Prabowo Mungkin Berhasil

Sayangnya, tanda-tanda awal dari pemerintahan Prabowo justru menunjukkan sebaliknya. Ucapan-ucapan dan tindakan pejabat-pejabat tinggi di lingkaran pemerintahan menimbulkan keraguan besar tentang komitmen Prabowo terhadap integritas publik.

Oleh: Radhar Tribaskoro, Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI)

SALAH satu hal yang saya sangat tunggu dari Presiden Prabowo Subianto adalah pandangannya tentang demokrasi di Indonesia. Boleh dibilang Prabowo minim sekali berkomentar tentang hal itu. Termasuk ketika seluruh Indonesia heboh perihal nepotisme yang berada di balik pencalonan dari Wapresnya Gibran Rakabuming Raka.

Demikian juga saat netizen ramai mempersoalkan postingan sarat kebencian dan mesum dari wapresnya itu dalam akun Fufufafa. Kebisuan itu seakan mengisyaratkan Prabowo tidak punya masalah dengan kemunduran demokrasi dan semakin meruyaknya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Bila hal ini benar maka lampu merah bagi rakyat, khususnya masyarakat sipil. Kemerosotan dari demokrasi Indonesia nampaknya akan berkelanjutan.

Tetapi akhirnya apa yang saya tunggu datang juga. Pada pidato pelantikannya 20 Oktober 2024 Presiden Prabowo mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia harus sesuai dengan budaya lokal, di mana ekspresi politik harus dilakukan dengan santun, tanpa caci-maki, atau penghinaan.

Uraian ini, sekali lagi, terlalu minimalis, normatif dan kehilangan konteks. Budaya santun itu sudah melekat bagi rakyat Indonesia, tidak perlu dipertentangkan dengan demokrasi. Di dalam lingkungan legislatif, eksekutif, dan judikatif, perdebatan memang harus santun.

Karena mereka setara dan mewakili lembaga negara dengan fungsi berbeda. Perselisihan di antara mereka harus diselesaikan dengan cara yang santun dan sopan. Namun, dalam hubungan antara rakyat dengan pejabat yang digaji rakyat, tidak perlu kesantunan itu. Apa perlunya kita sopan pada koruptor? Kita justru meminta mereka dihukum mati.

Menurut saya, pidato itu gagal menyentuh isu-isu fundamental yang telah menggerogoti demokrasi Indonesia. Saya kecewa.

Namun. beberapa hari kemudian, dalam rapat kabinet pertamanya, Prabowo memberikan suatu pandangan yang agak lebih jelas tentang demokrasi ini. Ia menyatakan bahwa demokrasi yang sebenar-benarnya adalah memberikan pendidikan dan kesehatan seluas-luasnya. Demokrasi ini seperti apa yang diwakili oleh pandangan itu?

Pandangan ini mewakili konsep demokrasi substantif. Dalam demokrasi substantif, hasil lebih diutamakan ketimbang prosesnya. Menurut para penganut pandangan ini nilai-nilai demokrasi seperti HAM, kebebasan dan persamaan boleh diabaikan demi meraih tujuan sosial maupun ekonomi.

Keberhasilan sosial-ekonomi di Singapura, China dan Rusia sering diajukan sbagai contoh praktik demokrasi substantif.

Demokrasi Substantif vs Demokrasi Prosedural

Demokrasi substantif menekankan hasil atau substansi dari demokrasi, yaitu apakah demokrasi benar-benar membawa manfaat bagi rakyat. Negara dianggap demokratis jika mampu menyediakan kebutuhan dasar yang diperlukan untuk kehidupan yang bermartabat bagi semua warganya. Para pendukung konsep ini mengatakan bahwa demokrasi harus dilihat bukan hanya sebagai proses politik, tetapi juga sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi rakyat.

