Prabowo, Keadaban Publik, dan Negeri Nusantara
Terlebih, kitab suci terbaru di dunia adalah "Kapitalisme Global" yang berteologi Neoliberal. Mereka makin gigantik dan mengglobal karena teknologi informasi dan medsos yang bergerak tanpa nilai-nilai purba (moral, etik, kemanusiaan dan kesemestaan).
Oleh: Yudhie Haryono, Rektor dan CEO Nusantara Centre
APA warisan terbesar 25 tahun reformasi? Ketidak-beradaban publik. Tiba-tiba publik kita surplus tontonan daripada tuntunan.
Akibatnya, kita krisis etika di Republik Pancasila. Krisis moral di negara banyak agama. Krisis pangan di negeri subur. Singkatnya: surplus krisis, devisit solusi.
Padahal, republik yang krisis hanya bisa disembuhkan oleh pemimpin hebat dan visioner. Bukan pemimpin biasa yang tidak mampu berimaginasi membangun peradaban Pancasila di dunia.
Dus, pertanyaan berikutnya adalah, "bagaimana kita menghadirkan keadaban publik Indonesia?" Jawabannya adalah dengan meyakini hidup untuk: bersyukur, berbahagia, berdaya, berdikari, berkelimpahan, berkeadilan, berihklas, berkolaborasi, dan bersemesta.
Sembilan mental ini akan menghadirkan kembali negara untuk melindungi, mencerdaskan, menyejahterakan dan menertibkan.
Kemudian, mencetak pemerintah anti KKN yang efektif, efisien, masif, terstruktur dan sistematis. Lantas, membangun Indonesia dari kaum miskin, lemah, kalah dan kekurangan serta pinggiran.
Selanjutnya melakukan reformasi agensi dan sistem serta penegakan kedaulatan finansial, hukum dan sosial yang bermartabat, adil dan tepercaya. Terus, dapat memastikan kualitas hidup manusia Indonesia melalui pendidikan dan kebudayaan nusantara.
Merealisasikan tradisi inovasi, industri dan tekhnologi di semua bidang. Kemudian, bisa mewujudkan kemandirian dan kedaulatan Ipoleksosbudhankam secara fokus, terarah dan terprogram.
Menggerakkan revolusi mental demi tercetaknya generasi patriotik pewaris peradaban nusantara. Dan, terakhir ini adalah memperteguh Kebhinnekaan dalam Keikaan demi persatuan agar melihat keluar dan berorientasi mercusuar dunia.
Presiden terpilih Pabowo Subianto punya modal untuk menjadi pemimpin dengan imaji besar; punya modul dalam karya dan bukunya; punya model dari para pendiri republik, idolanya. Kini, mari terus bergerak dalam dharma negara demi keadaban publik Indonesia Raya agar jaya.
Negeri Nusantara
Kisah dan cerita itu muncul kembali. Cerpen dan novel nusantara kini mulai marak kembali di publik. Imajinasi keagungan atlantik hadir kembali. Zaman keemasan lemuria mengemuka kembali.
Tetapi, tahukah anak-anak kita tentang Nusantara? Ini merupakan bahasa Kawi dari kata nusa yang artinya "pulau" dan kata antara yang artinya "terpisahkan." Singkatnya nusantara itu adalah negara kepulauan: samudra yang ditaburi ribuan pulau.
Di Indonesia, istilah "Nusantara" secara spesifik merujuk kepada kepulauan Indonesia. Kata ini tercatat pertama kali dalam kitab Negarakertagama untuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut oleh Majapahit; yang kawasannya mencakup sebagian besar Asia Tenggara. Satu peradaban gigantik mula Indonesia lama.
Kini, ia tak baik-baik saja. Karenanya, mari perbaiki lewat pertempuran dengan sederhana. Dengan kalimat dan buku yang tak sempat dibaca dan dicetak karena mantera dan mukjizat tak lagi ada.
Ya. Ketika banyak kawan mati bunuh diri dalam kesepian dan kekejaman krisis tiada henti, mari kita berbagi resah dan kejeniusan semesta yang luput diketik para nabi di kitab suci.
Ya. Negeri kita bagai kitab suci. Tebal, asing, enigmatis dan tak mudah dibaca selesai dalam satu hari sampai mengerti makna semuanya.
Terlebih, kitab suci terbaru di dunia adalah "Kapitalisme Global" yang berteologi Neoliberal. Mereka makin gigantik dan mengglobal karena teknologi informasi dan medsos yang bergerak tanpa nilai-nilai purba (moral, etik, kemanusiaan dan kesemestaan).
Isinya hanya berisi lima wawasan: keserakahan, ketamakan, kerakusan, ketidakterbatasan, dan ketidakadilan.
Hari ini banyak sekali warga negara kita membaca kitab tersebut dan terpapar dalam keseharian. Dan, itu semua melawan kodrat nusantara, mengkhianati Indonesia, melupakan nilai-nilai Pancasila.
