Pernyataan Sikap Petisi 100: Makzulkan, Tangkap dan Adili Joko Widodo
Jokowi berfoya-foya membangun IKN serta infrastruktur tol, pelabuhan, bandara, dan kereta api cepat berbiaya mahal tanpa dukungan studi kelayakan, prioritas kebutuhan dan juga kemampuan keuangan negara, serta sarat pula dengan dugaan KKN dan mark-up biaya.
Oleh: Marwan Batubara dan Syafril Sjofyan, Badan Pekerja Petisi 100
PADA Juli 2023 yang lalu, melalui Petisi yang telah disampaikan di Ruang GBHN, Nusantara V, Gedung DPR-MPR RI, Senayan, Jakarta, Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat telah menuntut agar Presiden Joko Widodo segera dimakzulkan karena pelanggaran amanat konstitusi, prinsip-prinsip HAM, sejumlah UU/peraturan dan dugaan berbagai tindakan KKN.
Namun, setelah setahun berlalu, ternyata lembaga-lembaga negara seperti DPR dan MPR, yang seharusnya melakukan proses pemakzulan tersebut benar-benar telah gagal melakukan tugas dan fungsi konstitusionalnya. Padahal, menurut Pasal 7A UUD 1945, delik untuk terjadinya pemakzulan, baik berdasar pertimbangan administrarif, moral dan hukum sudah lebih dari cukup.
Salah satu sebab gagalnya DPR memulai proses pemakzulan melalui pelaksanaan Hak Angket diyakini karena terjadinya politik penyanderaan di satu sisi, dan terjadinya dugaan korupsi oleh sejumlah anggota parlemen di sisi lain.
Sementara itu ambisi rezim oligarki Jokowi untuk tetap mencengkeram kekuasaan demikian besar, sehingga merasa sangat nyaman untuk melakukan politik kekuasaan menghalalkan segala cara.
Sebagai pemimpin eksekutif, Jokowi telah menempatkan diri di atas dua cabang kekuasaan lain, yakni kekuasaan legislatif, DPR, yang telah dilumpuhkan melalui “politik sandera” dan kekuasaan yudikatif, MK dan MA, yang diduga berlangsung melalui politik bernuansa Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) dan otoriter.
Dalam Petisi 100 pada Juli 2023, pengkhianatan (sesuai terminologi Pasal 7A UUD 1945) Presiden Jokowi terhadap konstitusi antara lain adalah penerbitan Perppu tanpa dasar kegentingan memaksa (melanggar Pasal 22 UUD 45), menerbitkan Perpres APBN pengganti UU dengan mengeliminasi hak DPR (melanggar Pasal 23 UUD 45), serta juga membentuk UU IKN dan UU Ciptaker dengan mengeliminasi hak partisipasi publik/rakyat (melanggar Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 dan Pasal 28E, UUD 45).
Tindakan Pelanggaran HAM Berat dalam peristiwa Pembunuhan KM 50 (melanggar Pasal 28 UUD 1945 dan UU Nomor 26/2000), dengan membiarkan proses penyelidikan dan penyidikannya oleh pihak Kepolisian bukan oleh KOMNAS HAM. Padahal pelaku kekerasan dalam KM 50 adalah aparat Hukum itu sendiri, hal ini menunjukan sangat kuat dugaan Jokowi telah melindungi pelaku utama dari kasus KM 50.
Jokowi juga diyakini berkhianat terhadap konstitusi dengan menetapkan UU Minerba Nomor 3/2020 pro oligarki (melanggar Pasal 33, Pasal 27, Pasal 28E UUD 1945). Hal ini merugikan negara lebih dari Rp 7.000 triliun.
Program hilirisasi atau “seperempat hilirisasi”, serta berbagai kebijakan pro oligarki pro China dan insentif pajak, termasuk pencaplokan tambang milik BUMN dan penyeludupan bijih nikel, telah menguntungkan RRC dan merugikan negara ribuan triliun.
Jokowi merupakan tokoh sentral di balik terbitnya Putusan MK Nomor 90/ 2023 yang memungkinkan Gibran Rakabuming Raka lolos menjadi Cawapres. Intervensi otoriter Jokowi terhadap MK ini telah mengangkangi amanat reformasi, melanggar TAP MPR No.XI/1998, Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 22 UU No.28/1999.
