Tampaknya Tom Lembong Tahu Banyak Kejahatan Rezim
Sebagai pebisnis yang dididik untuk berlaku jujur, tentu saja Tom Lembong tidak akan nyaman dengan cara-cara korup. Barangkali itulah sebabnya dia mumutuskan pindah ke lingkaran lain yang dianggapnya lebih cocok dengan karakter antikorupsinya.
Oleh: Asyari Usman, Jurnalis Senior Freedom News
Gibran Rakabumung Raka marah dan dia tunjukkan itu saat Debat Keempat Cawapres 21 Januari 2024. Gibran tiga kali sebut nama Tom Lembong (Thomas Trikasih Lembong) – mantan Menteri Investasi Indonesia (2016–2019) dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia (2015–2016). Kedua jabatan itu pada era Presiden Joko Widodo.
Yang paling seru dan membelalakkan mata adalah kemarahan Luhut Binsar Pandjaitan kepada Pak Tom. Dalam komentar bombastis di kanal Luhut Binsar Pandjaitan beberapa hari lalu, Luhut marah dengan ekspresi wajah yang seolah ingin menerkam mantan menteri lulusan Universitas Harvard itu.
Antara lain, Luhut merendahkan kinerja Tom Lembong selama tujuh tahun menjadi menteri Jokowi. Menurut Luhut, Tom tak becus. Termasuk soal mengurusi OSS (Online Single Submission alias permohonan online satu formulir). Dengan gaya militeristiknya, Luhut juga mempertanyakan soal intelektualitas Tom. Luhut mengatakan, “Anda memang punya intelektualitas tinggi tapi tidak ada karakter.”
Luhut menuduh Tom melakukan pembohongan publik. Dan memberikan masukan yang tidak benar kepada Gus Imin (Muhaimin Iskandar, Cawapres 01). Sewaktu Debat Keempat Cawapres, Ahad (21/1/2024), Gus Imin menyebutkan pemerintah melakukan hilirisasi nikel secara ugal-ugalan yang menyebabkan harga anjlok.
Sekarang kita lihat mengapa Luhut dan Gibran marah sekali pada Tom Lembong? Apa sebabnya? Apakah karena sindiran Pak Tom bahwa dia selama 7 tahun memberikan contekan atau masukan kepada Presiden Jokowi?
Tampaknya bukan itu penyebab utamanya. Ada hal lain. Kelihatannya Tom Lembong banyak tahu borok-borok para penguasa. Sebagai menteri di posisi penting, yakni Perdagangan dan Investasi, Tom pasti mencatat banyak penyimpangan atau praktik korupsi.
Misalnya, boleh jadi Tom pernah didikte agar menyetujui impor komoditas penting seperti beras, gula, terigu, daging, dan lain sebagainya yang penuh permainan.
Sangat mungkin impor-impor itu dijadikan peluang monopoli, mark-up harga, komisi, dan bentuk-bentuk keuntungan ilegal lainnya. Kelihatannya Pak Tom tahu para pemburu rente dari kebijakan impor semasa dia menjadi Menteri Perdagangan itu. Beliau menjadi frustrasi karena tidak terbiasa dengan cara-cara korup.
Impor adalah salah satu sumber duit korupsi yang sangat deras dan relatif aman. Sebagai contoh, jika perusahaan BUMN atau perusahan swasta mendapat mandat untuk mengimpor beras, daging, terigu, dan sebagainya, maka para pejabat yang mendapat izin atau penugasan impor itu biasanya bisa memainkan harga pembelian dan harga penjualan kepada distributor.
Dari sejumlah orang yang pernah bekerja di sebuah BUMN yang melakukan impor, saya mendapat informasi bahwa uang mark-up, komisi, dan sejenisnya itu bisa berjumlah ratusan miliar rupiah, dan bahkan triliunan rupiah. Impor daging, sebagai contoh. Keuntungan resmi bisa mencapai Rp 15,000 hingga Rp 20,000 per kilogram.
Tapi, para pejabat di BUMN pengimpor akan mengambil komisi tak resmi yang bisa sampai angka Rp 10,000 per kilogram. Coba saja dihitung kalau impor daging sapi atau daging kerbau mencapai 150 ribu ton atau 200 ribu ton. Impor 200 ribu ton berarti komisi tak resmi yang diambil oleh para penguasa BUMN importer dari distributor mencapai 200,000,000 kg dikalikan Rp 10,000 sama dengan Rp 2 triliun. Atau katakanlah Rp 5,000 saja per kilo. Masih dapat Rp 1 triliun.
Ini baru dari impor daging sapi atau daging kerbau. Ada sekian banyak komoditas yang “terpaksa” harus diimpor karena produksi lokal tak ada atau tidak mencukupi. Termasuklah beras, gula, terigu, jagung, kedelai dan sebagainya.
Sebagai pebisnis yang dididik untuk berlaku jujur, tentu saja Tom Lembong tidak akan nyaman dengan cara-cara korup. Barangkali itulah sebabnya dia mumutuskan pindah ke lingkaran lain yang dianggapnya lebih cocok dengan karakter antikorupsinya.
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia juga ikut menyerang. Tapi, Pak Tom cukup menjawab agar Bahlil membuka siapa-siapa saja yang telah berinvestasi di IKN. Rupanya, Bahlil tak berani transparan dengan alasan daftar investor IKN itu sifatnya rahasia. Nah, Anda bisa simpulkan sendiri apa yang sebenarnya terjadi.
Sekarang, Tom Lembong lebih senang dan tenang membersamai Anies Baswedan, Capres 01 yang punya pendamping Cak Imin. Dia bagaikan menemukan kembali habitat hidup tanpa korupsi. Tujuh tahun beliau harus menderita di tengah budaya rampok.
Tapi tampaknya Tom Lembong menjadi banyak tahu tentang kejahatan rezim ini. (*)