Tom Lembong Bisa Jadi Martir Perubahan

Gerakan perubahan di mana dan kapanpun membutuhkan martir sebagai magnet dari gerakan yang semakin membesar. Reformasi maupun revolusi telah memberi bukti. Tindakan represif rezim biasa menciptakan martir-martir dan itu causa dari perlawanan dan pemberontakan.

Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

KORUPSI bisa menjadi sebab perubahan? Pertanyaan sederhana untuk jawaban yang tidak sederhana. Itu sangat mungkin terjadi untuk dua hal, yaitu korupsi hanya sebagai alasan untuk menjatuhkan dan korupsi yang dituduhkan ternyata sumier atau tidak terbukti. Tokoh teraniaya mampu membongkar dan membalikkan keadaan.

Tom Lembong teraniaya dengan tuduhan serius korupsi impor gula putih. Kejaksaan Agung menista diri dengan menjalankan pesanan men-tersangka-kan Tom Lembong tanpa ada bukti lengkap dan akurat. Penegak hukum yang menjadi tukang jalankan pesanan ini bagai berprinsip "tersangkakan dan tahan dulu, urusan bukti belakangan".

Ini sejarah kengawuran hukum dari penegak hukum pada era Joko Widodo yang dilanjutkan masa Prabowo Subianto.

Prabowo sepertinya sedang menjalankan pesanan Jokowi untuk mengiyakan proses hukum demi kepentingan politik. Ada kepentingan Gibran Rakabuming Raka bin Jokowi di sana.

Jokowi berambisi menjadikan si bocil Gibran sebagai ahli waris dirinya menjadi Presiden tanpa dia peduli dengan kompetensi. Jokowi juga yang tidak kompeten bisa bertahan sepuluh tahun di Istana, begitu mungkin dalihnya.

Pentingnya perubahan gencar disuarakan masyarakat mengingat kondisi yang ada saat ini sungguh memuakkan, menjengkelkan, bahkan menjijikkan.

Selama 10 tahun berkuasa itu, Jokowi benar-benar merusak negara hampir di semua lini, baik budaya, ekonomi, agama, sosial, hukum maupun politik. Perubahan selalu membutuhkan martir agar bergerak masif, menggelinding dan bereskalasi.

Kasus penahanan Tom Limbong memang kontroversial dan wajar menjadi sorotan. Alih-alih mengecam ia sebagai koruptor yang terjadi adalah pembelaan publik bahwa Limbong menjadi korban kriminalisasi. Dana Rp 400 miliar menurut Kejagung belum ada bukti aliran khususnya ke kantong atau rekening Limbong, "kerugian" juga masih dihitung. Tergesa-gesa untuk menetapkan status tersangka adalah indikasi adanya pesanan tersebut.

Limbong dipaksakan dipidana mengapa Agus Suparmanto, Enggarliasto Lukito, M Luthfi atau Zulkifli Hasan tidak dikejar, padahal mereka sama-sama Mendag era Jokowi yang mengambil kebijakan impor gula dengan tonase lebih besar? Politik jahat sedang dimainkan.

Akankah Limbong menjadi martir yang akan ikut menciptakan perubahan politik? Meski bukan faktor utama, tetapi Tom berpeluang menjadi bagian dari martir perubahan tersebut.

Kriminalisasi Lembong tidak bisa dipisahkan dari Anies Baswedan yang selalu disasar dan dicari-cari kesalahan. Bagi Jokowi, Anies adalah ancaman atas kegilaan untuk menjadikan bocil sebagai Presiden RI. Penggembosan dimulai dari Lembong.

Anies adalah salah satu kekuatan perubahan. Blessing in disguise upaya kriminalisasi akan menjadi boomerang justru ketika publik bersimpati pada Lembong. Ia bisa menjadi martir.

Gerakan perubahan di mana dan kapanpun membutuhkan martir sebagai magnet dari gerakan yang semakin membesar. Reformasi maupun revolusi telah memberi bukti. Tindakan represif rezim biasa menciptakan martir-martir dan itu causa dari perlawanan dan pemberontakan.

Bila Tom Limbong korban kriminalisasi atau tidak terbukti melakukan korupsi, maka potensi menjadi martir segera bergeser menjadi martir in concreto. Magnet gerakan. Kini isu sentral perubahan mulai menggema:

Adili Jokowi dan tangkap Fufufafa. Kasus Tom Limbong akan memperkokoh gerakan rakyat untuk perubahan. (*)