Sindrom Petahana vs Pemakzulan

Merasa dipilih langsung oleh rakyat, presiden bisa mengabaikan DPR dan pemilihnya. Rakyat bukanlah kelompok yang terorganisasikan, bahkan sudah dipecah menjadi cebong dan kampret, sehingga sulit menagih tanggungjawab presiden.

Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts

KRISIS etika yang melanda lembaga-lembaga tinggi negara versi UUD 2002, MK, KPK, KPU, dan Bawaslu membuktikan bahwa hukum dipermainkan kekuasaan. Etika itu seperti air laut sedangkan hukum adalah kapalnya. Kapal tanpa laut akan kandas, miring, lalu roboh.

Sampai dengan hari ini, kasus BLBI dan Ferdy Sambo hilang, walau yang terlibat sudah dihukum, tapi penggelapan uang triliunan rupiah di belakangnya tidak jelas. Terkini Ketua KPK Firli Bahuri jadi tersangka menunjukkan bahwa semua cita-cita reformasi kini kandas.

Kaum liberal yang secara ugal-ugalan telah mengganti UUD 1945 dengan UUD 2002 mengatakan, Pilpres langsung one man one vote adalah puncak kemenangan civil society atas otoriterianisme Orde Baru.

Deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah Joko Widodo selama 9 tahun belakangan ironically membuktikan kemenangan itu. Sejak partai politik sebagai kreasi civil society menempati posisi istimewa, dan bahkan memonopoli politik as public goods, partai politik terbukti merupakan organisasi yang berbahaya karena keistimewaannya dalam UUD 2002.

Ini dikonfirmasi Noam Chomski yang mengatakan bahwa organisasi yang paling berbahaya di dunia adalah Partai Republik AS di bawah Donald Trump, bukan Al Qaeda, atau ISIS, apalagi FPI dan HTI. Sebelum reformasi, Golkar di bawah Soeharto adalah organisasi yang paling berbahaya. Di zaman Soekarno, organisasi itu adalah PKI.

Sejak UUD 2002 menggusur MPR menjadi sekedar panitia joint session antara DPR dan DPD, bukan lagi lembaga tertinggi negara, penagihan pertanggungjawaban President elect dirancang DPR agar sulit jika bukan mission impossible. Ini adalah by design karena biaya Pilpres yang besar membebani APBN sekaligus paslon kontestan.

Bagi 150 juta pemilih dengan tingkat literasi yang buruk, ketimpangan informasi, sosial dan ekonomi yang lebar, mayoritas pemilih akan menentukan pilihannya dengan menebak, hasil penggiringan opini, intimidasi atau politik uang.

Walau paslon hanya bisa diajukan oleh parpol atau gabungan parpol, menghadapi presiden terpilih itu ternyata DPR lemah, apalagi jika Presiden terpilih menggunakan KPK dan Kejaksaan Agung untuk menyandera anggota DPR yang terlibat korupsi. Sementara itu, korupsi anggota DPR itu bagian dari upaya balik modal menjadi anggota DPR.

Karena biaya pencapresan yang mahal sekali itu, presiden terpilih segera mengalami sindrom petahana, yaitu ingin berkuasa terus.

Merasa dipilih langsung oleh rakyat, presiden bisa mengabaikan DPR dan pemilihnya. Rakyat bukanlah kelompok yang terorganisasikan, bahkan sudah dipecah menjadi cebong dan kampret, sehingga sulit menagih tanggungjawab presiden.

Satu masa jabatan presiden hampir tidak mungkin balik modal. Segala cara digunakan untuk periode kedua. Jika dua periode tidak cukup, dicari cara agar pengaruh politiknya terus berlaku, termasuk dengan cara intervensi aparat dan birokrasi serta mencurangi Pilpres 2024 untuk memenangkan paslon penerusnya dan membangun dinasti politik.

Itulah yang sekarang terjadi. Pemakzulan setelah Pilpres 2024 yang diharapkan Eep Saifulloh Fatah tetap akan sulit terjadi. Perubahan nyata bisa terjadi jika president hopeful Anies Rasyid Baswedan menyatakan akan kembali ke UUD 1945 dan menjabat satu periode saja. Mungkin itu diferensiasi yang akan memenangkan Anies pada Pilpres 2024 ini. (*)