Rejim Hibrida Prabowo

Persekongkolan ini mencerminkan kecenderungan otoritarian dalam demokrasi yang seharusnya memberikan rakyat suara yang sejati. Demokrasi yang dirampas dari pilihan yang bebas dan adil tidak lagi dapat disebut demokrasi.

Oleh: Radhar Tribaskoro, Komite Eksekutif KAMI (Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia)

REJIM hibrida adalah rejim kekuasaan yang memiliki semua institusi demokrasi tetapi minim bahkan kosong nilai-nilai demokrasinya. Jalan Rejim Hibrida telah dibentuk oleh Joko Widodo sepanjang sepuluh tahun kekuasaannya.

Apakah Prabowo Subianto akan melanjutkan jalan itu? Jawaban atas pertanyaan itu tergantung pada bagaimana set up Koalisi Indonesia Maju Plus yang dicetuskan pada tanggal 8 Agustus 2024 lalu.

KIM Plus adalah koalisi raksasa yang dibentuk oleh Prabowo dengan mengajak gabung semua lawan politiknya pada Pilpres yang lalu. Pada pertemuan 8 Agustus, partai PKS, PKB dan Nasdem dikabarkan akan bergabung ke dalam KIM Plus.

Apa yang terjadi bila koalisi raksasa KIM Plus terwujud? Ini berarti hanya tersisa PDI Perjuangan yang bisa menjadi kekuatan penyeimbang pemerintah. Kondisi ini menciptakan parlemen yang homogen: KIM Plus setidaknya menguasai 84% kursi parlemen.

Apakah situasi ini tidak akan mengancam demokrasi?

Dampak Koalisi Rakyat

Koalisi dalam politik adalah hal yang lumrah. Seorang presiden terpilih pasti menghendaki dukungan parlemen. Cara termudah baginya adalah berbagi kekuasaan dengan partai-partai yang bersedia bergabung ke dalam koalisi yang dibikinnya. Namun terdapat perbedaan dalam praktik koalisi di Indonesia maupun di dunia.

Di dunia, koalisi partai terjadi karena ada persamaan ideologis. Partai-partai yang berkoalisi tersebut menyepakati lebih dulu suatu platform ideologis yang menentukan bagaimana sikap partai itu dalam berbagai isu politik. Meskipun demikian, ruang untuk interpretasi dan negosiasi lebih lanjut tetap ada.

Sebagai contoh Koalisi CDU/CSU (Christian Democrat Union/Christian Social Union) dan Social Democrat Party (2013-2017 & 2017-2021). Selama krisis migrasi Eropa, CDU/CSU (partai kanan-tengah) dan SPD (partai kiri-tengah) memiliki pandangan yang berbeda tentang kebijakan migrasi.

SPD lebih mendukung kebijakan yang lebih inklusif, sementara CDU/CSU mengambil sikap yang lebih konservatif dan berhati-hati terkait penerimaan migran. SPD juga sering mendorong kebijakan kesejahteraan dan proteksi sosial yang lebih luas, sementara CDU/CSU lebih mengedepankan disiplin fiskal dan pengendalian anggaran

Perbedaan di atas biasanya diselesaikan melalui negosiasi dan kompromi. Setiap partai dalam koalisi harus bernegosiasi dan berkompromi untuk mencapai konsensus dalam isu-isu tertentu.

Maka debat dan perbedaan pandangan tersebut bukan hal tabu melainkan mencerminkan dinamika demokrasi yang sehat di Jerman, di mana tidak ada satu partai atau koalisi yang telah mendominasi tanpa perdebatan.

Meskipun ada perbedaan pandangan, partai-partai dalam koalisi biasanya berusaha keras untuk menjaga keberlanjutan pemerintahan, karena kegagalan dalam mencapai konsensus tersebut bisa menyebabkan jatuhnya pemerintahan dan pemilu dini.

Di Indonesia, koalisi pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono alias SBY (2004-2014) relatif bekerja sebagaimana koalisi di Jerman. Banyak debat dan perbedaan pendapat di kalangan anggota koalisi, misalnya dalam penentuan calon kepala daerah. Walau begitu koalisi SBY selamat sampai akhir dan mencetak pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun.

