Ricuh Sidang Paripurna DPD RI: Karena Ada Yang Terancam Gagal Usung Paket Pimpinan?

Nah, rupanya, mengacu kepada Deklarasi Paket Pimpinan yang terdiri dari AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Nono Sampono, Elviana, dan Tamsil Linrung yang telah didukung mayoritas Anggota DPD RI masa bakti 2024-2029, membuat kemungkinan sulit akan lahir Paket tandingan yang lebih kuat.

Oleh: Muslim Arbi, Direktur Gerakan Perubahan

SIDANG Paripurna Masa Sidang V Tahun 2023-2024 yang digelar Jumat (12/7/2024) tiba-tiba menghiasi semua lini media massa. Baik cetak maupun elektronik. Pasalnya bukan karena pentingnya materi yang dibahas, tetapi karena ada beberapa anggota DPD RI yang memprotes salah satu agenda Sidang Paripurna yang tengah dibacakan oleh Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, selaku pimpinan sidang.

Apa sebenarnya yang terjadi di balik kericuhan hari Jumat sore itu? Penulis mencoba menelusuri dengan mempelajari aturan dan tata cara persidangan di DPD RI. Termasuk membaca beberapa aturan dan dokumen yang coba penulis telusuri. Dari hasil telaah tersebut, penulis menyimpulkan beberapa hal yang patut untuk dicermati, sebagai bagian dari cara pandang yang utuh untuk melihat persoalan ini.

Pertama, dari tata cara persidangan. Materi dan agenda sidang paripurna itu tidak muncul begitu saja. Karena urut-urutannya sudah diatur di tata tertib dan tata cara persidangan. Yaitu, dengan diawali dari Rapat Pimpinan (Rapim). Lazimnya sehari atau dua hari sebelum Sidang Paripurna (Sipur).

Di dalam Rapim tersebut, dibahas pokok-pokok materi yang akan dibahas di Sipur. Dari hasil Rapim itu, dibahas lagi di tingkat Panitia Musyawarah (Panmus) untuk difinalisasi menjadi materi Sipur. Panmus lazimnya digelar sehari sebelum Sipur. Di dalam Panmus, selain dihadiri pimpinan DPD RI, juga dihadiri pimpinan Alat-Alat Kelengkapan yang ada di DPD RI. Jadi, di dalam rapat Panmus itu, sudah representasi dari semua Anggota.

Barulah digelar Sipur. Yang artinya semua agenda yang akan disampaikan dan diambil keputusan di dalam rapat Sipur, sudah melalui proses dan tahapan yang telah disepakati di tingkat Pimpinan dan Panmus, yang merupakan representasi semua pimpinan Alat Kelengkapan (Alkel).

Jadi seharusnya semua sudah clear. Sehingga seharusnya tidak ada penolakan atas agenda yang akan dibacakan. Seharusnya sudah mirip dengan organisasi-organisasi besar yang profesional, saat menggelar Kongres. Seperti Kongres FIFA misalnya. Di mana materi-materi krusial sudah disiapkan dan dibahas di tingkat Konfederasi, seperti AFC, UEFA, Concacaf, dan lain-lain.

Kedua, dari tangkapan media, kericuhan kemarin dipicu oleh interupsi dan penolakan agenda oleh beberapa anggota, yang kemudian mereka maju mendekati meja pimpinan sidang, dengan tujuan agar pimpinan sidang menghentikan agenda ketika membacakan isi pasal-pasal Tata Tertib baru DPD RI yang akan disahkan dalam Sipur hari itu.

Terekam dalam kamera dan foto, sejumlah anggota maju ke meja pimpinan sidang. Seperti Filep Wamafma (Papua Barat), Ahmad Nawardi (Jawa Timur), Angelius Wake Kako (NTT), Yorrys Raweyai (Papua), Hasan Basri (Kaltara) dan Zuhri M. Syazali (Babel). Bahkan Nawardi terekam kamera sempat merebut mic pimpinan sidang dan berupaya mengambil palu sidang. Sementara sejumlah anggota lainnya terlihat juga melakukan interupsi dari meja masing-masing.

Kericuhan di depan meja pimpinan tersebut membuat beberapa anggota yang mendukung supaya Tatib disahkan ikut maju untuk membentengi meja pimpinan sidang. Seperti Habib Ali Alwi (Banten), Andi M. Iksan (Sulsel), Ja’far Alkatiri (Sulut), Sukiryanto (Kalbar), Tgh. Ibnu Halil (NTB) dan Fachrul Razi (Aceh).