Konsep demokrasi substantif sama sekali bukan baru buat kita orang Indonesia. Selama 32 tahun rejim Orde Baru selalu mengumandangkan dalih itu. Misalnya, dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 1982 Presiden Soeharto mengatakan, “Demokrasi tidak hanya soal kebebasan politik, tetapi soal bagaimana kita bisa memberi makan rakyat, memberi mereka pekerjaan, dan menciptakan stabilitas. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menimbulkan kekacauan."

Kutipan ini menggambarkan dengan jelas bagaimana Soeharto memprioritaskan hasil nyata bagi rakyat (kesejahteraan ekonomi, stabilitas politik) di atas prosedur demokrasi seperti kebebasan politik.

Kebalikan dari konsep demokrasi subsntatif adalah demokrasi prosedural. Konsep ini terbukti berhasi menciptakan stabilitas politik jangka panjang dan kesejahteraan. Contohnya bisa dilihat di India, Botswana dan Kosta Rika.

Di ketiga negara itu demokrasi tumbuh dengan sehat bersamaan dengan penyelenggaran pemilu yang jujur dan adil, transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, penghormatan atas hak-hak sipil. Dalam demokrasi yang sehat itu, ketiga negara tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi yang juga sehat.

Kosta Rika bahkan tidak lagi memiliki angkatan bersenjata. Kelas sosial di Amerika Latin yang gemar melakukan kudeta itu telah dibubarkan pada tanggal 1 Desember 1948. Sejak itu Kosta Rika bangkit menjadi negara yang damai dan stabil, serta memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Amerika Tengah.

Demokrasi prosedural sendiri adalah konsep demokrasi yang menekankan pentingnya pelaksanaan prosedur-prosedur formal dalam sistem politik. Ini mencakup elemen-elemen seperti pemilu yang bebas dan adil, transparansi dan akuntabilitas, kebebasan berpendapat, hak-hak sipil, kebebasan pers, pluralisme politik, dan supremasi hukum.

Inti dari demokrasi prosedural adalah proses, bukan hasil. Dalam demokrasi ini, yang dianggap penting adalah mekanisme yang memastikan bahwa kekuasaan dipegang oleh mayoritas melalui pemilu, dan bahwa hak-hak minoritas dilindungi melalui hukum dan institusi demokratis.

Dalam demokrasi prosedural tersebut, legitimasi suatu pemerintahan tidak hanya dilihat dari hasil kebijakannya, tetapi juga dari cara pemerintahan tersebut berkuasa. Sistem checks and balances, transparansi, dan akuntabilitas menjadi elemen penting untuk mencegah penyalahgunaan suatu kekuasaan.

Pendukung dari konsep demokrasi prosedural ini, antara lain Robert Dahl (1971), Samuel P. Huntington (1991), Larry Diamond (2008).

Prabowo Mungkin Berhasil

Saya percaya Presiden Prabowo tidak bermaksud kembali ke era Orde Baru, karena ia adalah pembelajar sejarah yang baik. Pelajaran yang tidak boleh kita ulangi lagi adalah menjadikan konsep demokrasi substantif tersebut sebagai dalih bagi penguasa untuk bertindak sewenang-wenang dan membangun rejim otoritarian.

Menurut Ray Dalio, salah satu narasumber Hambalang Retreat, salah satu kunci keberhasilan suatu bangsa adalah menemukan keseimbangan di antara kebebasan dengan kestabilan politik. Dimana keseimbangan itu?

Demokrasi substantif memberi kekuasaan yang sangat besar kepada penguasa untuk membatasi kebebasan publik. Keseimbangan yang dicari oleh Ray Dalio itu terletak di sini: apakah penguasa akan menggunakan kekuasaan itu untuk melestarikannya, menumpuk kekayaan dan kepentingan diri dan kelompok?

Soeharto dan Jokowi terbukti gagal, negara dipenuhi oleh korupsi, perilaku amoral dan tata-kelola yang tidak-transparan. Hal yang sama terjadi pada rejim Chavez di Venezuela dan Robert Mugabe di Zimbabwe.