Namun dalam 10 tahun terakhir koalisi partai yang mendukung Joko Widodo diwajibkan untuk satu suara, seia sekata dalam semua urusan politik. Jokowi mengatakan, “Hanya ada satu visi yaitu visi presiden.” Jadi, koalisi Jokowi tidak membangun visi bersama. Mereka hanya boleh mengikuti saja kemauan presiden: tidak ada debat, tidak ada perdebatan.

Akibatnya, terjadi kemunduran demokrasi yang parah. Jokowi menyalahgunaan kekuasaan dengan membatasi pilihan rakyat secara semena-mena, mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya memberikan kesempatan yang adil bagi semua individu untuk berpartisipasi dalam proses politik.

Koalisi besar Jokowi, dengan demikian, tidak lain adalah persekongkolan politik untuk merusak demokrasi.

Apa yang terjadi pada Koalisi Besar Jokowi bisa terjadi pada Koalisi Raksasa KIM Plus. Pilkada Jakarta bisa menjadi contoh.

Dalam kasus ini, keputusan elit politik KIM Plus untuk mengonsolidasikan dukungan hanya kepada satu calon, yaitu Ridwan Kamil, telah secara efektif menghapuskan pilihan bagi rakyat Jakarta.

Dengan besarnya koalisi KIM Plus praktis tidak ada cukup dukungan bagi pesaing Ridwan Kamil. Di titik ini esensi demokrasi, yang didasarkan pada partisipasi dan pilihan bebas, hilang. Jika Anda tidak setuju dengan Ridwan Kamil sebagai calon gubernur, Anda hanya dapat memilih kotak suara kosong—sebuah pilihan yang secara jelas tidak akan menghasilkan perubahan.

Mengapa Tidak Demokratis?

Koalisi besar yang menyediakan calon tunggal atau calon semu adalah tidak demokratis karena mereka merampas hak rakyat untuk memilih pemimpin mereka. Dalam demokrasi sejati, rakyat harus memiliki pilihan antara beberapa kandidat yang layak, yang menawarkan visi dan kebijakan yang berbeda.

Namun, ketika elit politik bersekongkol untuk menyingkirkan kompetisi dan memaksakan satu calon saja, mereka merampas hak publik untuk memilih, mengubah proses pemilihan menjadi prosedur formalitas yang absurd. Ini bukanlah demokrasi, melainkan manipulasi sistem politik yang menyamar sebagai demokrasi.

Partai politik yang diberi wewenang untuk memilihkan calon pemimpin terbaik terbukti bersekongkol, menelikung hak rakyat.

Ketika rakyat dihadapkan dengan pilihan yang terbatas pada satu calon, atau bahkan calon semu, mereka kehilangan suara mereka.

Pemilihan yang seharusnya menjadi sarana untuk mengekspresikan kehendak rakyat berubah menjadi ritual kosong tanpa makna. Bagaimana bisa kotak suara kosong – yang tidak mewakili apa pun – menjadi pilihan yang sah dalam sebuah pemilu? Jawabannya tentu saja, tidak bisa.

Pemilihan menjadi absurd, dan partisipasi rakyat, yang seharusnya menjadi inti dari demokrasi, menjadi tidak berarti.

Siapa yang bertanggung jawab atas absurditas ini? Mereka adalah elit yang berkomplot untuk sengaja merampok hak-hak publik.

Dengan menyingkirkan calon lain yang potensial dan memusatkan dukungan hanya pada satu individu, mereka memastikan bahwa proses demokrasi tidak lebih dari sebuah sandiwara.

Persekongkolan ini mencerminkan kecenderungan otoritarian dalam demokrasi yang seharusnya memberikan rakyat suara yang sejati. Demokrasi yang dirampas dari pilihan yang bebas dan adil tidak lagi dapat disebut demokrasi.

Kesimpulan

Dengan mengabaikan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan menciptakan kondisi di mana pilihan rakyat terbatas hanya pada satu calon, elit politik tidak hanya menodai proses pemilihan tapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem politik itu sendiri.

Nepotisme dan persekongkolan politik yang menghasilkan calon tunggal tersebut adalah bentuk pengkhianatan terhadap esensi demokrasi, di mana hak rakyat untuk memilih dan menentukan masa depan mereka seharusnya menjadi yang utama. (*)