Jokowi bertindak zolim/tidak adil dengan menginstruksikan lembaga-lembaga Polri, BUMN, ASN, kepala-kepala daerah hingga kepala desa guna memenangkan Paslon No.2 (melanggar Pasal 9 UUD, Pasal 9 UU Nomor 20/2023, dan Pasal 29 UU Nomor 2/2002), mengubah kebijakan APBN dan ikut membagikan Bansos (melanggar Pasal 9 dan Pasal 23 UUD).
Intervensi otoriter atau cawe-cawe (istilah ini sengaja diperlunak) Jokowi terhadap lembaga yudikatif masih berlanjut. Setelah terlibat rekayasa Putusan MK Nomor 90/2023 guna meloloskan Gibran jadi Cawapres,
Jokowi diyakini terlibat sangat kuat atas terbitnya Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024, diputus pada 29 Mei 2024 guna meloloskan Kaesang Pangarep menjadi Cagub/Cawagub. Maka, otoriterianisme Jokowi terus dilakukan supaya bisa tetap mencengkeram kekuasaan melalui politik dinasti nepotis semakin nyata dan berjalan lancar.
Jokowi melakukan penipuan dan bersikap otoriter dengan memindahkan 52% anggaran pendidikan menjadi dana desa (melanggar Pasal 23 dan 31 UUD 1945). Akibatnya, biaya pendidikan menjadi mahal, tingkat putus sekolah tinggi, dan daya tampung sekolah berkurang.
Bonus demografi tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal untuk mencerdaskan dan memajukan bangsa.
Jokowi berfoya-foya membangun IKN serta infrastruktur tol, pelabuhan, bandara, dan kereta api cepat berbiaya mahal tanpa dukungan studi kelayakan, prioritas kebutuhan dan juga kemampuan keuangan negara, serta sarat pula dengan dugaan KKN dan mark-up biaya.
Kebijakan tersebut antara lain telah meningkatkan hutang dan bunga hutang negara, serta upaya membangkrutkan sejumlah BUMN dan beban APBN/biaya operasi ke depan.
Sikap nepotis dan menghalalkan segala cara oleh Jokowi jelas melanggar prinsip-prinsip moral dan Pancasila, serta sekaligus mengangkangi amanat reformasi dan melecehkan kehidupan demokrasi. Pelanggaran berbagai ketentuan konstitusi dan UU/peraturan jelas menunjukkan pengkhianatan Jokowi terhadap UUD 1945.
Gerakan perlawanan rakyat sebagai benteng terakhir demokrasi dan daulat rakyat belum bersatu dan tidak masif untuk menghentikan rezim Jokowi. Maka, setelah gugatan pemakzulan Petisi 100 pada Juli 2023, bukannya berakhir atau lengser karena berbagai pelanggaran moral, konstitusional dan UU, Jokowi justru semakin otoriter menjalankan agenda politik kekuasaan melalui berbagai intervensi melanggar UUD 1945, konstitusi dengan kebijakan otoriter.
Sejalan dengan fakta-fakta pelanggaran moral, konstitusional dan legal di atas serta demi tegaknya daulat rakyat, maka Petisi 100 menyatakan sikap sebagai berikut:
Pertama, Menuntut agar DPR dan MPR segera memproses pemakzulan Joko Widodo.
Kedua, Menuntut berlangsungnya berbagai upaya optimal dari segenap komponen bangsa, agar Jokowi selain dimakzukan seperti disebut pada point pertama di atas, juga sangat patut dimintakan pertanggung jawabannya melalui proses hukum di muka Pengadilan.
Ketiga, Menuntut agar Gibran sebagai anak haram konstitusi yang tidak legitimate agar tidak dilantik menjadi Wakil Presiden.
Keempat, menuntut agar ASN, TNI, dan Polri bersikap netral sesuai konstitusi dan UU, serta tidak tunduk memihak kepentingan rezim nepotis dan pengusaha oligarkis.
Kelima, Mengajak seluruh elemen bangsa untuk bersuara dan berjuang demi memulihkan demokrasi dan kedaulatan rakyat yang telah dirampas oleh rezim oligarki nepotis.
Demikian Pernyataan ini dibuat dan disampaikan sebagai wujud tanggungjawab bersama dalam menegakkan kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. (*)