Sebaliknya ada negara-negara yang berhasil menerapkan demokrasi substantif dengan persyaratan yang ketat atas standar etika pejabat publik, tindakan keras dan lugas kepada pelaku korupsi dan menjalankan tata-kelola negara secara transparan dan akuntabel.

Contoh klasik dalam hal ini Lee Kuan Yew di Singapura. Ia berhasil meningkatkan pendapatan per kapita rakyatnya sebagai salah satu yang tertingi di dunia. Ia berhasil karena menerapkan ketiga mantra yang telah disebutkan di atas: berantas korupsi, etika tinggi dan tata-kelola publik yang bersih dan transparan.

Demokrasi substantif juga berhasil di Malaysia dan Cina. Malaysia tidak ragu mengirim mantan perdana menteri Najib Razak dan istrinya ke penjara atas kasus korupsi. Xi Jinping melancarkan kampanye anti-korupsi yang sangat masif pada 2012. Manuver yang dikenal sebagai Kampanye Macan dan Lalat, untuk menyebut koruptor di tingkat atas dan bawah, berhasil menangkap tidak kurang dari 1,5 juta koruptor.

Di atas pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi inilah, demokrasi substantif berpotensi berhasil.

Contoh Angola

Sengaja saya memberi perhatian khusus kepada Angola. Negara ini memiliki pemimpin yang kurang lebih sama dengan Indonesia. Seperti Prabowo, João Lorenco memenangkan pilpres Angola 2017 karena dukungan dan promosi penuh dari presiden sebelumnya, Jose Eduardo dos Santos.

Oleh Dos Santos, João Lorenco sejak lama telah ia persiapkan menjadi pemimpin Angola untuk melindungi diri dan keluarganya. Pada saat itu Angola hampir tenggelam karena salah kelola, nepotisme meruyak dimana-mana, dan korupsi besar-besaran terjadi pada perusahaan minyak negara Sonangol yang dilakukan oleh keluarga Dos Santos dan kroni-kroninya.

Pendapatan negara sangat tergantung (90%) kepada minyak sehingga ekonomi negara sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak. Lorenco harus melakukan diversifikasi ekonomi, dengan mengundang investasi asing, memperbaiki tata-kelola negara dan memberantas korupsi.

João Lourenço mulai menindak keluarga dos Santos dan sekutu-sekutunya untuk membersihkan pemerintahan dari korupsi. Salah satu target utama adalah Isabel dos Santos, putri José Eduardo dos Santos, yang dituduh melakukan korupsi besar-besaran selama memimpin perusahaan minyak negara, Sonangol.

Isabel dos Santos mulai diselidiki oleh pemerintah Angola pada akhir 2018, dan pada 2019-2020, penyelidikan terhadapnya berkembang menjadi salah satu skandal korupsi terbesar di Angola. Pada awal 2020, pengadilan Angola membekukan aset Isabel dos Santos di Angola, dan dia didakwa dengan berbagai tuduhan korupsi, penggelapan dana, dan penipuan.

Saudara Isabel, José Filomeno dos Santos, yang memimpin dana kekayaan negara Angola, juga diadili dan dijatuhi hukuman penjara atas kasus penyalahgunaan dana.

Langkah ini berhasil mengurangi dominasi elite lama dan membuka ruang bagi pembaruan politik. Pada 2022, pemilu Angola tercatat sebagai pemilu paling demokratis sejak Angola merdeka. João Lourenço mulai mengurai politik Angola yang pengap, partai oposisi mulai bernafas lega.

Tindakan Lourenço menunjukkan bahwa, meskipun demokrasi substantif menekankan hasil sosial dan ekonomi, standar etika dan komitmen terhadap pemberantasan korupsi tetap menjadi fondasi penting bagi kesuksesan sistem tersebut. Demokrasi substantif di Angola belum memberikan hasil yang diharapkan, kemiskinan masih tinggi tetapi udara Angola sekarang lebih cerah, dipenuhi oleh harapan.

