Pantaskah KPK Bicara Integritas?
Para komisioner mungkin tidak tahu, capres 01 itu pernah jadi Ketua Komite Etik KPK bersama saya, pak BW (Bambang Widjajanto) dan pak THP (Tumpak Hatorangan Panggabean), tahun 2013. Jadi, Anies lebih paham pencegahan korupsi dibanding kelima komisioner yang ada.
Oleh: Abdullah Hehamahua, Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (2005-2013)
TANGGAL 17 Januari malam, KPK mengundang Capres dan Cawapres 2024, hadir di Gedung Merah Putih. Disebut Gedung Merah Putih karena tugas utama KPK adalah memberantas korupsi supaya negara mencapai tujuan kemerdekaan, dan terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengapa harus Merah Putih? Sebab, para pejuang dahulu, harus berani melawan penjajah yang dilambangkan dengan warna merah. Maknanya, KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi harus berani menangani korupsi kelas kakap, khususnya yang melibatkan Istana, pejabat tinggi negara, dan oligarki tanpa takut diintervensi siapa pun.
Warna putih menggambarkan kesucian hati. Keikhlasan para pejuang mengusir penjajah, tanpa mengharapkan jabatan apa yang diperoleh nanti. Itu sebabnya, Kode Etik KPK sangat “ekstrim” bagi budaya Indonesia dewasa ini. Kode Etik Pimpinan KPK jilid 1, pimpinan tidak boleh bermain golf. Sebab, di tempat ini, sering terjadi lobi-lobi di antara pejabat dan pengusaha. Jadi, Firli Bahuri itu bermain bandminton di tempat umum, sudah melanggar Kode Etik KPK.
Warna putih KPK sangat diinspirasi para pejuang dan pejabat pada awal-awal kemerdekaan sebelum periode orde lama. Bung Hatta, misalnya, sampai meninggal dunia tidak berhasil membeli sepatu idamannya karena tidak mau menggunakan anggaran negara untuk kepentingan pribadi.
Ia mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden ketika merasa tidak sejalan lagi dengan Soekarno. Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandat sebagai presiden setelah Soekarno dan Hatta dibebaskan Belanda dari tahanan.
Mohammad Natsir, Perdana Menteri (PM) pertama NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) mengembalikan mandat setelah merasa tidak sejalan dengan Soekarno. PM Burhanuddin Harahap mengembalikan mandat setelah sukses dalam melaksanakan Pemilu 1955. Itulah ciri putihnya jiwa para pemimpin terdahulu.
Kondisi di atas bertolak belakang dengan keadaan sekarang. Joko Widodo alias Jokowi, bahkan berakrobat agar bisa menjabat tiga periode. Minimal menunda Pemilu. Perilaku tersebut, bak gayung bersambut dengan ambisi pimpinan KPK sekarang.
Komisioner KPK mengajukan gugatan ke MK agar masa jabatan mereka diubah menjadi lima tahun. Jujur, pimpinan dan penasihat KPK sejak periode pertama sampai keempat, tak berniat sama sekali untuk mengubah masa jabatan menjadi lima tahun. Sebab, disadari korupsi adalah kejahatan luar biasa, sehingga segala sesuatunya juga luar biasa, termasuk masa jabatan.
Lazimnya, masa jabatan seseorang atau lembaga, diubah atau diperpanjang, dikaitkan dengan prestasi luar biasa yang dicapai. Lalu, apa prestasi yang dicapai KPK pimpinan Firli Bahuri? Pertama, Harun Masiku, bukan siapa-siapa, lebih tiga tahun, belum juga ditangkap.
Bandingkan dengan Nazarudin, anggota DPR dan Bendahara Umum Partai Demokrat – berkuasa waktu itu – hanya kurang lebih empat bulan, ditangkap di Kolombia. Prestasi kedua Firli, IPK (Indeks Prestasi Korupsi) Indonesia terjun payung. Hanya mencapai skor 32, di bawah Timor Leste yang mendapat angka 34.
Prestasi ketiga Firli, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap KPK berada di rangking kelima, sesuatu yang sangat memalukan. Sebab, sejak jilid 1, KPK selalu berada di urutan pertama yang terbaik, baik berdasarkan penilaian Menpan (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara) maupun tingkat kepercayaan masyarakat.
Prestasi keempat Firli, bersama komisioner lain, rajin melanggar Kode Etik. Prestasi kelima Firli, dan ini yang jumbo, beliau ditetapkan sebagai tersangka karena kasus pemerasan. Prestasi lain, 19 pegawai diduga melakukan pemerasan terhadap tahanan atau keluarganya, sejak tahun 2021.
Tragisnya, KPK yang dipercayai gerakan reformasi mahasiswa untuk memberantas korupsi justru berubah menjadi Komisi Penyuburan Korupsi. Sebab, Ketua KPK, Firli Bahuri sudah ditetapkan sebagai tersangka karena terlibat korupsi. Bahkan, empat komisioner lainnya diduga turut terlibat.
Sebab, pengalaman saya selama delapan tahun di KPK, mustahil kebijakan, tindakan, dan perilaku seorang komisioner tidak diketahui mitra kerjanya. Apalagi berkaitan dengan penegakkan kode etik. Sejarah mencatat, pimpinan KPK edisi ini yang paling banyak melanggar kode etik.