Bersama pemerintahan baru ini, mari temukan arus balik nusantara. Kukuhkan daulat Indonesia. Cetak jutaan Patriot Pancasila. Semaikan miliaran kurikulum atlantik. Indonesia akan jaya.
Konsensus kita adalah negara Pancasila. Apa itu? Negara yang secara penuh merealisasikan nilai-nilai periketuhanan, perikemanusiaan, perikesatuan, perikegotong royongan dan perikeadilan sosial. Dus, secara ideal, kita tak punya komunisme, asosialisme, amoralisme, mayorokrasi-minirokrasi, dan neoliberalisme.
Sayangnya, ekonom-politisi-pengusaha kita banyak yang berkata, "neoliberalisme itu jawaban dari segala hal". Tetapi, apa pertanyaannya? Sebab fakta-faktanya: keadaan makin jauh dari klaim dan teori mereka. Lagian, mereka sudah terlalu lama politiking sehingga tidak lagi mampu membedakan mana opini dan mana kasunyatan!
Tahukah kalian bahwa kejahatan terbesar sebuah rezim bukan pada seberapa besar harta rampokannya dan seberapa hancur negara ini olehnya, tapi yang paling besar adalah mewariskan tradisi perampokan itu ke generasi berikut: anak dan rezim bentukannya.
Karenanya, pelan dan pasti, kerja merumuskan dan membukukan pancasila di wilayah praksis adalah keharusan. Ini projek menambal ruang kosong. Terutama sejak reformasi. Ya. Sejak reformasi, tafsir pancasila berhenti. Limbo: yang lama sekarat, yang baru tak menguat.
Akhirnya, bangunan ipoleksosbudhankam kita kini dan ke masa depan menjadi poco-poco. Bahkan muter-muter membusuk. Terkutuk. Tak ada dentuman. Tak melahirkan kemartabatan negara. Tak menampilkan kejelasan visi, peta jalan, dan haluan yang adekuat. Tak menghadirkan kesentosaan. Menjauhkan kesejahteraan. Mengalpakan perlindungan, kecerdasan dan ketertiban.
Di mana saja tak terbangun keandalan tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera. Setiap saat, kapal republik dibajak dan dibelokkan arahnya. Nyungsep. Kecerdasan publik dilumpuhkan kerumunan dan kepremanan politik, perwakilan bermutu disisihkan keterpilihan semu, pemerintahan hukum dilumpuhkan kerakusan famili kekuasaan.
Padahal, jauh hari lalu, pengertian demokrasi Pancasila sudah sangat baik disampaikan Presiden Soeharto pada tanggal 16 Juni 1967 yang berpandangan: “Demokrasi Pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintregasikan dengan sila-sila lainnya. Hal ini berarti bahwa dalam menggunakan hak-hak demokrasi harus selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan agama masing-masing, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, harus menjamin dan mempersatukan bangsa dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Pancasila berpangkaltolak dari paham kekeluargaan dan gotong royong (1978)."
Jelas, bukan gotong-nyolong. Tapi kini kok tiap hari kita disuguhi perampokan lokal yang tidak tak terhentikan? Ribuan pejabat ditangkap KPK tak menyurutkan elite baru untuk bertobat. Aneh bukan?
Jauh hari lalu, proklamator Hatta (1969) juga sudah menyampaikan bahwa ekonomi pancasila itu memiliki tiga sumber, yaitu Islam, Sosialisme dan budaya Indonesia. Dus, ekonomi Pancasila dirumuskan sebagai “ekonomi yang mendasarkan diri pada nilai-nilai Pancasila yang campuran serta hibrida: dari, untuk, dan oleh semua rakyat."
Karenanya, ekonomi Pancasila, menghendaki tiga tahap pembahasan. Pertama, pembahasan ontologis, yang menjawab pondasi. Kedua, pembahasan epistemologis yang menjawab pertanyaan bagaimana memahaminya dan bagaimana cara kerjanya. Ketiga, pembahasan aksiologis yang mempertanyakan hasil atau kondisi ideal yang dihasilkan oleh proses pembentukannya.
Jelas bukan konglomerasi. Apalagi oligarki. Tapi kok kini tiap hari kita disuguhi pola dan sistem jahat, rakus dan berlipat? Kemiskinan dan ketimpangan jadi takdir. Tanpa malu mereka memasifikasi harta dan mengintensifikasi kapital. Aneh bukan?
Melawan tradisi kejahatan itu semua, kita harus kerjakan 5 logika Pancasila (panca dharma). Yaitu rekonstitusi, rekapitalisasi, nasionalisasi, refinansialisasi dan resoverenitas. Inilah cara kita menjadi Patriot Pancasila: menegakkan daulat warga dan negara.
Di atas segalanya, semoga pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto segera merealisasikan Negara Pancasila. (*)