Apakah Prabowo Menunjukkan Kesungguhan?

Kembali ke Indonesia, pertanyaannya sekarang adalah: apakah Presiden Prabowo menunjukkan kesungguhan dalam menjalankan tiga mantra keberhasilan demokrasi substantif.

Yaitu pemberantasan korupsi, etika publik yang tinggi dan transparansi dalam tata-kelola negara? Beberapa tanda-tanda awal dari pemerintahannya menimbulkan keraguan serius.

Ucapan Prabowo, "Etika, ndasmu!" dalam kampanye Pilpres 2024 lalu, menimbulkan kekhawatiran bahwa ia tidak terlalu memedulikan standar etika dalam pemerintahan. Pernyataan ini jelas sangat bertolak belakang dengan prinsip moralitas yang diperlukan dalam demokrasi substantif.

Jika seorang presiden meremehkan pentingnya etika, sulit bagi masyarakat untuk mempercayainya bahwa pemerintahannya akan menjaga integritas. Keraguan itu semakin menguat setelah Prabowo merekrut belasan menteri Jokowi untuk menjadi anggota kabinetnya.

Selain itu, tindakan pejabat-pejabat tinggi di kabinet Prabowo juga tidak memberikan harapan besar. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang seharusnya membantu menjaga standar moralitas dalam pemerintahan, justru terlibat dalam skandal ujaran yang kasar, mesum, dan sarat kebencian.

Perilaku ini mencerminkan rendahnya standar etika di tingkat tertinggi pemerintahan, dan merusak kepercayaan publik terhadap moralitas pemerintah.

Lebih jauh lagi, kasus-kasus seperti dugaan gelar doktor sub-standar Menteri Bahlil Lahadalia, serta penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi oleh Menteri Yandri, yang menunjukkan kurangnya komitmen pemerintah untuk menegakkan standar etika dan moralitas publik.

Jika pejabat-pejabat tinggi terlibat dalam skandal-skandal seperti ini, sangat sulit bagi masyarakat untuk percaya lagi bahwa pemerintahan Prabowo benar-benar berkomitmen pada integritas dan pemberantasan korupsi.

Berbeda dengan presiden Angola yang berani menindak keluarga dan pengikut politik mantan presiden meskipun mereka adalah mentor politiknya, Prabowo sejauh ini belum menunjukkan langkah nyata untuk menindak tegas pejabat-pejabat yang melanggar etika.

Kegagalan untuk menunjukkan keseriusan dalam upaya memberantas korupsi dan menjaga standar moralitas publik hanya akan memperburuk persepsi bahwa demokrasi substantif yang diusung oleh Prabowo tidak lebih dari sekadar retorika politik. Demkrasi substantif kembali menjadi dalih untuk kekuasaan otoriter.

Penutup

Demokrasi substantif yang diusung Prabowo dapat menjadi solusi bagi tantangan sosial-ekonomi di Indonesia, namun keberhasilannya sangat bergantung pada penerapan standar moral yang tinggi dan pemberantasan korupsi.

Contoh dari negara-negara seperti Singapura, China, Malaysia, Vietnam, dan Angola menunjukkan bahwa demokrasi substantif hanya akan diterima oleh rakyat jika pemerintah menjaga integritas dan menunjukkan komitmen nyata untuk menindak pejabat korup.

Sayangnya, tanda-tanda awal dari pemerintahan Prabowo justru menunjukkan sebaliknya. Ucapan-ucapan dan tindakan pejabat-pejabat tinggi di lingkaran pemerintahan menimbulkan keraguan besar tentang komitmen Prabowo terhadap integritas publik.

Jika Prabowo tidak segera menunjukkan langkah tegas untuk menjaga moralitas dan menindak korupsi, demokrasi substantif yang ia usung mungkin hanya akan menjadi kedok saja untuk bisa mempertahankan kekuasaan tanpa memberikan perubahan substansial yang dijanjikan kepada rakyat. (*)