PKS di Persimpangan Jalan
Silakan menempuh jalan yang Anda pilih. Kami mendukung PKS pada Pemilu 2024 lalu untuk menegakkan keadilan dan membela rakyat. Namun, jika suara kami digunakan untuk tujuan lain, kami akan menuntut di hadapan Allah. Kami tidak akan menerima hanya dengan "kata maaf".
Oleh: Guntur Surya Alam, Dokter SpB, Sp BA (K) Dig, MPH, FICS
PARTAI Keadilan Sejahtera (PKS) mungkin sedang menghadapi dilema besar dalam perjalanannya di kancah politik Indonesia. Di satu sisi, PKS semakin sulit mencari teman politik. PKS berdiri sendiri dalam dunia politik yang semakin transaksional menjadi tantangan besar, di mana "semua orang berlomba menjual diri".
Namun, bergabung dengan koalisi (KIM) juga bukanlah pilihan mudah bagi PKS sendiri, mengingat branding mereka yang sudah kadung dikenal sebagai oposisi selama 10 tahun terakhir.
Para pemikir politik PKS mungkin sedang menghitung ulang langkah mereka. "Jika keadaan ini terus berlanjut, masa depan PKS bisa terancam. Kita tak boleh teralienasi dari percaturan politik. Kita tak sekuat PDIP, tapi juga tak semurah PSI," mungkin itulah yang ada dalam benak mereka.
Politik Harus Berbasis Nilai, Bukan Kepentingan
Dalam politik, harus ada pijakan yang kuat pada nilai (value), bukan sekadar kepentingan sesaat. Meski badai berkecamuk, partai yang berbasis pada nilai tetap harus tegar. Tetap berada dalam oposisi memiliki risikonya sendiri, sama seperti bergabung dengan koalisi.
Nilai moral yang telah dibangun PKS selama 10 tahun terakhir tersebut bisa saja runtuh jika mereka memutuskan untuk masuk Koalisi Indonesia Maju (KIM) pimpinan Prabowo Subianto.
Ketika "semua orang berlaku edan, jangan ikut edan juga," kata pepatah. Standar dalam politik itu harus tetap berdasarkan nilai, bukan pada keuntungan jangka pendek. Namun, mungkin ada yang akan membantah, "Kami sudah konsisten dengan nilai selama 10 tahun terakhir, tapi hasilnya nol. Kami tak dapat apa-apa selain kelelahan. Sementara politik memerlukan biaya operasional."
Politik Bukan Sekadar Transaksi
Pertanyaan yang perlu diajukan adalah: Untuk apa Anda masuk politik? Apakah untuk mencari satu pekerjaan, modal, atau koneksi? Atau untuk memperjuangkan rakyat? Jika tujuannya hanya mencari keuntungan, lebih baik Anda mencari pelatihan di BLK atau sekolah D3, bukan terjun ke dunia politik yang penuh dengan pengorbanan dan idealisme.
Politik tidak boleh menjadi transaksi murni; harus tetap berpijak pada nilai moral. Jika PKS sudah terjerumus dalam transaksi murni, mereka akan bernasib sama seperti PBB, PPP, PAN, dan PKB, yang digambarkan sebagai "wujuduhum ka 'adamihim" (ada mereka seperti tiada).
Mungkin Anda akan berkata, "Politik moral sudah tak ada di negeri ini. Sejak era SBY, politik moral telah mati." Namun, bukankah kekacauan politik di era SBY justru menghasilkan perubahan haluan pada era Jokowi? Apakah perubahan itu akan dihapus begitu saja, kembali ke haluan era SBY? Ini adalah siklus politik yang aneh jika berputar di tempat yang sama.
PKS Harus Berani dan Atraktif
PKS sejatinya punya peluang untuk menjadi partai besar, bukan hanya "partai 8 persen" terus-menerus. Caranya adalah dengan berani tampil sebagai oposisi di level nasional, bukan sekadar "oposisi dalam diam". PKS harus aktif merespons isu-isu nasional secara intens dan masif.
Namun, mungkin ada yang berpendapat, "Gak bisa begitu! Kondisi politik sekarang sangat berat. Kekuatan oligarki merajalela, dan aparat hukum menjadi bagian dari mafia politik. Sulit bermain politik di era seperti ini."
Justru dengan keadaan seperti itu, PKS harus menggerakkan seluruh kekuatan nasional untuk meluruskan kebengkokan yang sudah ada, bukan pragmatis dengan "menggelar lapak di tengah kekacauan demi bertahan hidup".
Memperbaiki politik saat ini memang berisiko besar, bahkan bisa mempertaruhkan nyawa. Namun, politisi reformis sejati harus berani dan punya nyali untuk melawan. Kabar baiknya, kekuatan rakyat sedang menunggu siapa yang bisa menggerakkannya. Jangan lupa, kondisi di Thailand, Sri Lanka, dan terakhir di Bangladesh dipantau oleh rakyat kita. Seperti kata Taufik Ismail, "politik bedebah harus segera disingkirkan".
Gerakan Perubahan Anies Baswedan: Harapan Baru
Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian ini, gerakan perubahan yang diusung oleh Anies Baswedan menawarkan harapan baru bagi Indonesia. Anies membawa visi untuk perubahan menyeluruh, yang bebas dari pengaruh buruk oligarki.
Gerakan tersebut tidak hanya menyasar pada perbaikan di tataran kebijakan, tetapi juga pada pengembalian nilai-nilai moral dan etika dalam politik.
Bersama gerakan ini, PKS memiliki peluang besar untuk berkolaborasi dan memperkuat posisinya sebagai oposisi yang tegas dan berprinsip. Dengan mendukung gerakan perubahan ini, PKS dapat berperan aktif dalam menciptakan Indonesia yang lebih adil, transparan, dan bebas dari upaya aktif cengkeraman oligarki.
Kezaliman Akan Dilawan, PKS Harus Memilih
Jika PKS tetap menjadi "oposisi dalam diam", rakyat yang menderita akibat kebobrokan politik selama era Jokowi akan tetap mencari jalannya sendiri. Dengan atau tanpa PKS, kekuatan rakyat akan tetap bergerak melawan kezaliman.
Kezaliman adalah kegelapan universal. Siapapun yang melakukannya, akan dilawan, dengan kekuatan besar atau kecil, melalui jalan formal atau non-formal, secara langsung atau tidak langsung.
Kesimpulan
Silakan menempuh jalan yang Anda pilih. Kami mendukung PKS pada Pemilu 2024 lalu untuk menegakkan keadilan dan membela rakyat. Namun, jika suara kami digunakan untuk tujuan lain, kami akan menuntut di hadapan Allah. Kami tidak akan menerima hanya dengan "kata maaf".
Jika PKS akhirnya mengikuti jejak PBB, PPP, PAN, dan PKB, berarti politik Islam di negeri ini telah mati. Atau dengan kata lain, mereka ingin agar negara ini tetap dalam cengkeraman oligarki dan mafia aparat hukum. Tidak ada kehendak untuk berjihad memperbaiki keadaan. (*)