Profesor "Belegug"
Berulang-ulang membaca UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, ternyata tidak ada satu pasal atau ayat pun yang menyatakan bahwa Hakim dapat ditangkap jika konten Putusannya salah, termasuk Hakim MK.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
KETIKA Megawati mendapat gelar Profesor Honoris Causa publik meramaikan karena di samping meragukan kualifikasi juga dianggap meruntuhkan wibawa akademik Guru Besar. Kekuasaan dapat "membeli" gelar.
Bambang Soesetyo juga sibuk ajukan Profesor "loncat jabatan" padahal ia baru Lektor. Ternyata S2-nya lebih dulu dari S1-nya. Jangan-jangan besok anugerah diberikan kepada "Insyinyur" Joko Widodo. Nah, Prof (HC) Dr (HC) Ir (HC) Joko Mulyono, MA. Master Abal-abal.
Kekuasaan dan kekayaan "membeli" gelar menjadi fenomena buruk negeri ini. Kasihan para dosen yang berdedikasi tapi tidak punya kekuasaan dan kekayaan begitu mudah untuk "disalip" oleh para politisi atau pengusaha. Dunia akademik diacak-acak oleh para kapitalis.
Tapi maklum juga sih, Menteri Pendidikannya juga cuma pakar Ojek Online. Pokoknya kurikulum merdeka-lah. Semau gue aje, kata Nadiem Makarim.
Ada juga Profesor yang memang jenjang akademiknya benar, tetapi lagi-lagi terjebak soal beli-belian kekuasaan dan kekayaan. Guru Besar belian seperti ini mengganti terma budak belian dulu. Guru Besar bermental budak (sklaven geist). Tikus berdasi dan ber-barcode harga atau berjas dasi tetapi dasinya terbuat dari tambang yang melilit leher.
Prof. Dr. H. Jimly Ashiddiqie, SH, MH adalah Guru Besar kontroversial, khususnya terkait Gibran Rakabuming Raka bin Jokowi. Akibatnya, muncul panggilan atau gelar-gelar nyinyiran atau sindiran.
Sekurang-kurangnya ada tiga predikat nyinyir yang bisa membuat sedikit nyengir, yaitu:
Pertama, Profesor "Ambigu". Tidak konsisten dalam pendirian khususnya saat mengadili Hakim MK terkait Putusan 90/PUU-XXI/2023. MK MK yang diketuai Jimly memecat Anwar Usman dari jabatan Ketua MK tapi tidak menjalankan UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 17, akibatnya Putusan MK MK banci.
Kedua, Profesor "Fufufafa". Ini atas ucapannya bahwa kasus Fufufafa harus dilupakan, rendah demokrasi, kampungan, dan adu domba. Tampaknya "sense of morality" Jimly rendah sekali. Di saat publik butuh transparansi, justru Jimly menutup. Sikap inkonsistensi ditampilkan kemudiannya ternyata yakin Fufufafa adalah milik Gibran.
Ketiga, Profesor "Belegug". Gambaran dari Guru Besar bidang hukum yang menyimpangkan hukum. Ungkapan jika Hakim PTUN mengabulkan gugatan pembatalan pelantikan Gibran maka Hakim dapat ditangkap, adalah pandangan "belegug" atau bodoh.
Jimly merepresentasi kepentingan siapa sehingga harus melakukan intimidasi atau ancaman?
Ketika keluarga Jokowi terusik, Jimly pasang badan. Citra sebagai pakar hukum digunakan sebagai tameng. Tapi, publik sudah cerdas dan paham akan posisi Jimly Ashdshiddiqie saat ini yang tidak "sidik" lagi dalam menjaga marwah kepakarannya.
Tampaknya ia sudah kecemplung di kolam yang banyak kataknya.
Berulang-ulang membaca UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, ternyata tidak ada satu pasal atau ayat pun yang menyatakan bahwa Hakim dapat ditangkap jika konten Putusannya salah, termasuk Hakim MK.
Dari mana ya Jimly dapat dalil hukum itu?
Jika sampai akhir hayatmya ia tidak melakukan koreksi atas pandangannya, maka bisa disebut: Jimly Ashshiddiqie memang Profesor "belegug".
Lengkap sudah predikat yang melekat Profesor "Ambigu", Profesor "Fufufafa" dan Profesor "Belegug".
Tidak terima? Hayu kita debat! (*)