Sebagai ilustrasi, seorang komisioner menulis di lembar desposisi pimpinan KPK dengan tulisan berwarnah merah, dibawa ke Komite Etik. Saya yang ditunjuk sebagai Koordinator Komite Etik waktu itu (2005), berusaha mendamaikan kelima komisioner.
Sebab, menurut saya, “pertengkaran” yang terjadi diakibatkan kesalah-pahaman di antara para komisioner mengenai strategi pemberantasan korupsi. Justru, komisioner yang “ditersangkakan” meminta dibentuk Komite Etik. Tidak seperti KPK edisi ini yang membiarkan komisoner mengundurkan diri karena tidak mau diperiksa Dewas.
Tahun 2011, saya kembali ditunjuk sebagai Ketua Komite Etik. Terperiksanya (“tersangka”), salah seorang Wakil Ketua KPK. Ia dipersalahkan karena menemui salah seorang anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) di hotel tanpa tugas dari lembaga.
Padahal, yang dilakukannya itu justru untuk kepentingan KPK. Sang 'tersangka' minta supaya anggaran pembangunan kantor baru KPK, segera disetujui Komisi III DPR. Karena, rencana anggaran tersebut sudah disetujui Kemenkeu (Kementerian Keuangan).
Hal ini sangat mendesak karena ketika itu, daya tampung kantor KPK sudah “overload”. Bahkan, sebagian pegawai harus berkantor di salah satu lantai Kantor BUMN (Badan Usaha Milik Negara) di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Begitu pula halnya, Ketua KPK (2013) diperiksa Komite Etik.
Karena, diduga lalai dalam mengawal sekretarisnya yang membocorkan sprindik ke wartawan sebelum waktunya. Dahsyatnya, Ketua KPK ini, ikhlas diperiksa Komite Etik sebagai teladan bagi masyarakat bahwa siapa dan apa pun jabatan, harus siap menghadapi proses hukum. Bahkan, dia rela HP-nya disita Komite Etik.
Bandingkan KPK sekarang. Firli yang menerima gratifikasi berupa fasilitas helikopter untuk pulang kampung, hanya diberi peringatan oleh Dewas. Ada pula komisioner yang menerima tahanan di dalam ruangannya.
Padahal, dia bukan Penyidik atau JPU (Jaksa Penuntut Umum) sehingga tidak ada otoritasnya bertemu dengan tersangka atau terdakwa. Firli, beberapa kali mangkir dari pemeriksaan Dewas. Bahkan, ketika pembacaan putusan akhir Dewas pun tidak dihadiri olehnya.
Paku Integritas
KPK mengundang capres dan cawapres 2024 mengikuti kegiatan Penguatan Anti Korupsi bagi Penyelenggara Negara ber-Integritas (PAKU Integritas). Dalam acara tersebut, komisioner menggunakan tema integritas.
“Paku Integritas dimaksudkan untuk memberikan penguatan integritas dan antikorupsi kepada para pasangan capres dan wapres agar selalu memberikan keteladanan dalam menjalankan peran dan tugasnya nanti serta selalu menghindari diri dari perilaku koruptif,” demikian tulis Wawan, Direktorat Pendidikan dan Sosialisasi KPK dalam keterangan tertulis yang diterima Infopublik pada Rabu, 17 Januari 2024.
Pertanyaannya, apakah pimpinan KPK sekarang pantas bicara mengenai integritas? Sebab, pada faktanya, semua komisoner KPK dapat dikatakan krisis integritas. Tragisnya, belum pernah terjadi pegawai KPK memeras tahanan dan keluarganya. Bahkan, sampai ada perilaku pelecehan seks terhadap keluarga tahanan.
Apalagi, informasi terakhir dari Dewas, 93 pegawai akan diperiksa karena terlibat kasus pemerasan di rutan KPK. Kekhawatiran saya, ada lagi komisioner yang menyusul bos mereka, Firli, sebagai tersangka kedua atau ketiga.
Kelakarnya, forum itu bukan dijadikan media bagi capres/cawapres mengkampanyekan ide dan program mereka tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi. Namun, forum tersebut justru digunakan sebagai media kampanye komisioner KPK. Ya, siapa tau, ada yang direkrut sebagai menteri pasca Pilpres.
Para komisioner mungkin tidak tahu, capres 01 itu pernah jadi Ketua Komite Etik KPK bersama saya, pak BW (Bambang Widjajanto) dan pak THP (Tumpak Hatorangan Panggabean), tahun 2013. Jadi, Anies lebih paham pencegahan korupsi dibanding kelima komisioner yang ada.
Apalagi, Universitas Paramadina, pimpinan Anies Baswedan adalah universitas swasta pertama di Indonesia yang mewajibkan mahasiswa mengambil mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi, sebanyak 2 SKS. Sesudah itu, baru ITB sebagai universtas negeri pertama yang mengajarkan mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi (2006).
Kita tunggu saja, apakah KPK periode ini berani mempermasalahkan harta kekayaan yang dilaporkan dalam LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) oleh ketiga pasang capres/cawapres, baik sebelum maupun sesudah Pilpres. Semoga! (*)