Puncak Kedunguan DPR: Bentuk DPA
Sudahlah, rakyat sudah tahu tentang skenario DPA yang bernuansa pat gulipat tersebut. Jokowi akan memimpin kaum oligark di dan dari ruang DPA. Silakan paksakan, namun dipastikan hal demikian justru akan menambah mual dan marah rakyat.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
LAYAK bagi Muslim untuk beristighfar atas kedunguan lembaga wakil rakyat DPR. Demi mengabdi pada "Sinuhun" Jokowi sampai tega-teganya memperlihatkan kebodohannya yang luar biasa. Masa’ tidak mengerti aturan dasar bernegara. UUD 1945 sebelum diamandemen telah mengatur Lembaga Tinggi negara yang bernama Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Amandemen UUD 1945 sudah menghapus lembaga ini.
Kini, ngawurnya DPR hendak menghidupkan kembali DPA dengan cara merevisi UU Nomor 19 tahun 2006 tentang Wantimpres. Bersiasat demi Joko Widodo. Prabowo Subianto dan DPR berpikir mencari-cari jalan untuk tempat Jokowi pasca selesai masa jabatan. Setelah "Presidential Club", maka revisi UU Wantimpres itu dianggap solusi penyiasatannya. Jokowi akan menjadi Ketua DPA.
Masalahnya adalah bahwa kewenangan untuk menjadikan DPA sebagai Lembaga Tinggi Negara itu ada pada MPR. Tidak bisa dengan revisi atau otak-atik Undang-Undang. Jalannya hanya melalui amandemen UUD 1945 atau putusan MPR untuk kembali ke UUD 1945 asli.
Dengan kembali ke DPA, Ketua DPD La Nyalla Matalitti menyambut gembira karena itu "pertanda" UUD 1945 asli akan diberlakukan kembali. Aspirasi lain ialah GBHN yang hilang konon diperlukan lagi. La Nyalla lupa bahwa soal DPA yang diagendakan kini jalannya inkonstitusional yaitu melalui revisi Undang-Undang. Jika ini yang didukung ya Ketua DPD sama saja linglungnya dengan DPR.
Ketika semua berorientasi kepada Jokowi maka dipastikan akan ngawur. Sungguh aneh para politisi di negeri ini, sampai segitunya merendahkan martabat dirinya. Apa sih istimewanya Jokowi? Tidak ada.
Ia bukan Presiden andalan, hanya Presiden jago penyanderaan. Lalu DPR apakah pula sedemikian tersanderanya oleh Jokowi? Jika benar begitu, maka DPR memang sudah tidak berguna, bubarkan saja.
Batalkan agenda revisi UU Nomor 19 tahun 2006 yang ingin mengubah Wantimpres menjadi DPA, apalagi Jokowi sebagai Ketuanya. Jokowi bukannya mesti diberi tempat sejajar dengan Presiden, melainkan harus ditangkap dan diadili pasca menjabat Presiden. Jokowi tidak boleh lepas tangan atas dosa-dosa politik yang telah dilakukannya.
Dugaan korupsi, pelanggaran hak asasi, penghianatan negara, machiavellisme, penyanderaan, penghambaan pada China, serta berbagai kebohongan patut untuk diperiksa. Termasuk juga kesehatannya. Bagaimana untuk mengambil keputusan penting seperti lock down masa Covid 19 cukup dengan semedi?
Apa sebenarnya agama Jokowi itu? Ali Ngabalin bersaksi atas kesukaan Jokowi bersemedi. Ini melebihi ulama, katanya. Ulama mana yang semedi? Entahlah. Ngabalin atau ngatain?
Penyiasatan Jokowi, Prabowo, dan DPR mengabaikan kepentingan rakyat. Mereka berpikir tentang kepentingan dirinya sendiri saja. Inilah karakter penguasa culas, curang, dan culun. Negara hanya dianggap mainan yang hanya berfungsi sebagai sarana bagi kepuasan sendiri. Aturan dibuat untuk itu baik PP, Keppres, Perpres, Inpres, dan lainnya.
Sudahlah, rakyat sudah tahu tentang skenario DPA yang bernuansa pat gulipat tersebut. Jokowi akan memimpin kaum oligark di dan dari ruang DPA. Silakan paksakan, namun dipastikan hal demikian justru akan menambah mual dan marah rakyat.
Bagi Jokowi mungkin DPA adalah "Dewan Perintah Agung", sedangkan bagi Prabowo DPA itu "Dewan Pertimbangan Abal-abal".
Jadi DPA sebenarnya merupakan "Dewan Permainan Akal-akalan".
Bersama DPR, Jokowi, dan Prabowo sedang mengakali rakyat dan bangsa Indonesia. Jokowi, Prabowo, dan DPR diprediksi akan menjadi musuh rakyat. Tinggal menunggu waktu saja untuk pembuktiannya. (*)