Pemilu Itu Krusial dan Sakral

Apakah saya realistis? Tentu saja saya realistis. Saya ingin menghentikan Joko Widodo, pusat kanker yang menggerogoti eksistensi bangsa kita. Orang yang begitu dipuja oleh Prabowo (sang pemenang?). Tetapi, saya ingin upaya itu dilakukan oleh semesta Indonesia.

Oleh: Radhar Tribaskoro, Komite Eksekutif KAMI (Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia)

PEMILU adalah komponen krusial dalam demokrasi karena berfungsi sebagai mekanisme utama untuk memastikan pemerintahan yang bertanggung jawab, representatif, dan responsif terhadap keinginan dan kebutuhan rakyat.

Pemilu memberikan dasar legitimasi pada pemerintahan yang terpilih, memungkinkan partisipasi langsung rakyat dalam proses politik, mewajibkan pemimpin bertanggung jawab atas tindakan dan kebijakan mereka, mencegah terjadinya pemerintahan otoriter, mendorong dialog dan perdebatan tentang arah masa depan suatu negara, dan memberikan pendidikan politik kepada rakyat.

Maka selain krusial, pemilu adalah sakral bagi demokrasi. Kita ingin warga negara memilih dengan tulus, sesuai kata hatinya. Dengan demikian kita menghargai suara Tuhan dalam suara rakyat. Itu sebabnya, kecurangan dalam pemilu bukan hanya pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang suci, tetapi juga tindakan yang secara terang-terangan menghina keadilan ilahi.

Dalam bahasa politik, kecurangan dalam pemilu adalah pengkhianatan kepada Pancasila. Karena kita telah bersepakat memuat nilai-nilai ketuhanan dan demokrasi di dalam Pancasila.

Saya tahu banyak pendukung Prabowo Subianto hari ini mengharapkan Pancasila diterapkan secara murni dan konsekuen. Tapi dapatkah anda membersihkan ruangan dengan sapu kotor? Bisakah kita menegakkan Pancasila tanpa integritas dan kredibilitas? Dan, bisakah kita mengembalikan kesucian Pancasila dengan melumurinya dengan kotoran?

Apakah saya terdengar seperti seorang idealis yang tidak realistis?

Mungkin saja. Tetapi sudah saya katakan, tidak mungkin mengembalikan Pancasila dengan cara diam-diam. Menjadikannya hidden agenda. Itu akan menjadikan Pancasila tidak murni dan tidak suci lagi. Kalau begitu, akan ada saatnya nanti Pancasila menjadi objek untuk dimakzulkan.

Itu terjadi sekarang. Aneh bagi saya bila tokoh-tokoh senior mengglorifikasi kemenangan Prabowo sembari mencemeeh para pencari keadilan pemilu. Hormati pemenang, katanya. Saya jawab, menang dengan cara bagaimana? Apakah menang dengan terhormat?

Bagaimana saya bisa menghormati, kalau suara rakyat dibeli, kalau para ulama dibanjiri rupiah, kalau para politisi disandera, kalau para aparat diancam, kalau para hartawan diperas.

Tahukah anda bahwa anda telah menghancurkan jiwa semesta rakyat. Anda telah pula menghancurkan kesucian para ulama dengan menyirami mereka uang bermiliar-miliar. Anda telah membinasakan kecintaan rakyat kepada bangsa dan negaranya dengan menyuap mereka beberapa ratus ribu rupiah. Anda telah meluluh-lantakkan disiplin pegawai negeri dengan menjadikan mereka antek kepentingan politik anda.

Apakah saya realistis? Tentu saja saya realistis. Saya ingin menghentikan Joko Widodo, pusat kanker yang menggerogoti eksistensi bangsa kita. Orang yang begitu dipuja oleh Prabowo (sang pemenang?). Tetapi, saya ingin upaya itu dilakukan oleh semesta Indonesia.

Benar, ini upaya yang raksasa. Namun harus ada orang yang menanam bibit. Saya juga percaya bahwa pada akhirnya Tuhan akan mengulurkan tanganNya, membawa cahaya kebenaran untuk menyingkirkan kegelapan ketidakadilan.

Bagi saya, tidak realistis adalah membangun dengan mengabaikan etika dan keadilan. Kantong Anda mungkin menjadi lebih tebal, tetapi suatu saat akan ada orang datang merobek dan melumatkannya. Bagi saya, tidak realistis berkuasa sendiri dengan mengabaikan demokrasi.

Pada suatu saat akan ada orang merenggut dan melemparkan anda ke jalanan pembalasan. Bagi saya, tidak realistis mencurangi pemilu. Pada suatu saat orang muak dan membenamkan anda ke dalam laut muntah mereka.

Hukum Tuhan itu pasti, kezaliman tidak akan kekal. (*)