Selamat Jalan Bang Faisal

Innalillahi wa innalilahi rajiun. Telah berpulang satu orang cerdas, jujur, dan baik hati di negeri ini. Faisal dikenal sebagai ekonom yang idealis dan terpercaya. Semua analisisinya selalu dilengkapi dengan data.

Oleh: Ahmady Meuraxa, Wartawan Tinggal di Medan

KETIKA mendengar ia sedang berada di Medan pada Sabtu 31 Agustus lalu, saya bersama sahabat Irmansyah Lubis lantas menyambanginya ke Hotel JW Marriot untuk berdiskusi berbagai hal soal kebangsaan. Kala itu kondisi kesehatan Faisal Basri terlihat cukup menurun. Saat berjalan dari lift menuju lobby, ia sempat sempoyongan. Hampir saja terjatuh, tapi ia tetap berusaha tegak.

Rencananya kami akan mengajak ia menikmati masakan khas Medan di kawasan kota. Tapi karena kesehatannya tidak mendukung, ia meminta sebaiknya ngobrol di restoran hotel saja.

“Mata saya agak kabur. Saya malah sempat kehilangan orientasi saat turun dari lift tadi. Saya kira hari sudah malam, tak tahunya masih siang,” ujarnya.

Faisal turun dari kamarnya seraya membawa koper dan rangsel karena akan segera berangkat siang itu kembali ke Jakarta.

“Nanti antar saya ke stasion kereta ya,” ujarnya. “Tenang Bang, kami antar langsung ke Bandara Kualanamu saja,” ujar saya. “Nggak usah, saya lebih suka naik kereta. Lebih pasti, lebih santai,” katanya.

Kami pun sempat berbincang ringan di restoran sambil menikmati lontong ala JW Marriot yang tentu saja tidak seenak lontong di pinggir jalan.

“Kesehatanku agak menurun sejak dua bulan terakhir ini. Ada yang mengatakan kalau aku terkena guna-guna karena terlalu sering mengkritik penguasa,” katanya.

Entah itu bercanda atau tidak, Faisal Basri menyampaikan keluhan itu dengan sangat serius. Saat makan satu suap lontong yang tersaji di atas meja, ia sempat terbatuk dan muntah. Namun ia tetap berusaha menelan kembali muntah itu. Mungkin untuk berusaha membuat kami tenang.

Tampak sekali ia berusaha untuk tetap nyaman saat berbincang. Melihat kondisinya yang kurang sehat itu, saya dan Irmansyah tidak banyak cerita yang berat-berat. Kami lebih perhatian pada fisiknya yang cukup menurun. Suaranya pun sangat pelan sehingga perlu konsentrasi penuh untuk bisa mendengar setiap ucapannya.

Kebetulan Irmansyah masih memiliki ikatan persaudaraan cukup dekat dengan beliau. Mereka ini sempat berbincang menanyakan kabar kerabat yang lain. Keduanya sama-sama berasal dari tanah Mandailing. Faisal Basri masih tergolong keponakan dari Adam Malik Batubara, Wakil Presiden (1978-1983).

Faisal Basri sejatinya juga bermarga Batubara. Namun, ia enggan melekatkan marga itu pada namanya. Semua anak-anaknya juga tidak ada yang mencantumkan marga Batubara pada nama mereka.

Saya sempat bercanda, “Bang, kalau Abang tinggal di Sumut, pasti Abang sudah dimarahi para tokoh adat di sini. Harusnya dipakailah marga itu.”

Faisal menjawab santai, “Aku tak mau marga itu terlalu diobral murah. Biarkan dia melekat pada darah dan sejarah. Tapi semua anak saya tahu kalau kami adalah Batubara asal Mandaling,” katanya.

Saat asyik berbincang, Faisal Basri beberapa kali terlihat mengeluhkan yang terasa sakit. Bahkan ia sempat tertidur di kursi seraya tangannya bersender di atas handle koper yang ada di sampingnya. Saya dan Irmansyah tidak berani mengganggu lagi. Tanda-tanda kelelahan terlihat jelas pada wajah dan fisiknya.

Selang 10 menit kemudian ia terbangun dari tidurnya. Kami pun tak mau mengajaknya berbicara panjang lebar lagi karena waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB. Sementara pesawatnya akan berangkat ke Jakarta pada pukul 16.44 WIB.

“Bang, sebaiknya kita berangkat sekarang saja. Yuk kami antar ke stasiun kereta,” ujar Irmansyah.

Kami pun beranjak menuju mobil yang parkir di belakang. Saya terpaksa (yang) harus memegang kopernya karena Faisal Basri terlihat agak kesulitan berjalan. Sesampai di gerbang stasiun di Jalan Jawa, saya segera meminta Satpam mengawalnya naik ke atas. Itulah momen pertemuan kami terakhir dengan ekonom ternama ini.

Sebelumnya, Faisal Basri tiba di Medan pada 29 Agustus 2024 untuk melakukan peninjauan ke wilayah Sidikalang, Kabupaten Dairi. Ada aktivitas tambang yang ingin dipantaunya di kawasan itu. Selama tiga tahun terakhir Faisal mengaku lebih aktif bergelut dalam isu ekonomi dan lingkungan. Perjalanan ke Dairi itu yang sempat ia keluhkan kepada kami.

“Dingin sekali di sana. Sepanjang jalan kaca mobil yang kami tumpangi dibuka. Tidak ada AC sama sekali. Sungguh tidak nyaman bagi saya,” ujarnya. Sepulang dari Dairi itu, kondisi kesehatannya mulai menurun.

Ketika kami berpisah di stasiun kereta, Irmansyah sempat mengingatkan Faisal Basri segera memeriksakan diri ke dokter. Faisal menganggap setuju. Jika kondisinya normal, Faisal berjanji segera kembali ke Medan untuk menghadiri beberapa pertemuan di kampus.

“Pokoknya kalian tentukan saja tanggalnya lebih awal, saya siap datang. Saya akan paparkan data-kebobrokan ekonomi Indonesia di masa Pemerintahan Jokowi kepada para mahasiswa di Medan,” ujarnya.

Kami memang sudah berencana akan membawa Faisal Basri memberikan kuliah umum di lima (5) kampus di Sumut. Kami sangat yakin akan ada banyak sekali informasi menarik yang bisa Faisal Basri sampaikan, termasuk soal penyelundupan nikel yang melibatkan menantu Jokowi, Bobby Nasution.

Namun rencana itu akhirnya terkubur setelah Kamis pagi (5/9/2024) saya mendengar kabar kalau Bang Faisal Basri telah kembali ke pangkuan Allah SWT di Rumah Sakit Mayapada, Kuningan, Jakarta.

Innalillahi wa innalilahi rajiun. Telah berpulang satu orang cerdas, jujur, dan baik hati di negeri ini. Faisal dikenal sebagai ekonom yang idealis dan terpercaya. Semua analisisinya selalu dilengkapi dengan data.

Ia merupakan dosen ekonomi yang cukup disegani di Universitas Indonesia, sekaligus salah satu pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), lembaga riset independen dan otonom yang berdiri pada Agustus 1995 di Jakarta. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosanya.

Selamat Jalan Bang Faisal Basri Batubara. (*)