Stop Jadi Jongos Politik

Kehidupan manusia menjadi sia-sia lewat pemikiran terus mengalah, sikap diam, narimo pandum tanpa perlawanan dengan luka menganga, dan juga disertai penderitaan tanpa batas keadilan dan perikemanusiaan.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

MENYELAMATKAN dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mutlak dengan perjuangan berani mati, adalah cerminan dari para pahlawan dan para pejuang yang telah mendahului kita: “It's now or never .. Tomorrow will be to late” (sekarang atau tidak pernah – besok atau semua terlambat. Mengenang dalam otak kita sesanti perjuangan para pahlawan kita "hidup atau mati".

NKRI dalam kondisi sakit parah, rakyat harus bangkit melawa: "When justice fails, public opinion takes over. When the law is lost in the extremes of legalism, or bends under the weight of money, mobs begin to burn and murder” (Ketika keadilan gagal, opini publik mengambil alih. Ketika hukum tersesat pada kemudan Undang-Undang atau bengkok karena uang, massa sudah mulai akan membakar dan membunuh).

Anomali yang terus terjadi saat ini harus diperbaiki: Aut non tentaris, aut perfice (laksanakan hingga tuntas atau jangan mengupayakan sama sekali). Diam tertindas atau bangkit melawan.

Mengatasi kondisi saat ini pintu hanya tersisa yang namanya Revolusi. Harusnya berani mati turun ke jalan dalam waktu yang lama dengan target kemenangan yang pasti dan terukur menurunkan Joko Widodo dan menolak hasil Pilpres 2024 hasil rekayasa oligarki dan penjajah gaya baru.

Indonesia telah terhipnotis Presiden yang sudah bersenyawa dengan kekuatan partai sempurna mengubah peran wakil rakyat sebagai aksesoris legalitas konstitusi, metamorfosis bersama sama sebagai boneka dan jongos kekuasaan dan kekuatan, lepas dari jati dirinya sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Partai di Indonesia sudah seperti bebek lumpuh (lame duck) tak berdaya menghadapi penjajah gaya baru, tenggelam dalam praktik politik pragmatis dan transaksional masuk di alam hedonis pemburu kekuasaan semata, rakyat diperbudak seenaknya.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah kosong eksistensi sebagai wakil. Rakyat sebagai pemilik kekuasaan sudah lama dikudeta partai politik. Ketum Partai memiliki kekuasaan sangat besar bisa me-recall anggota yang melawan kebijakannya.

Saat bersamaan Ketum Partai sudah menjadi kongsi Presiden, sumpah setia sebagai budak dan boneka dan jongos oligarki dan kekuatan asing dominan dikendalikan China.

Wajah penjilat para pejabat negara dan petinggi partai menjadi wabah tumbuh subur di Indonesia, mereka tampil mengaku diri sebagai pahlawan tak lebih hanya sebagai sampah negara.

Keadaan yang terus memburuk hanya bisa diatasi dengan people power dan gerakan revolusi yang sesungguhnya. Tinggalkan demo damai dan gerakan sporadis yang oleh penguasa justru hanya sebagai hiburan dan tontonan harian, hanya didalilkan sebagai riak-riak demokrasi.

Percuma aksi damai yang tidak akan menyelesaikan masalah, karena demo tersebut justru selalu diciptakan oleh penguasa sebagai hiasan demokrasi semu produksi penjajah gaya baru.

Kehidupan manusia menjadi sia-sia lewat pemikiran terus mengalah, sikap diam, narimo pandum tanpa perlawanan dengan luka menganga, dan juga disertai penderitaan tanpa batas keadilan dan perikemanusiaan.

Fabel Aesop mengatakan: "mempersiapkan diri setelah bahaya datang adalah sia-sia". Berhentilah hidup hanya sebagai jongos dan budak politik" pada penguasa yang sudah tidak mengenali lagi tujuan negara sesuai dalam Pembukaan UUD 45. (*)