Pilpres 2024, Berakhir Damai Atau Perang
Sang penguasa sama sekali tidak menyadari bahwa negara ini diambang perpecahan. Yang terjadi ia justru terus memetakan yang dianggap lawan politik, mana yang bisa diajak kompromi dan mana yang harus digempur dan dihabisi.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
"TANPA perang manusia terperangkap dalam kenyamanan dan kekayaan, karena kehilangan kapasitas untuk pemikir dan perasaan besar menjadi barbar" (Fyodor Dostoyevsky, 1821-1881).
Setiap hari kita mendengar rintihan anak bangsa, pilpres mendambakan bisa berakhir dalam nilai- nilai kejujuran, keadilan. Lahirnya pemimpin yang diakui dan bisa berjalan bersama rakyat.
Dalam dambakan tersebut, keadaan masih diwarnai percekcokan, perselisihan makin lama makin membesar.
Kita selama ini tidak dilatih untuk bisa hidup damai, sama sekali tidak dipersiapkan menghadapi berbagai perbedaan, perselisihan, percekcokan, pertengkaran. Kalau tidak ada kanal yang bisa mengehentikan keadaan akan makin memburuk.
Keadaan semakin rumit ketika dalam kehidupan yang makin kompetitif di Indonesia tidak ada lagi aturan yang bisa melindungi manusia yang lemah .
Lebih menyusahkan munculnya pemimpin negara yang bermain main setiap saat berpenampilan sangat ramah, mengajak masyarakat untuk terus bersepakat dengan kebijakannya.
Tetapi di belakang layar sang penguasa ada kekuatan yang terus-menerus memaksakan diri dan kehendaknya, menyerang dan menyergap dari belakang, untuk dilumpuhkan.
Dipermukaan tampak berdamai namun persis di bawah permukaan adalah kekuatan tirani. Tidak malu-malu dan terang-terangan akan membangun politik dinasti yang prosesnya sangat tidak lazim dan nekad melanggar semua rambu-rambu hukum dan konstitusi.
Kita terasa gagal dan harus menelan situs pahit, Pilpres 2024 yang diharapkan bisa berjalan jujur dan adil, luluh lantak menjadi mainan pada demit bandar dan bandit politik. Rakyat akan dipaksa harus berdamai dengan permainan politik Pilpres yang jauh dari etika, moral.
Banyak psikolog dan sosiologi berpendapat melalui konflik masalah sering bisa dipecahkan dalam perbedaan yang harus diperdamaikan.
Sayang sampai saat ini belum ada tanda-tanda bisa diperdamaikan, sang penguasa merasa tetap jumawa akan memaksakan kehendaknya.
Pilpres 2024 yang secara telanjang dipertontonkan dengan kecurangan, dengan licik dan manipulatif terus dipoles politik pembenaran dengan macam bentuk dan melibatkan rentalan kaum intelektual – rohaniawan sebagai legalitas pembenarannya.
Sang penguasa sama sekali tidak menyadari bahwa negara ini diambang perpecahan. Yang terjadi ia justru terus memetakan yang dianggap lawan politik, mana yang bisa diajak kompromi dan mana yang harus digempur dan dihabisi.
Kondisi saat ini ada tiga kemungkinan yang akan terjadi:
Pertama; penguasa mau berdamai dengan rakyat hasil pilpres dikembalikan, pada koridor kejujuran, keadilan, dan dihapusnya segala bentuk manipulatif angka kemenangan paslon 2 yang dipaksakan.
Kedua; penguasa memaksakan kecurangannya maka pertengkaran terus berlanjut dan sangat mungkin akan terjadi pecahnya NKRI bahkan secara terbuka terjadinya perang saudara.
Ketiga; perlawanan rakyat yang tersudut maka perlawanan dan manuver harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau perlawanan dengan cara bergerilya.
"Alam telah memutuskan bahwa apa yang tidak sanggup membela diri takkan dibela". (Rapl Woldo Emerson 1803 - 1882). (*)