Jadi sudah clear, siapa yang sebenarnya yang membuat ribut di Sipur tersebut? Siapa yang sengaja menggagalkan agenda Sipur yang sebenarnya sudah pula disusun dan difinalisasi mulai dari tingkat Rapim hingga Panmus? Lantas mengapa mereka yang memulai kericuhan melakukan itu? Apa yang melatari di balik agenda penolakan pengesahan Tatib di Sipur hari itu? Coba kita telaah.

Mengikuti dugaan yang disampaikan Wakil Ketua I DPD RI, Nono Sampono, bahwa patut diduga karena ada Pasal yang menghalangi beberapa orang untuk dapat maju menjadi pimpinan. Seperti tertuang di dalam Pasal 91 Ayat (5) huruf b, yang menyatakan bahwa calon pimpinan DPD RI tidak pernah melakukan pelanggaran tata tertib dan kode etik yang ditetapkan dengan keputusan Badan Kehormatan (BK).

Pasal yang sebenarnya sangat bagus dalam konteks good governance tersebut, seharusnya justru dipertahankan. Bukan ditolak. Karena memang lembaga negara harus dipimpin orang yang tidak pernah divonis sanksi oleh BK. Nah, jadi lain ceritanya jika ada Anggota yang berniat ingin menjadi pimpinan, tetapi punya catatan pernah disanksi oleh BK.

Dalam catatan penulis, anggota DPD asal Gorontalo, Fadel Muhammad punya catatan itu. Karena pada tahun 2023, mantan Gubernur Gorontalo itu pernah masuk meja persidangan BK DPD RI dan mendapat sanksi etik.

Sementara informasi yang beredar di kalangan wartawan, Fadel berniat maju menjadi Ketua DPD bersama Yorrys Raweyai (Papua), GKR Hemas (DIJ) dan Sultan Najamudin (Bengkulu).

Lalu ada pula yang menyatakan bahwa penolakan agenda Sipur untuk mengesahkan Tatib baru itu, karena Tatib itu sudah hasil finalisasi Tim Kerja (Timja), atas hasil Panitia Khusus (Pansus), di mana menurut mereka, seharusnya hasil Pansus yang dibacakan di Sipur, bukan hasil Timja.

Menurut penulis, dalil itu juga aneh dan melanggar keputusan-keputusan lembaga sebelumnya. Mengapa? Karena Pansus yang dibentuk untuk membuat Tatib selama 6 bulan, hingga ditambah waktu lagi 3 bulan, telah disampaikan hasilnya di dalam Sipur tanggal 5 April yang lalu. Di mana kemudian disepakati akan difinalisasi oleh Pimpinan melalui Timja yang dibentuk.

Timja dibentuk melalui Keputusan Pimpinan untuk melakukan penyempurnaan akhir Tatib. Anggota Timja terdiri dari 7 orang, di antaranya ada nama Filep Wamafma (Papua Barat), yang ketika Sipur Jum’at lalu, ikut memprotes dan menolak pengesahan Tatib hasil Timja yang dibuat juga oleh dirinya sendiri sebagai anggota.

Bahkan dari kalangan yang menolak agenda Sipur itu ada yang menyampaikan pendapat, bahwa keberadaan Timja tidak dikenal di DPD RI, selain Pansus. Pendapat tersebut tentu membuat dahi berkerut.

Karena salah satu dasar hukum pembentukan Timja adalah Pasal 42 Ayat (6) Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tatib. Di mana Timja dapat dibentuk. Sehingga dikenal juga sebagai alat yang bersifat ad-hoc.

Dari telaah tersebut, penulis mencoba mencari informasi dan data seputar isi draft Tatib baru yang akan disahkan tersebut. Termasuk adanya sistem Paket Pimpinan yang harus dibentuk sebelum jam pemilihan. Lengkap dengan dukungan minimal Anggota dari masing-masing Sub Wilayah, yakni Wilayah Barat 1, Barat 2, Timur 1 dan Timur 2, yang angkanya telah diatur di dalam Tatib.

Nah, rupanya, mengacu kepada Deklarasi Paket Pimpinan yang terdiri dari AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Nono Sampono, Elviana, dan Tamsil Linrung yang telah didukung mayoritas Anggota DPD RI masa bakti 2024-2029, membuat kemungkinan sulit akan lahir Paket tandingan yang lebih kuat.

Mengingat deklarasi paket LaNyalla cs tersebut telah meraup dukungan hampir 100 Anggota dari 152 Anggota DPD RI masa bakti 2024-2029.

Jadi, rupanya tradisi ribut demi kepentingan kelompok dan jabatan masih lebih penting, ketimbang ribut-ribut untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. (*)