Taufiq Kiemas Sudah Ingatkan Megawati
Untung PDIP tampil di depan menolak permintaan Jakowi atas bujukan para bandar Oligarkinya. Jokowi marah maka terjadilah penipuan terakhir, saat ujung kekuasaannya Jokowi meninggalkan Megawati (PDIP), tak peduli lagi telah mengantar Jokowi sebagai Presiden dengan suka dukanya.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
SEJARAH rekayasa sosialisasi Joko Widodo menjelang Pilpres 2014 dipromosikan sebagai Calon Presiden RI, dengan tema figur antitesis SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), antara lain dimainkan oleh Karim Raslan. Karim adalah kolumnis dan pengamat ASEAN.
Rekayasa Jokowi dipermak menjadi kandidat Presiden pada tahun 2014 ada kaitannya dengan CIA yang akan mencetak boneka Presiden Kapitalis di Indonesia.
Kemudian, rekayasa lanjutannya adalah datanglah Jokowi ke Singapura dan bertemu dengan Datuk Abdullah – dipromosikan bahwa Jokowi adalah Walikota paling hebat di Indonesia. Datuk Abdullah sempat terkesima dengan kesederhanaannya.
Datuk Abdullah sepertinya tidak percaya dengan kesederhanaan Jokowi yang sederhana segalanya dalam kapasitas, pemikiran, penampilannya sangat rentan dari kemampuan diri sebagai pemimpin apalagi sebagai presiden.
Didukung dengan beberapa media berbayar yang sudah disiapkan, Jokowi ketika itu jujur dengan dirinya sendiri hanya dijalankan oleh kekuatan dari luar dirinya dengan mengatakan: Aku ora mikir - aku ora ngerti (saya tidak berpikir dan saya tidak tahu).
Sejak awal sebenarnya sudah bisa diketahui ada kekuatan yang akan menjadikan Jokowi hanya sekedar robot atau boneka kekuasaan kapitalis AS dan China.
Jakowi ditawarkan ke PDIP sebagai partai pengusungnya. Megawati Soekarnoputri dan Taufiq Kiemas awalnya tidak mau karena tidak kenal lebih dalam siapa sebenarnya Jokowi.
Akhirnya Taufiq Kiemas bisa tahu dan menangkap tanda-tanda bahwa selain Jakowi kapasitas dan kualitasnya sangat rendah, juga memiliki ciri-ciri orang yang tidak bisa dipercaya. Menyarankan Megawati untuk menolaknya karena tiba saatnya orang tersebut akan menipu.
Dari sinilah awal Ibu Megawati masuk perangkap tipuan Jokowi. Jokowi sendiri yang sudah dalam kawalan Oligarki dengan dukungan 9 (sembilan) survei yang akan memainkan elektabilitas dengan segala rekayasa angka untuk meyakinkan PDIP, semua pihak dan masyarakat.
Dalam perkembangannya ada serangan rekayasa awal masuk ke Tengku Umar bahwa dengan figur Jokowi PDIP akan diuntungkan secara politik diyakinkan suara akan naik dari 16 % menjadi sekitar 33 %.
Angka disampaikan melalui hasil survei dan polling abal-abal terus mengawal Jokowi, pada akhirnya hal tersebut adalah penipuan belaka karena PDIP hanya naik sekitar 3%. Ia terlanjur sudah masuk kandang banteng, setelah menjadi Presiden, Jokowi harus menyandang sebagai Petugas Partai.
Dampak yang sangat dirasakan setelah jadi pemimpin hanya sebagai boneka dikendalikan dari luar khusus kendali dari para Pengusaha yang menjadi Penguasa (Pepeng) atau oligarki semua punya kepentingan sendiri-sendiri.
Dampak ikutannya sangat parah, terlalu banyak para pembantu dan orang dekatnya isinya maling semua. Kepemimpinan jauh dari seleksi kompetitif untuk melahirkan pemimpin yang berkualitas dan matang. Asal dekat dengan penguasa, jadikan pemimpin atau pejabat negara.
Berimbas pada proses kepemimpinan ke bawah akhirnya dalam skenario yang sama, seorang Bupati atau Gubernur semua tergantung dan dalam kawalan Oligarki dengan segala akibat dan resikonya.
Sistem pemerintahan menjadi rusak parah dan sekarang ini masalah sangat serius, khususnya rusaknya sistem ketatanegaraan.
Dalam keadaan negara seperti ini masih minta perpanjangan masa jabatan. Adanya rekayasa ingin ada tambahan masa jabatan presiden adalah nyata, dengan kumpulnya beberapa pejabat negara dengan para Taipan di pulau G, sering disebut Dewan Kudeta Konstitusi adalah nyata. Bukan hoax.
Untung PDIP tampil di depan menolak permintaan Jakowi atas bujukan para bandar Oligarkinya. Jokowi marah maka terjadilah penipuan terakhir, saat ujung kekuasaannya Jokowi meninggalkan Megawati (PDIP), tak peduli lagi telah mengantar Jokowi sebagai Presiden dengan suka dukanya.
Inilah akhir sebuah tragedi politik PDIP yang memilukan, sangat mungkin karena Megawati telah mengabaikan saran dari feeling politik suaminya (almarhum) Taufiq Kiemas tolak Jokowi. (*)