? Kata Burhan, yang merupakan pemikir utama pembangunan Prabowo Subianto saat ini.
Orientasi pembangunan yang tidak dijalankan untuk kepentingan rakyat, tentu saja akan membuat pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas. Artinya per persen pertumbuhan semakin sedikit menyerap lapangan kerja. ICOR (Incremental Capital Output Ratio) semakin besar, tidak efisien.
Pengentasan kemiskinan telah semakin jauh dari keberhasilan. Sementara itu segelintir orang dengan gagahnya melakukan korupsi dalam skala ratusan triliun rupiah, seperti timah, nikel, ilegal sawit, emas, minyak goreng, dan korupsi sektor infrastruktur.
Pembangunan yang dijalankan bukan untuk kepentingan rakyat tentu dikarenakan ideologi negara kita ditafsirkan secara sontoloyo oleh mereka. Koruptor-koruptor yang berkeliaran telah menguasai negara serta "kerja, kerja, kerja" tanpa orientasi rakyat, benar-benar tidak menjiwai Tuhan Yang Maha Esa, tidak menjiwai spirit kemanusiaan yang adil dan beradab, tidak menjiwai nasionalisme kita, tidak menjiwai spirit kerakyatan dan kolektivitas serta kegotong-royongan serta terakhir tidak menjiwai semangat Indonesia untuk sama rata sama rasa, semua mendapatkan manfaat.
Tanpa penjiwaan itu kesalahan rezim ini sudah dimulai sejak orientasi dan visi.
Pada era Suharto, mereka mengalami kesalahan pada dataran implementasi. Namun, mereka tetap berorientasi pada kepentingan rakyat. Kenapa? Karena mereka menjiwai Pancasila secara benar.
Meskipun sebagian kita kecewa dengan era Suharto, seperti saya dan Jumhur yang dipenjara pada era itu, namun kita harus jujur bahwa era itu kita rindukan kembali. Kita yang di luar kekuasan bisa melakukan partisipasi sebagai pengkritik melalui pembangunan masyarakat sipil atau NGO yang kuat.
Kita berharap, di era kepemimpinan paska Jokowi, pemerintahan ke depan, termasuk Prabowo dapat mengembalikan negara dan elit-elit nasional bekerja untuk orientasi rakyat. Membungkam mafia-mafia yang berkuasa selama ini. Ini adalah jalan Pancasila Sakti, bukan sontoloyo. (*)